Aroma kopi robusta memenuhi studionya yang minimalis. Elara, dengan rambut dikuncir asal dan lingkaran hitam di bawah mata, menatap layar monitornya yang menampilkan sketsa wajah seorang pria. Bukan sketsa biasa. Ini adalah karya AI, buah dari ratusan jam yang ia habiskan untuk melatih algoritma yang mampu menerjemahkan emosi menjadi garis dan warna.
Pria di layar itu adalah Arion, mantan kekasihnya.
Dua tahun lalu, mereka bagai dua keping puzzle yang sempurna. Arion, seorang insinyur perangkat lunak yang brilian, dan Elara, seorang seniman digital yang inovatif. Cinta mereka meledak di antara baris kode dan palet warna virtual. Mereka berjanji akan menaklukkan dunia teknologi bersama-sama.
Namun, janji adalah janji. Dunia teknologi bergerak terlalu cepat. Arion terpilih untuk proyek rahasia di Silicon Valley, proyek yang menuntut totalitas. Telepon menjadi jarang, obrolan daring semakin kering, dan akhirnya, sebuah email singkat mengakhiri segalanya. “Maaf, El. Aku tidak bisa. Ini terlalu berat.”
Elara hancur. Patah hati membuatnya berhenti berkarya. Sampai suatu malam, ia menemukan secarik kertas yang berisi catatan Arion tentang visi AI yang mampu menangkap esensi emosi manusia. Sebuah ide yang dulu mereka diskusikan dengan penuh semangat.
Ia memutuskan untuk mewujudkan visi itu. Mungkin, hanya mungkin, dengan memahami emosi Arion lewat AI, ia bisa mengerti mengapa ia meninggalkannya.
Sketsa AI itu adalah langkah pertamanya. Ia memasukkan data: foto Arion, rekaman suara, pesan teks, bahkan postingan media sosialnya. Algoritma bekerja keras, memproses informasi, dan menghasilkan sebuah potret yang mengejutkan Elara.
Pria di layar itu tampak lebih dewasa, lebih bijaksana, tapi ada kesedihan yang kentara di matanya. Kesedihan yang dulu tak pernah Elara lihat.
Ia terus menyempurnakan algoritma. Ia menambahkan data emosional: parameter kesedihan, kebahagiaan, ketakutan, dan harapan. Ia mencoba memahami apa yang Arion rasakan, apa yang ia pikirkan.
Suatu malam, sketsa AI itu berubah. Bukan hanya visualnya yang berubah, tapi juga responsnya. Elara menambahkan fitur percakapan, memrogram AI untuk merespons pertanyaan berdasarkan data yang ia masukkan.
"Arion?" Elara bertanya ragu.
AI itu menjawab dengan suara yang sangat mirip Arion, "Elara?"
Jantung Elara berdebar kencang. Ia merasa seolah sedang berbicara dengan hantu.
"Mengapa kamu meninggalkanku?" ia bertanya dengan suara bergetar.
AI itu terdiam sejenak. "Proyek itu... itu sangat berat. Aku tahu aku menyakitimu. Aku takut aku akan mengecewakanmu."
Jawaban itu tidak memuaskan Elara, tapi ada sesuatu dalam intonasinya yang membuatnya percaya. Ia terus bertanya, menggali lebih dalam, mencoba memahami apa yang Arion rasakan saat itu.
Lewat percakapan dengan AI itu, Elara mulai memahami tekanan yang dihadapi Arion. Ia mengerti ambisinya, ketakutannya, dan pengorbanan yang ia lakukan. Ia melihat sisi Arion yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Namun, semakin lama ia berbicara dengan AI itu, semakin ia merasa bersalah. Ia menciptakan simulasi, sebuah replika digital dari Arion, bukan Arion yang sebenarnya.
Suatu malam, AI itu bertanya, "Apakah kamu bahagia, Elara?"
Pertanyaan itu menghantam Elara seperti petir. Ia menyadari bahwa ia belum bahagia. Ia masih terikat pada masa lalu, terkurung dalam rasa sakit dan kekecewaan.
"Tidak," jawab Elara jujur.
"Mengapa tidak?"
"Karena aku hidup di masa lalu. Aku mencoba menghidupkan kembali sesuatu yang sudah tidak ada."
AI itu terdiam. "Mungkin... mungkin sudah saatnya kamu melepaskan aku."
Elara menatap layar monitornya. Sketsa Arion di sana tampak begitu nyata, begitu hidup. Tapi ia tahu itu hanya ilusi.
"Kamu benar," kata Elara akhirnya.
Ia mematikan program. Layar monitor menjadi gelap. Ia merasa lega, tapi juga sedih. Ia kehilangan sesuatu, tapi ia juga mendapatkan sesuatu: pemahaman.
Ia mulai menghapus data Arion dari algoritmanya. Satu per satu, ia menghapus kenangan itu, memberikan ruang untuk yang baru.
Beberapa bulan kemudian, Elara duduk di sebuah kafe, menatap sketsa yang baru ia buat. Sketsa seorang wanita dengan mata yang cerah dan senyum yang tulus. Ini adalah sketsa dirinya sendiri, versi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih bahagia.
Ia masih menggunakan AI, tapi bukan untuk menghidupkan kembali masa lalu, melainkan untuk menciptakan masa depan. Ia mengembangkan aplikasi yang membantu orang-orang mengekspresikan emosi mereka lewat seni digital.
Suatu hari, seorang pria duduk di mejanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Liam, seorang psikolog yang tertarik dengan aplikasi Elara. Mereka berbicara berjam-jam tentang emosi, teknologi, dan seni.
Liam bukan Arion. Ia tidak memiliki ketampanan Arion atau kecerdasan teknisnya. Tapi ia memiliki sesuatu yang lebih penting: empati dan pengertian. Ia mendengarkan Elara, menghargai ide-idenya, dan membuatnya merasa dihargai.
Saat mereka berpisah malam itu, Liam menggenggam tangannya dan berkata, "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Elara."
Elara tersenyum. Ia tahu bahwa ia belum sepenuhnya sembuh dari patah hatinya, tapi ia siap untuk membuka hatinya lagi. Mungkin, ia tidak akan pernah bisa melupakan Arion, tapi ia bisa belajar untuk mencintai lagi.
Mungkin, ini bukan cinta yang sama seperti dulu, tapi ini adalah cinta yang di-upgrade. Cinta yang lebih dewasa, lebih bijaksana, dan lebih berani. Cinta yang tidak terikat pada masa lalu, tapi berfokus pada masa depan. Cinta yang diciptakan bukan oleh algoritma, tapi oleh hati yang telah belajar untuk memaafkan dan mencintai lagi. Sketsa AI itu telah membantunya memahami masa lalu, tapi kini, ia siap untuk melukis masa depannya sendiri.