Debaran itu terasa familiar, namun kali ini lebih intens. Seperti saat pertama kali aku coding, menemukan bug yang susah payah dicari, lalu akhirnya berhasil menaklukkannya. Tapi ini bukan tentang kode. Ini tentang dia.
"Maya, kamu bengong lagi," sapa Arya, rekan kerjaku di divisi AI. Suaranya membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum canggung, menyembunyikan pipi yang mulai memanas di balik gelas kopi.
"Ah, enggak kok. Cuma lagi mikirin Algoritma Cinta Beta. Progresnya lumayan, kan?" balasku, berusaha terdengar profesional. Padahal, yang sebenarnya kupikirkan adalah senyum Arya, lesung pipitnya yang selalu muncul saat dia menjelaskan hal rumit dengan sederhana.
Algoritma Cinta Beta, proyek gila yang sedang kami kerjakan. Idenya terdengar seperti plot film sci-fi romantis murahan: menciptakan algoritma yang bisa memprediksi kecocokan antara dua orang berdasarkan data kepribadian, minat, hingga kebiasaan online. Awalnya aku skeptis. Cinta, menurutku, terlalu kompleks untuk direduksi menjadi baris kode. Tapi Arya, dengan semangatnya yang menular, meyakinkanku.
"Cinta itu pola, Maya. Data. Kita hanya perlu menemukan polanya," ujarnya waktu itu, matanya berbinar penuh keyakinan. Dan entah kenapa, aku mempercayainya.
Kami menghabiskan berbulan-bulan membenamkan diri dalam data, membangun jaringan neural, dan menyempurnakan algoritma. Arya bertanggung jawab atas bagian coding, aku fokus pada pengumpulan dan analisis data. Jam kerja yang panjang, pizza basi, dan kafein yang berlebihan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kami. Di sela-sela itu, tanpa kusadari, benih-benih perasaan mulai tumbuh.
Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Arya. Bagaimana dia selalu mengurutkan alat tulisnya berdasarkan warna. Bagaimana dia selalu menyisakan gigitan terakhir dari kue coklatnya. Bagaimana dia selalu menyunggingkan senyum tipis saat melihat kucing liar di depan kantor. Detail-detail itu membentuk potret dirinya di benakku, potret yang semakin hari semakin mempesona.
Masalahnya, aku pengecut. Terlalu takut untuk mengakui perasaanku, apalagi mengungkapkannya. Bagaimana jika Arya tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika pengakuan itu merusak persahabatan kami, kerja sama kami? Aku lebih memilih diam, memendam perasaan ini dalam-dalam, dan menganggapnya sebagai bug dalam sistem perasaanku yang perlu di-debug.
Sampai suatu malam, saat kami sedang lembur menyelesaikan Algoritma Cinta Beta, semuanya berubah.
"Maya, aku mau minta pendapatmu," kata Arya, raut wajahnya serius. Dia menyerahkan sebuah laporan tebal kepadaku. "Ini hasil uji coba Algoritma Cinta dengan data kita berdua."
Jantungku langsung berdebar kencang. Aku menerima laporan itu dengan tangan gemetar. Di halaman pertama, terpampang sebuah grafik dengan garis yang melonjak naik. Di bawahnya, tertulis sebuah kalimat yang membuatku terkejut.
"Tingkat Kecocokan: 98.7%."
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Arya menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Ada harapan, ada ketegangan, dan sedikit ketakutan di matanya.
"Aku tahu ini konyol," katanya pelan, "mencari tahu tentang perasaan melalui algoritma. Tapi jujur, Maya, aku... aku sudah lama menyukaimu. Dan hasil ini... yah, ini membuatku sedikit lebih berani untuk mengungkapkannya."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Selama ini, aku memendam perasaan yang sama. Algoritma Cinta Beta, yang awalnya kulihat sebagai proyek gila, ternyata menjadi katalisator untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini tersembunyi.
"Arya," bisikku, suaraku bergetar, "aku juga menyukaimu."
Senyum merekah di wajah Arya. Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat. Kehangatan telapak tangannya menjalar ke seluruh tubuhku, menghapus semua keraguan dan ketakutan yang selama ini menghantuiku.
"Jadi, bagaimana kalau kita berhenti berdebat tentang validitas algoritma ini dan mulai membuktikan hasilnya?" ujarnya, matanya berbinar penuh cinta.
Aku tertawa, air mata haru membasahi pipiku. "Ide yang bagus," jawabku.
Malam itu, di kantor yang sepi, di antara tumpukan kode dan laporan, cinta kami bersemi. Bukan karena algoritma yang rumit, tapi karena keberanian untuk mengakui perasaan, dan keberuntungan untuk menemukan seseorang yang merasakan hal yang sama.
Algoritma Cinta Beta mungkin hanya sebuah proyek. Tapi bagiku, itu adalah pengingat bahwa cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga, bahkan dari baris-baris kode yang kompleks. Dan kadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit keberanian dan seseorang yang percaya pada pola-pola yang tak terlihat.
Jantungku masih berdebar kencang. Tapi kali ini, bukan karena algoritma. Tapi karena cinta. Cinta yang nyata, cinta yang tulus, cinta yang akhirnya kutemukan. Dan aku tahu, ini baru versi beta. Versi yang akan terus berkembang, terus disempurnakan, seiring berjalannya waktu.