Debu memenuhi sudut-sudut ruangan server yang luas dan dingin. Jari-jari Anya lincah menari di atas keyboard, baris kode hijau dan putih berkedip di layar monitornya. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia tenggelam dalam lautan algoritma, berusaha menyempurnakan program pencarian jodoh buatannya, “SoulmateSync”. Bukan karena ia percaya pada cinta sejati, tetapi karena target kuartal ini bergantung padanya.
Anya bukan tipe orang yang mudah percaya pada takdir, apalagi yang dituliskan oleh algoritma. Baginya, cinta hanyalah reaksi kimiawi otak yang bisa diprediksi dan dimanipulasi. Ironisnya, ia justru berdedikasi untuk menciptakan platform yang katanya bisa menemukan belahan jiwa.
Di layar sebelahnya, sebuah notifikasi berkedip: 'Error: Ketidaksesuaian Logika Emosi'. Anya menghela napas. Logika emosi. Dua kata yang bertolak belakang, namun inti dari SoulmateSync. Algoritma ini tidak hanya mencocokkan minat dan hobi, tetapi juga menganalisis pola bahasa, ekspresi wajah dalam foto, bahkan preferensi musik untuk memprediksi kompatibilitas emosional.
“Kurang masuk akal,” gumamnya, mengetik serangkaian kode baru.
Di balik punggungnya, suara deheman pelan membuatnya terlonjak kaget. “Kerja lembur lagi, Anya?”
Anya menoleh dan mendapati sosok tinggi dengan rambut ikal dan senyum menenangkan. Itu Arya, rekan kerjanya di divisi pengembangan. Ia selalu datang di saat yang tidak tepat, namun entah kenapa, kehadirannya selalu membawa ketenangan.
“Target kuartal, Arya. Kau tahu sendiri,” jawab Anya, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Arya mendekat, matanya meneliti layar monitor Anya. “SoulmateSync? Kau benar-benar percaya ini akan berhasil?”
Anya mengangkat bahu. “Tidak juga. Tapi ini pekerjaan, kan? Dan siapa tahu, mungkin ada yang benar-benar menemukan cinta lewat sini.”
Arya tersenyum simpul. “Kau sendiri bagaimana? Tidak mencoba algoritmamu sendiri?”
Anya tertawa sinis. “Aku? Mencari cinta lewat program? Itu sama saja dengan meminta robot memilihkan makanan untukku. Tidak, terima kasih.”
Percakapan mereka berlanjut, dari algoritma pencarian jodoh hingga topik yang lebih ringan: film favorit, berita teknologi terbaru, bahkan resep masakan yang aneh. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Anya merasa nyaman berbicara dengan Arya, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain.
Beberapa minggu kemudian, peluncuran SoulmateSync tinggal menghitung hari. Anya semakin tertekan. Ia harus memastikan semua berjalan lancar, tanpa celah. Namun, semakin ia berusaha, semakin banyak error yang muncul.
Suatu malam, saat ia hampir menyerah, Arya datang membawa secangkir kopi panas. “Kau terlihat lelah, Anya. Istirahatlah sebentar.”
Anya menggeleng. “Aku tidak bisa. Ada terlalu banyak yang harus diperbaiki.”
Arya meletakkan kopi di meja Anya. “Bagaimana kalau kita coba pendekatan lain? Ceritakan padaku apa yang membuatmu frustrasi.”
Anya menceritakan semua keraguannya, ketidakpercayaannya pada konsep cinta yang dihitung, dan ketakutannya jika SoulmateSync gagal. Arya mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
“Mungkin,” kata Arya setelah Anya selesai berbicara, “kau terlalu fokus pada logika dan melupakan intuisi. Cinta itu bukan hanya tentang algoritma, Anya. Ini tentang perasaan, koneksi, dan kesempatan.”
Kata-kata Arya menyentuh sesuatu dalam diri Anya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini, ia terlalu terpaku pada angka dan data, hingga melupakan esensi dari apa yang ingin ia ciptakan.
Malam itu, Anya dan Arya bekerja sama. Bukan hanya membenahi kode, tetapi juga berbagi ide, tertawa, dan saling mendukung. Tanpa disadari, di tengah kode yang sunyi, sesuatu mulai bersemi.
Beberapa hari kemudian, SoulmateSync diluncurkan. Awalnya, Anya hanya memantau data, menunggu umpan balik. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai membaca cerita-cerita pengguna. Ada yang menemukan teman baru, ada yang menemukan pasangan untuk berkencan, dan bahkan ada yang menemukan cinta sejati.
Salah satu cerita yang paling menyentuh hatinya adalah tentang seorang pria yang bertemu dengan wanita impiannya lewat SoulmateSync. Mereka memiliki minat yang sama, tetapi yang lebih penting, mereka saling memahami dan mendukung. Anya merasa bangga, bukan hanya karena SoulmateSync berhasil, tetapi juga karena ia telah membantu orang lain menemukan kebahagiaan.
Suatu sore, Arya mengajak Anya ke taman kota. Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati angin sepoi-sepoi.
“Anya,” kata Arya, memecah kesunyian. “Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi… aku ingin jujur padamu.”
Anya menatap Arya, jantungnya berdegup kencang.
“Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa. Kau cerdas, pekerja keras, dan memiliki hati yang baik. Aku tahu kau tidak percaya pada algoritma cinta, tapi… aku ingin tahu, apakah kau bersedia memberiku kesempatan?”
Anya terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan merasakan perasaan seperti ini.
“Arya,” jawab Anya akhirnya, “aku… aku juga merasakan hal yang sama. Aku memang tidak percaya pada algoritma cinta, tapi… aku percaya pada kita.”
Arya tersenyum lebar, matanya berbinar. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat.
Di bawah pohon rindang, di tengah taman kota yang ramai, Anya dan Arya saling bertukar senyum. Algoritma Janji telah membawa mereka bersama, bukan sebagai garansi cinta sejati, tetapi sebagai awal dari sebuah perjalanan yang indah. Anya menyadari, bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi, tetapi cinta bisa ditemukan, bahkan di tengah kode yang sunyi. Mungkin, terkadang, kita hanya perlu membuka hati dan memberi kesempatan pada keajaiban. Dan mungkin, algoritma yang ia ciptakan, secara ironis, telah membantunya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang tidak bisa dihitung, diprediksi, atau dimanipulasi. Kebahagiaan yang murni dan tulus.