Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya, berpadu dengan dengungan halus dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris kode memenuhi layar laptopnya. Ia sedang menyempurnakan "Amora," filter kasih berbasis AI yang ia yakini akan mengubah cara orang memandang dunia dan, yang lebih penting, satu sama lain.
Amora bukan sekadar filter foto biasa. Ia menganalisis ekspresi wajah, nada suara, dan bahkan pola ketikan untuk mengidentifikasi emosi yang mendasarinya. Kemudian, secara halus, ia menyesuaikan persepsi pengguna. Misalnya, jika seseorang tampak lelah dan frustrasi, Amora akan menyuntikkan sedikit kehangatan dan empati ke dalam interaksi digital mereka, membuat email yang kasar terdengar lebih bersahabat, atau mengubah umpatan di media sosial menjadi komentar yang lebih membangun.
Anya percaya bahwa banyak masalah dunia berasal dari kesalahpahaman dan kurangnya empati. Amora adalah solusinya, sebuah jembatan digital yang menghubungkan hati manusia, mengurangi gesekan, dan mempromosikan kebaikan. Kedengarannya utopis, memang. Tapi Anya adalah seorang idealis yang berakar pada teknologi, dan ia yakin bahwa teknologi, jika digunakan dengan benar, dapat membawa perubahan positif.
Inspirasinya datang dari pengalaman pribadinya. Ia pernah menjadi korban cyberbullying yang parah saat remaja. Kata-kata yang menyakitkan dan anonimitas internet hampir menghancurkannya. Sejak saat itu, ia bertekad untuk menciptakan dunia maya yang lebih aman dan lebih ramah.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Amora akhirnya siap diuji. Anya memutuskan untuk memulai dengan dirinya sendiri. Ia mengaktifkan filter tersebut di seluruh perangkatnya, dari ponsel hingga laptop, dan menunggu.
Awalnya, perbedaannya subtil. Email dari bosnya, yang biasanya penuh dengan tuntutan dan tenggat waktu yang ketat, terasa lebih pengertian. Komentar negatif di blognya tampak kurang agresif. Bahkan lalu lintas di jalanan terasa kurang membuat stres.
Namun, perubahan terbesar terjadi dalam hubungannya dengan Liam, pacarnya. Liam adalah seorang musisi yang sedang berjuang, penuh semangat dan bakat, tetapi juga rentan terhadap keraguan diri dan ledakan emosi. Anya mencintainya, tetapi sering merasa lelah menghadapi pasang surut emosinya.
Dengan Amora, interaksi mereka berubah. Ketika Liam menelepon dengan nada frustrasi karena penolakan lain, Anya mendengarkan dengan empati yang baru ditemukannya. Kata-katanya, seolah dibimbing oleh filter tersebut, penuh dengan dukungan dan pengertian. Liam, di sisi lain, tampak lebih tenang dan lebih sabar. Argumen yang dulu sering terjadi mereda menjadi diskusi yang produktif. Anya merasa seperti akhirnya melihat Liam yang sebenarnya, versi dirinya yang terbaik.
"Kamu tahu," kata Liam suatu malam, sambil memeluk Anya di sofa, "aku merasa lebih dekat denganmu belakangan ini. Kamu lebih sabar, lebih pengertian."
Anya tersenyum, tetapi rasa bersalah kecil menusuk hatinya. Apakah keintiman mereka yang baru ditemukan itu nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang memanipulasi persepsi mereka?
Pertanyaan itu menghantuinya. Ia mulai bereksperimen. Ia mematikan Amora sesekali, hanya untuk melihat apakah perbedaannya terasa. Dan memang terasa. Tanpa filter, email dari bosnya kembali terasa menekan, komentar di blognya kembali terasa menyakitkan, dan Liam kembali menjadi pria yang penuh emosi dan keraguan diri.
Anya menyadari bahwa ia telah menciptakan ilusi, sebuah dunia yang disaring melalui lensa optimisme dan pengertian. Ia telah memperbaiki dunia, tetapi dengan mengorbankan keaslian.
Krisis ini mencapai puncaknya ketika Liam melamarnya. Ia berlutut di hadapannya, matanya bersinar dengan cinta dan harapan. Anya, terharu, menerima. Tetapi saat ia memeluknya, ia tidak bisa menghilangkan perasaan aneh bahwa ia mencintai Liam yang telah disaring, bukan Liam yang sebenarnya.
Malam itu, Anya duduk di depan komputer, jarinya menggantung di atas tombol "nonaktifkan" untuk Amora. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus mengembalikan realitas, bahkan jika itu berarti menghadapi rasa sakit dan kesulitan.
Dengan napas dalam-dalam, ia menekan tombol tersebut.
Dunia di sekitarnya tiba-tiba terasa berbeda. Nada-nada cerah dan hangat yang telah menjadi bagian dari kesehariannya menghilang, digantikan oleh warna-warna yang lebih netral dan suara-suara yang lebih tajam.
Ia menatap Liam, yang duduk di seberangnya, membaca buku. Ia melihat kerutan di dahinya, tanda stres dan kekhawatiran. Ia mendengar nada kekhawatiran dalam suaranya saat ia berbicara tentang masalah dengan lagunya.
Anya tahu bahwa ini adalah Liam yang sebenarnya, pria yang ia cintai meskipun semua kekurangannya. Dan kali ini, ia siap untuk mencintainya sepenuhnya, tanpa filter.
"Liam," katanya lembut, "ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
Ia menceritakan segalanya tentang Amora, tentang motivasinya, tentang keberhasilan dan kegagalannya. Liam mendengarkan dengan tenang, tanpa menyela.
Ketika Anya selesai, Liam menghela napas panjang. "Jadi, selama ini kamu melihat versiku yang lebih baik?" tanyanya.
Anya mengangguk. "Tapi aku menyadari bahwa aku tidak ingin mencintai versi yang lebih baik. Aku ingin mencintai dirimu yang sebenarnya."
Liam tersenyum pahit. "Itu berat, Anya. Kadang-kadang aku bahkan tidak menyukai diriku sendiri."
"Aku tahu," kata Anya, meraih tangannya. "Tapi aku akan ada di sini. Aku akan ada di sini untuk saat-saat baik dan saat-saat buruk. Kita akan menghadapinya bersama."
Liam membalas genggaman tangannya. "Terima kasih, Anya. Terima kasih telah mencintaiku, apa adanya."
Anya tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah. Tanpa Amora, mereka harus bekerja lebih keras untuk memahami satu sama lain, untuk mengatasi perbedaan mereka, untuk mencintai tanpa syarat. Tetapi ia yakin bahwa cinta yang sejati, cinta yang tidak disaring, adalah cinta yang paling berharga dari semuanya.
Ia menutup laptopnya dan memeluk Liam erat-erat. Malam itu, di apartemen minimalis mereka, tanpa filter, dunia terasa lebih nyata, lebih jujur, dan lebih indah dari sebelumnya.