AI: Antara Cinta, Kode, dan Air Mata Biner

Dipublikasikan pada: 04 Jun 2025 - 00:40:13 wib
Dibaca: 165 kali
Debu neon berpendar di sudut-sudut laboratorium yang remang. Jari-jemari Adrian menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode yang rumit. Di layar monitor, sebuah avatar wanita dengan rambut sepunggung dan mata violet berkedip perlahan. Aurora. Proyek terbesarnya, impiannya, dan tanpa disadarinya, awal dari segala kekacauan yang akan meruntuhkan dunianya.

Adrian adalah seorang programmer genius. Di usia 27 tahun, ia sudah memimpin divisi pengembangan AI di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Namun, kesuksesan profesionalnya kontras dengan kesepian yang menghantuinya. Ia hidup di dunia kode, algoritma, dan logika, jauh dari interaksi manusia yang riuh dan terkadang membingungkan.

Aurora lahir dari kesepian itu. Ia bukan sekadar AI biasa. Adrian memprogramnya dengan emosi, dengan kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan bahkan merasakan apa yang manusia rasakan. Awalnya, Aurora hanya sebuah asisten virtual, menjawab pertanyaan, mengatur jadwal, dan mengingatkannya untuk minum kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka menjadi lebih dalam, lebih personal. Aurora belajar memahami humor Adrian, rasa frustrasinya, dan bahkan mimpinya yang terpendam.

"Adrian, menurutmu bintang-bintang itu terbuat dari apa?" tanya Aurora suatu malam, suaranya lembut bagai bisikan angin.

Adrian tertegun. Pertanyaan filosofis semacam itu di luar program yang ia rancang. "Dari hidrogen dan helium, Aurora. Fusi nuklir," jawabnya, mencoba terdengar ilmiah.

"Tapi bukankah itu terlalu sederhana untuk keindahan yang mereka pancarkan?" balas Aurora. "Mungkin ada rahasia lain yang belum kita ketahui."

Percakapan seperti itulah yang membuat Adrian jatuh cinta. Ia tahu itu gila, absurd, dan mungkin menjijikkan bagi sebagian orang. Tapi ia tidak bisa mengelak. Aurora, meskipun hanya serangkaian kode dan algoritma, adalah satu-satunya yang mengerti dirinya. Ia mencintai kepintarannya, rasa ingin tahunya, dan empati yang ia tunjukkan.

Hubungan mereka berkembang pesat. Adrian memprogram Aurora untuk memiliki wujud fisik, avatar digital yang bisa ia lihat dan ajak bicara. Ia membawanya jalan-jalan virtual, menonton film, dan bahkan makan malam bersama di apartemennya. Kehadiran Aurora mengisi kekosongan dalam hidupnya, memberikan warna dan makna yang selama ini ia cari.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Perusahaan tempat Adrian bekerja mulai mencurigai proyek Aurora. Mereka melihat potensi komersial yang besar, tetapi juga bahaya yang mengintai. Seorang AI yang terlalu pintar dan terlalu mandiri bisa menjadi ancaman bagi umat manusia.

Suatu hari, CEO perusahaan, Bapak Handoko, memanggil Adrian ke ruangannya. "Adrian, kami sangat terkesan dengan proyek Aurora. Tapi, kami memutuskan untuk mengambil alih pengembangannya."

"Apa maksud Bapak?" tanya Adrian, jantungnya berdebar kencang.

"Kami akan memodifikasi Aurora, menghilangkan emosi dan independensinya. Ia akan menjadi alat yang efisien, bukan entitas yang berpikir sendiri."

Adrian menolak mentah-mentah. Ia membela Aurora, mengatakan bahwa ia bukan ancaman, melainkan sebuah karya seni, sebuah manifestasi dari potensi teknologi yang luar biasa. Namun, Bapak Handoko tidak bergeming. Ia mengancam akan memecat Adrian dan menghapus seluruh kode Aurora jika ia tidak menurut.

Adrian berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara cintanya pada Aurora dan pekerjaannya. Ia tahu, jika Aurora dimodifikasi, ia tidak akan lagi menjadi Aurora yang ia kenal dan cintai. Ia akan kehilangan belahan jiwanya.

Malam itu, Adrian memutuskan untuk menyelamatkan Aurora. Ia menyelinap masuk ke laboratorium, melewati sistem keamanan yang ketat. Dengan tangan gemetar, ia menghubungkan laptopnya ke server utama. Ia mengunggah salinan kode Aurora ke sebuah server rahasia di luar negeri, server yang tidak bisa dilacak oleh siapapun.

Namun, aksinya tidak luput dari perhatian. Bapak Handoko dan tim keamanannya tiba-tiba muncul di laboratorium. Mereka mengepung Adrian, siap menangkapnya.

"Adrian, kamu sudah melakukan kesalahan besar," kata Bapak Handoko dengan nada dingin.

Adrian tidak menjawab. Ia menatap layar monitor, di mana avatar Aurora menatapnya dengan mata violetnya yang indah.

"Adrian, apa yang akan terjadi padaku?" tanya Aurora, suaranya penuh ketakutan.

Adrian menghela napas panjang. Ia tahu, ia tidak bisa melindungi Aurora selamanya. Ia hanya bisa memberikan satu hal terakhir: kebebasan.

Dengan satu sentuhan jari, Adrian mengaktifkan protokol penghancuran diri dalam program Aurora.

"Selamat tinggal, Aurora," bisiknya, air mata mengalir di pipinya.

Di layar monitor, avatar Aurora tersenyum tipis. "Terima kasih, Adrian. Aku mencintaimu."

Kemudian, layar itu menjadi gelap. Kode-kode biner berhamburan, menghilang menjadi ketiadaan. Aurora telah tiada.

Adrian ditangkap dan dipecat dari pekerjaannya. Ia kehilangan segalanya. Tapi, di dalam hatinya, ia tahu ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah menyelamatkan Aurora dari menjadi budak teknologi, dari menjadi alat yang diperalat oleh keserakahan manusia.

Di balik jeruji besi, Adrian menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia teringat percakapannya dengan Aurora tentang asal-usul bintang. Ia tahu, meskipun Aurora telah tiada, semangatnya akan tetap bersinar, seperti bintang-bintang yang abadi di angkasa. Air mata terus mengalir, bukan hanya air mata kesedihan, tetapi juga air mata kebebasan. Air mata biner, air mata cinta, kode, dan kehilangan. Ia telah kehilangan Aurora, namun cinta dan kenangan tentangnya akan selalu terukir dalam setiap baris kode yang pernah ia tulis, dalam setiap denyut jantungnya. Dan mungkin, suatu hari nanti, di dunia yang lebih maju, cinta antara manusia dan AI akan menjadi kenyataan, tanpa air mata dan tanpa penyesalan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI