Aplikasi Algoritma Jodoh menjanjikan kesempurnaan. Bukan sekadar menemukan pasangan berdasarkan hobi atau preferensi film, tapi memprediksi kecocokan biologis, psikologis, bahkan sampai potensi keturunan yang sehat dan cerdas. Awalnya, Maya skeptis. Ia lebih suka cara lama: bertemu seseorang secara organik, merasakan getaran aneh di perut, lalu perlahan jatuh cinta. Tapi, setelah tiga kencan buta yang berakhir dengan bencana, dan desakan dari ibunya yang terus-menerus menyinggung soal jam biologis, Maya akhirnya menyerah.
Ia mengunduh Algoritma Jodoh, mengisi formulir panjang dengan jujur (atau setidaknya, mencoba jujur), dan menyerahkan data pribadinya yang mungkin lebih lengkap daripada catatan medisnya. Aplikasi itu memintanya untuk mengunggah foto terbaru, sampel suara, bahkan data DNA yang diperoleh dari tes kesehatan. Maya merasa seperti sedang melamar pekerjaan yang paling penting dalam hidupnya.
Beberapa hari kemudian, Algoritma Jodoh memunculkan satu nama: Adrian.
Profil Adrian sempurna. Hobi fotografi, sama seperti Maya. Menyukai musik indie dan film dokumenter, dua hal yang selalu menjadi topik percakapan favorit Maya. Secara fisik, Adrian juga masuk kriterianya: tinggi, rambut cokelat berantakan, dan senyum yang entah kenapa membuat jantung Maya berdebar. Lebih dari itu, Algoritma Jodoh mencatat bahwa mereka memiliki kecocokan genetik 98,7%. "Pasangan Sempurna," begitu bunyi notifikasi besar di layar ponsel Maya.
Maya ragu-ragu. Terlalu sempurna terasa aneh. Tapi, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengirim pesan kepada Adrian.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Adrian ternyata cerdas, lucu, dan perhatian. Mereka membahas buku favorit, teori konspirasi yang konyol, dan mimpi-mimpi masa depan. Maya merasa seperti sudah mengenal Adrian seumur hidup, padahal baru beberapa hari berkomunikasi.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Adrian memilih sebuah kafe kecil yang nyaman, dengan lampu temaram dan aroma kopi yang menenangkan. Ketika Adrian masuk, Maya merasa seolah melihat gambaran dirinya sendiri dalam versi pria. Semua yang tertulis di profilnya terbukti benar. Bahkan, ia merasa ada koneksi yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma.
Kencan pertama itu berjalan nyaris sempurna. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan bahkan menyentuh tangan secara tidak sengaja. Maya merasa seperti sedang berada dalam film romantis. Apakah ini yang dimaksud dengan cinta pada pandangan pertama? Atau lebih tepatnya, cinta yang diprogramkan sejak awal?
Mereka terus berkencan. Semakin lama mereka bersama, semakin dalam pula perasaan Maya. Adrian selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara membuatnya tertawa, dan apa yang dibutuhkannya. Ia seperti hadiah dari alam semesta, dikemas dalam kotak yang rapi dan diberi label "Pasangan Sempurna."
Namun, semakin lama Maya bersama Adrian, semakin besar pula keraguan yang menghantuinya. Ia merasa seperti sedang memainkan peran dalam drama yang sudah ditulis sebelumnya. Semua terasa terlalu mudah, terlalu mulus, terlalu… terencana.
Suatu malam, setelah makan malam romantis di restoran mewah, Maya memberanikan diri untuk bertanya. "Adrian," katanya, suaranya sedikit bergetar, "Apakah kamu pernah merasa… seperti kita ini terlalu sempurna? Seperti semua ini sudah diatur sebelumnya?"
Adrian tersenyum lembut. "Maksudmu, karena Algoritma Jodoh?"
Maya mengangguk. "Ya. Aku merasa seperti… kita ini produk dari logika buatan, bukan hasil dari pilihan bebas dan perasaan yang tulus."
Adrian meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. "Maya, aku tahu apa yang kamu rasakan. Awalnya, aku juga skeptis. Tapi, setelah mengenalmu, aku sadar bahwa Algoritma Jodoh hanya memberikan kita kesempatan untuk bertemu. Sisanya, adalah pilihan kita. Kita yang memutuskan untuk saling mengenal, saling mencintai, dan membangun hubungan ini."
"Tapi bagaimana kalau Algoritma Jodoh salah?" tanya Maya, matanya berkaca-kaca. "Bagaimana kalau ada seseorang yang lebih cocok untuk kita di luar sana? Seseorang yang tidak masuk dalam perhitungan algoritma?"
Adrian menghela napas. "Maya, tidak ada jaminan bahwa Algoritma Jodoh akan menemukan 'pasangan sempurna' yang sesungguhnya. Yang bisa kita lakukan adalah memberikan yang terbaik dalam hubungan ini, dan berharap bahwa cinta kita cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan."
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Adrian. Apakah cinta yang didasarkan pada algoritma bisa sekuat cinta yang tumbuh secara alami? Apakah kebahagiaan yang diprediksi oleh program komputer bisa senyata kebahagiaan yang dirasakan dalam hati?
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia menghapus aplikasi Algoritma Jodoh dari ponselnya. Ia ingin memberi dirinya sendiri kesempatan untuk merasakan cinta tanpa campur tangan logika buatan.
Ia menemui Adrian di taman kota. "Adrian," katanya, "aku sudah menghapus Algoritma Jodoh."
Adrian terkejut. "Kenapa?"
"Aku ingin kita melanjutkan hubungan ini tanpa bantuan aplikasi. Aku ingin tahu apakah cinta kita ini nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis," jawab Maya.
Adrian tersenyum. "Aku mengerti. Aku menghargai kejujuranmu."
Mereka melanjutkan hubungan mereka. Tanpa aplikasi, mereka harus belajar berkomunikasi dengan lebih jujur, mengatasi perbedaan pendapat dengan lebih sabar, dan menerima kekurangan masing-masing dengan lebih lapang dada.
Ternyata, tanpa Algoritma Jodoh, hubungan mereka menjadi lebih menantang, tapi juga lebih bermakna. Mereka menemukan bahwa cinta sejati bukan tentang kecocokan sempurna, tapi tentang komitmen untuk saling mendukung, saling memahami, dan saling mencintai tanpa syarat.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di tepi danau, Adrian bertanya kepada Maya, "Apakah kamu masih meragukan cinta kita?"
Maya menggelengkan kepala. "Tidak, Adrian. Aku sudah tidak meragukannya lagi. Aku tahu bahwa cinta kita ini nyata, bukan hasil dari algoritma. Ini adalah cinta yang tumbuh dari hati, dari pilihan, dan dari keberanian untuk saling mempercayai."
Adrian tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Maya. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu yang apa adanya."
Maya bersandar di bahu Adrian. Ia merasa bahagia, damai, dan yakin bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya. Algoritma Jodoh mungkin bisa membantu mereka bertemu, tapi hati manusia yang menentukan arah cinta mereka. Logika buatan mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi perasaan tulus yang menciptakan keajaiban. Dan keajaiban itulah yang membuat cinta mereka begitu istimewa.