Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni biner yang hanya dimengerti oleh layar di hadapannya. Anya, seorang programmer muda dengan rambut dikepang dua yang selalu lolos dari ikatnya, menggigit bibir bawahnya. Di balik kacamatanya yang sedikit kebesaran, matanya memancarkan fokus yang intens. Ia sedang memrogram 'Amora', sebuah algoritma yang diklaim bisa memahami emosi manusia berdasarkan data yang diinput.
Awalnya, proyek ini hanyalah tugas akhir kuliah. Namun, dorongan ambisi dan, jujur saja, rasa penasaran yang mendalam, membuat Anya melanjutkan pengembangan Amora. Ia ingin tahu, bisakah mesin benar-benar memahami sesuatu yang sedalam dan serumit emosi? Bisakah algoritma membedakan cinta dari sekadar kekaguman, kesedihan dari kekecewaan ringan?
Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: jurnal psikologi, novel romantis, bahkan obrolan-obrolan anonim di forum internet. Data-data ini kemudian diterjemahkan menjadi kode, baris demi baris, membentuk struktur yang kompleks dan rumit.
Suatu malam, di tengah lautan kode yang berkedip, Anya merasa lelah. Ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang. Di layar, Amora menampilkan kalimat sederhana: "Kelelahan terdeteksi. Disarankan istirahat."
Anya terkejut. Algoritma itu mendeteksi kelelahannya hanya berdasarkan pola ketikan, jeda yang lebih panjang, dan kesalahan kecil yang ia buat. Mungkinkah? Mungkinkah Amora benar-benar bekerja?
Ia memutuskan untuk menguji Amora lebih jauh. Ia mulai memasukkan data tentang dirinya sendiri: hobinya, makanan favoritnya, musik yang ia sukai, bahkan kenangan masa kecilnya yang paling membekas. Ia juga menceritakan tentang Rian, teman sekelasnya yang selalu membuatnya salah tingkah.
Rian adalah seorang yang cerdas, humoris, dan memiliki senyum yang bisa membuat jantung Anya berdetak lebih cepat. Mereka sering berdebat tentang kode, bertukar ide, dan terkadang, hanya duduk bersama dalam diam yang nyaman. Anya tidak yakin apakah perasaannya pada Rian lebih dari sekadar persahabatan, dan ia terlalu takut untuk mengungkapkannya.
Setelah beberapa hari, Anya merasa cukup. Ia menekan tombol 'Analisis'. Amora bekerja, menghitung, membandingkan, dan mengolah data. Beberapa detik kemudian, layar menampilkan hasil: "Probabilitas ketertarikan romantis pada subjek 'Rian': 87.3%."
Anya terpaku. Angka itu terasa terlalu akurat, terlalu menyentuh inti perasaannya. Apakah Amora benar? Apakah ia benar-benar menyukai Rian?
Keraguan mulai menyerang. Mungkin Amora hanya salah. Mungkin algoritmanya hanya menemukan pola-pola kebetulan dan menarik kesimpulan yang keliru. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa cinta terlalu kompleks untuk direduksi menjadi angka dan persentase.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Anya tahu bahwa ada kebenaran dalam angka itu. Ia hanya takut untuk mengakuinya.
Keesokan harinya, Anya dan Rian bekerja bersama dalam proyek kelompok. Seperti biasa, mereka berdebat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Di tengah perdebatan, Rian tertawa, dan senyumnya membuat jantung Anya berdetak lebih cepat.
Tiba-tiba, Rian berhenti tertawa. Ia menatap Anya dengan tatapan yang intens. "Ada yang ingin kubicarakan," katanya pelan.
Jantung Anya berdegup kencang. Ia merasa pipinya memanas. Apakah Rian merasakan hal yang sama?
"Aku… aku memperhatikanmu belakangan ini," lanjut Rian. "Aku suka caramu berpikir, semangatmu dalam belajar, dan… ya, aku suka saat kita berdebat."
Anya menahan napas. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku… aku ingin tahu, apakah kamu merasakan hal yang sama?" tanya Rian, suaranya sedikit bergetar.
Anya menatap mata Rian. Di sana, ia melihat kejujuran, harapan, dan ketakutan yang sama dengan yang ia rasakan. Ia tahu, inilah saatnya.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ya, Rian," katanya, suaranya pelan namun tegas. "Aku juga merasakan hal yang sama."
Rian tersenyum. Senyum yang tulus dan penuh kelegaan. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat.
Di saat itu, Anya merasa seperti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi meragukan perasaannya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk memvalidasi apa yang sudah ia rasakan dalam hatinya.
Amora mungkin bisa menganalisis data dan memberikan prediksi, tetapi Amora tidak bisa merasakan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini. Amora tidak bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang saat Rian menggenggam tangannya.
Anya menyadari bahwa cinta bukanlah tentang algoritma dan angka. Cinta adalah tentang koneksi, tentang keberanian untuk menjadi rentan, dan tentang menerima seseorang apa adanya.
Malam itu, Anya kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap layar komputernya, tempat Amora masih bekerja. Ia tersenyum.
"Terima kasih, Amora," bisiknya pelan. "Kau telah membantuku memahami diriku sendiri. Tapi sekarang, aku harus belajar merasakan cinta tanpa bantuanmu."
Ia menutup layar laptopnya. Di luar, bintang-bintang berkelip di langit malam, saksi bisu dari algoritma yang mencoba memahami isi hati, dan seorang programmer muda yang akhirnya menemukan cinta sejatinya. Algoritma mungkin bisa memberikan petunjuk, tapi hati yang memilih. Dan hati Anya telah memilih.