Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya, bercampur dengan dengung lirih dari pendingin ruangan. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menyelesaikan baris kode terakhir untuk aplikasi kencan buatannya sendiri, "SoulSync." Bukan aplikasi kencan biasa, SoulSync menggunakan AI canggih untuk menganalisis data pengguna, preferensi, mimpi, bahkan unggahan media sosial, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional. Ironisnya, Maya, si pembuat algoritma cinta, sendiri masih single.
Ia mengklik tombol "Run Test." Aplikasi itu mulai bekerja, memindai datanya sendiri. Jantung Maya berdebar. Ia sengaja memasukkan detail sedetail mungkin, bahkan membiarkan SoulSync mengakses jurnal digitalnya yang penuh dengan puisi-puisi melankolis dan sketsa wajah-wajah imajiner.
"Kandidat yang paling kompatibel: User ID 7492 - Adrian." Tampilan layar menyala, menampilkan foto seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang terlihat cerdas. Profesi: Arsitek Lanskap. Hobi: Mendaki gunung dan menulis puisi. Minat: Filosofi eksistensial dan musik jazz.
Maya tertegun. Adrian terdengar sempurna di atas kertas, terlalu sempurna mungkin. Ketakutan merayap di benaknya. Apakah cinta bisa direduksi menjadi data dan algoritma? Apakah ia, seorang programmer yang terbiasa dengan logika dan efisiensi, mampu merasakan keajaiban cinta yang organik dan spontan?
Beberapa hari kemudian, Maya memberanikan diri menghubungi Adrian melalui SoulSync. Percakapan pertama mereka terasa canggung, kaku. Mereka membahas preferensi film, buku favorit, dan filosofi hidup, semuanya topik yang telah diprediksi SoulSync akan menjadi titik temu. Namun, di balik kata-kata yang terstruktur, ada sedikit rasa asing.
Namun, mereka terus berbicara. Adrian ternyata memiliki selera humor yang baik, dan Maya mendapati dirinya tertawa lepas untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Mereka mulai berbagi cerita pribadi, luka masa lalu, dan harapan masa depan. Perlahan, dinding pertahanan Maya runtuh.
Setelah beberapa minggu berkencan virtual, Adrian mengajaknya bertemu. Mereka memilih sebuah kafe kecil dengan dekorasi vintage dan alunan musik bossa nova yang lembut. Maya datang lebih awal, gugupnya tak terkendali. Ia berkali-kali memeriksa penampilannya di cermin ponsel.
Saat Adrian tiba, Maya merasakan getaran aneh. Pria di hadapannya lebih tampan dari fotonya, dengan aura ketenangan yang menenangkan. Senyumnya hangat dan tulus, bukan senyum yang dipaksakan untuk menyenangkan.
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam, melupakan waktu dan tempat. Mereka menemukan kesamaan yang tak terduga, ketertarikan yang tak terhindarkan. Maya merasa seperti bertemu belahan jiwanya, seseorang yang memahami dirinya tanpa perlu banyak penjelasan.
Hubungan mereka berkembang pesat. Mereka mendaki gunung bersama, berbagi puisi di bawah bintang-bintang, dan berdebat tentang eksistensi Tuhan hingga larut malam. Maya merasa hidupnya penuh dengan warna baru, kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka makan malam di apartemen Maya, Adrian menemukan catatan-catatan kode SoulSync yang berserakan di meja kerjanya.
"Ini apa?" tanyanya, menunjuk ke layar laptop.
Maya membeku. Ia tahu inilah saatnya untuk jujur. Ia menjelaskan tentang SoulSync, tentang bagaimana ia menggunakan AI untuk mencari pasangan yang kompatibel, dan bagaimana Adrian terpilih sebagai kandidat terbaik.
Adrian terdiam. Raut wajahnya berubah, dari bingung menjadi kecewa. "Jadi, hubungan kita... ini semua karena algoritma?" tanyanya lirih.
Maya mencoba menjelaskan, "Tidak, Adrian, ini bukan hanya tentang algoritma. Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."
"Tapi bagaimana aku bisa yakin?" Adrian menggelengkan kepalanya. "Bagaimana aku bisa tahu kalau perasaanmu itu nyata, kalau bukan karena aplikasi ini yang memaksamu untuk menyukaiku?"
Kata-kata itu menghantam Maya seperti palu. Ia tahu Adrian ada benarnya. Ia telah menciptakan monster, sebuah aplikasi yang seharusnya membantu orang menemukan cinta, tapi justru menghancurkan kepercayaan dan keintiman.
Adrian bangkit dari kursinya. "Aku butuh waktu untuk memikirkannya," ucapnya, lalu melangkah keluar dari apartemen.
Maya terpaku di tempatnya, air mata mengalir di pipinya. Ia telah kehilangan cinta karena ciptaannya sendiri. Ia telah mencoba mengendalikan takdir, tapi justru kehilangan kendali atas hatinya sendiri.
Berhari-hari kemudian, Maya berusaha menghubungi Adrian, tapi ia tidak menjawab panggilannya. Ia merasa putus asa dan bersalah. Ia telah merusak sesuatu yang indah dengan obsesinya pada teknologi.
Akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia menghapus SoulSync dari app store, menghancurkan semua kode dan data yang terkait dengannya. Ia ingin membersihkan dirinya dari dosa teknologi, dan belajar mencintai dengan cara yang alami dan tulus.
Beberapa bulan kemudian, Maya sedang duduk di taman kota, menikmati sinar matahari pagi. Ia sedang membaca buku puisi kesukaannya, ketika seseorang duduk di sebelahnya.
Itu Adrian.
"Hai," sapanya, tersenyum tipis.
Maya terkejut. "Adrian? Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku ingin minta maaf," ucapnya. "Aku terlalu keras padamu. Aku terlalu fokus pada algoritma, sampai lupa melihat hatimu."
Maya menatap matanya, mencari kejujuran. "Aku juga minta maaf. Aku telah melakukan kesalahan besar."
"Aku tahu," kata Adrian. "Tapi aku percaya bahwa kita bisa memperbaikinya. Kita bisa membangun kembali kepercayaan, satu langkah pada satu waktu."
Maya tersenyum. "Aku mau," jawabnya.
Mereka berpegangan tangan, merasakan kehangatan dan keintiman yang telah lama hilang. Mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah, tapi mereka siap menghadapinya bersama.
Maya menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa direduksi menjadi data dan algoritma. Cinta sejati adalah tentang kepercayaan, pengorbanan, dan keberanian untuk menjadi rentan. Cinta sejati adalah tentang hati yang berdetak, bukan hati yang di-like AI. Dan terkadang, yang kamu butuhkan adalah menghapus aplikasi untuk menemukan koneksi yang nyata.