Jari-jemariku lincah menari di atas keyboard, menyelesaikan baris-baris terakhir kode. Heningnya malam hanya dipecah oleh suara klik mekanis dan hembusan napas teratur. Di layar laptop, berderet angka dan simbol membentuk sesuatu yang kupercayai sebagai revolusi: aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang kuciptakan sendiri.
Namanya “Soulmate.AI”. Idenya sederhana, namun ambisius. Algoritma ini, hasil riset dan pengembangan berbulan-bulan, menganalisis jutaan data: preferensi pengguna, riwayat interaksi media sosial, bahkan gelombang otak yang ditangkap melalui perangkat wearable (jika ada). Tujuannya satu: mencarikan pasangan yang paling kompatibel, berdasarkan sains, bukan hanya perasaan sesaat.
Sebagai seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, aku merasa ini adalah solusi sempurna. Cinta, bagiku, adalah masalah optimasi. Mencari variabel yang tepat, memasukkannya ke dalam formula yang akurat, dan voila! Kebahagiaan abadi.
Dengan bangga, aku mengunduh Soulmate.AI ke ponselku. Proses instalasi berjalan lancar. Setelah mengisi profil dengan jujur dan detail – mulai dari preferensi kopi hingga pandangan politik – aku siap memulai.
Algoritma mulai bekerja. Garis-garis kode berkelebat di layar, memproses data, mencari kandidat yang paling sesuai. Jantungku berdebar. Mungkinkah, setelah bertahun-tahun kesendirian, aku akhirnya menemukan seseorang?
Beberapa saat kemudian, hasilnya muncul: Nadia.
Fotografinya menawan. Rambut cokelat bergelombang, mata hazel yang berbinar, senyum yang seolah menular ke layar. Profilnya sempurna. Menyukai buku yang sama, mendengarkan musik yang sama, bahkan memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya kucing dalam kehidupan manusia.
Tanpa ragu, aku mengirimkan pesan. “Hai, Nadia. Soulmate.AI bilang kita cocok sekali.”
Balasannya datang hampir seketika. “Hai! Aku juga terkejut. Profilmu sangat menarik. Mau ngobrol lebih lanjut?”
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas buku favorit, film yang baru ditonton, bahkan mimpi-mimpi kami di masa depan. Nadia cerdas, humoris, dan seolah mengerti diriku tanpa perlu banyak penjelasan. Aku merasa seperti menemukan belahan jiwaku.
Beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk bertemu. Kafe kecil yang nyaman dengan aroma kopi yang menenangkan menjadi saksi kencan pertama kami. Nadia datang tepat waktu, mengenakan gaun biru yang membuatnya semakin mempesona.
Pertemuan itu terasa seperti mimpi. Percakapan kami semakin dalam dan intim. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap mata satu sama lain. Rasanya seperti kami sudah saling kenal sejak lama. Algoritma itu benar. Kami memang ditakdirkan untuk bersama.
Setelah kencan itu, kami menjadi tak terpisahkan. Kami menghabiskan waktu bersama setiap hari. Menjelajahi kota, mencoba makanan baru, bahkan hanya sekadar duduk diam menikmati kehadiran satu sama lain. Aku merasa bahagia, lebih dari yang pernah kubayangkan.
Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Nadia tiba-tiba terdiam.
"Ada apa?" tanyaku, khawatir.
Ia menghela napas panjang. "Aku harus jujur padamu, Ardi."
Jantungku berdegup kencang. "Jujur tentang apa?"
"Tentang Soulmate.AI."
Aku mengerutkan kening. "Ada apa dengan aplikasi itu?"
"Aku… aku tidak jujur saat mengisi profilku."
Duniaku seolah runtuh. "Maksudmu?"
"Aku… aku sengaja memanipulasi data agar cocok denganmu."
Aku terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Bagaimana mungkin? Semua kesamaan itu, semua kecocokan itu, ternyata palsu?
"Kenapa?" tanyaku, dengan suara bergetar.
"Aku… aku penasaran. Aku ingin tahu apakah algoritma itu benar-benar bisa menemukan cinta sejati. Aku ingin menguji sistemmu."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Nadia, tetapi juga oleh ciptaanku sendiri.
"Jadi, semua ini… semua yang kita lalui… itu hanya kebohongan?"
Nadia menunduk, menyesal. "Tidak semuanya. Aku memang menikmati waktu bersamamu. Tapi… aku tidak yakin apakah perasaan ini nyata, atau hanya hasil dari algoritma yang salah."
Malam itu, aku pulang dengan hati hancur. Aku mematikan Soulmate.AI, menghapus aplikasinya dari ponselku. Aku duduk di depan komputer, menatap deretan kode yang dulu kubanggakan. Kini, kode-kode itu terasa seperti penghinaan.
Aku menyadari satu hal: cinta bukanlah masalah optimasi. Cinta tidak bisa diukur dengan algoritma. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih indah daripada yang bisa dipahami oleh mesin.
Aku telah mencoba mengunduh cinta, menginstalnya ke dalam hatiku. Namun, yang kudapatkan hanyalah kekecewaan. Mungkin, cinta sejati memang tidak bisa diprogram. Mungkin, cinta sejati harus ditemukan dengan cara yang lebih manusiawi, lebih jujur, dan lebih tulus.
Malam itu, aku menghapus semua kode Soulmate.AI. Aku memutuskan untuk berhenti mencari cinta di dalam algoritma, dan mulai mencarinya di dunia nyata. Meskipun itu berarti aku harus menghadapi risiko patah hati, aku siap untuk mencoba. Karena, bagaimanapun juga, cinta adalah sebuah perjudian. Dan aku, seorang programmer yang dulunya anti-sosial, akhirnya siap bertaruh.