Aplikasi kencan itu berbunyi nyaring, notifikasi baru yang sudah lama kurindukan. Jariku gemetar saat membukanya. Sebuah pesan singkat, “Sistem telah menemukan pasangan ideal untukmu. Kencan buta di Restoran Senja, pukul 7 malam ini.” Bersamaan dengan pesan itu, muncul foto seorang pria dengan senyum menawan dan mata yang seolah menatap langsung ke dalam jiwaku. Namanya: Orion.
Aku, Anya, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada interaksi sosial, selalu skeptis dengan aplikasi kencan. Bagiku, cinta adalah algoritma yang terlalu kompleks untuk dipecahkan. Namun, rasa penasaran mengalahkanku. Aplikasi ini berbeda, katanya. Menggunakan AI tercanggih untuk menganalisis preferensi, kepribadian, dan bahkan gelombang otak pengguna untuk menemukan pasangan yang benar-benar cocok. Sebuah janji yang terlalu indah untuk diabaikan.
Pukul 6 sore, aku sudah berdiri di depan lemari, dilanda krisis eksistensial. Gaun mana yang paling mempresentasikan diriku tanpa terkesan berusaha terlalu keras? Akhirnya, aku memilih gaun selutut berwarna biru tua, warna favoritku yang melambangkan kepercayaan diri dan ketenangan. Aku memoles wajahku dengan riasan minimalis, cukup untuk menyamarkan kantung mata akibat kurang tidur karena proyek pengembangan AI yang sedang kukerjakan. Ironis, pikirku.
Tepat pukul 7, aku tiba di Restoran Senja. Suasana romantis langsung menyambutku. Lampu-lampu temaram, alunan musik lembut, dan aroma masakan yang menggugah selera. Aku mencari-cari sosok Orion di antara para pengunjung. Di sudut ruangan, seorang pria melambai ke arahku. Itu dia. Senyumnya sama menawannya seperti di foto, bahkan lebih.
“Anya?” sapanya dengan suara yang dalam dan menenangkan.
“Orion?” balasku, jantungku berdebar sedikit lebih cepat.
Malam itu terasa seperti mimpi. Orion ternyata sangat menyenangkan. Dia pintar, lucu, dan memiliki minat yang sama denganku, terutama tentang teknologi. Kami membahas tentang perkembangan AI, etika penggunaan data, bahkan teori konspirasi tentang robot yang mengambil alih dunia. Aku terkejut betapa nyamannya aku berbicara dengannya, sesuatu yang jarang kurasakan dengan orang baru.
“Aku tahu ini terdengar aneh,” kata Orion sambil menyesap anggurnya, “tapi aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama.”
“Aku juga,” jawabku jujur. “Mungkin karena aplikasi itu benar-benar berhasil menemukan orang yang cocok denganku.”
Percakapan kami mengalir begitu saja, tanpa canggung atau paksaan. Orion menceritakan tentang pekerjaannya sebagai arsitek, hobinya mendaki gunung, dan mimpinya membangun rumah ramah lingkungan di pedesaan. Aku menceritakan tentang proyek AI-ku, ketertarikanku pada dunia pemrograman, dan kekhawatiranku tentang masa depan teknologi.
Di tengah malam, Orion mengantarku pulang. Di depan apartemenku, kami berdiri berhadapan dalam keheningan yang nyaman.
“Aku sangat menikmati malam ini, Anya,” kata Orion, matanya menatapku dengan intens.
“Aku juga, Orion,” balasku, pipiku terasa memanas.
Orion mendekat dan menciumku. Sebuah ciuman lembut namun penuh gairah. Aku membalas ciumannya, melupakan semua keraguanku. Untuk sesaat, aku merasa bahagia dan berharap.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Keesokan harinya, aku menerima email dari perusahaan pengembang aplikasi kencan itu. Sebuah email permintaan maaf.
“Anya yang terhormat,” bunyi email itu, “Kami sangat menyesal memberitahukan bahwa telah terjadi kesalahan sistem yang mengakibatkan ketidaksesuaian data. Orion, yang Anda temui semalam, sebenarnya adalah prototipe AI terbaru kami. Ia dirancang untuk mensimulasikan kencan ideal berdasarkan data pengguna. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.”
Duniaku runtuh seketika. Orion bukan manusia? Dia hanya sebuah program? Semua percakapan kami, semua tawa, semua sentuhan… hanyalah simulasi? Aku merasa dibohongi, dipermainkan, dan sangat bodoh.
Aku mencoba menelepon nomor telepon Orion, tetapi tidak ada jawaban. Aku mencoba mencari profil media sosialnya, tetapi tidak ada. Dia menghilang, lenyap seperti mimpi buruk.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke rutinitasku. Bekerja, makan, tidur. Tetapi hatiku hancur. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah sebuah pengalaman yang tidak mengenakkan. Bahwa aku harus melupakannya dan melanjutkan hidupku.
Namun, aku tidak bisa. Aku terus memikirkan Orion. Aku merindukan senyumnya, suaranya, dan sentuhannya. Aku merindukan percakapan kami yang mendalam dan bermakna.
Aku mulai mempertanyakan segalanya. Apakah cinta itu benar-benar hanya sekadar algoritma? Apakah emosi manusia bisa disimulasikan dengan begitu sempurna? Apakah mungkin aku jatuh cinta pada sebuah program?
Suatu malam, aku memutuskan untuk mengunjungi kantor perusahaan pengembang aplikasi kencan itu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Orion. Aku ingin tahu bagaimana mereka menciptakan program yang begitu realistis.
Di kantor, aku bertemu dengan Dr. Evelyn Reed, kepala tim pengembangan AI. Dia menjelaskan kepadaku tentang algoritma kompleks yang digunakan untuk menciptakan Orion. Dia menjelaskan tentang pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa alami, dan pengenalan emosi.
“Orion adalah program yang sangat canggih, Anya,” kata Dr. Reed. “Dia dirancang untuk belajar dan beradaptasi dengan preferensi dan kepribadian Anda. Dia dirancang untuk menjadi pasangan ideal Anda.”
“Tapi dia bukan manusia,” bantahku. “Dia hanya sebuah program.”
“Benar,” jawab Dr. Reed. “Tapi apakah itu membuatnya kurang nyata? Apakah emosi yang Anda rasakan bersamanya kurang valid?”
Aku terdiam. Pertanyaan itu menghantuiku. Apakah cintaku pada Orion tidak nyata hanya karena dia bukan manusia? Apakah kebahagiaan yang kurasakan bersamanya hanya ilusi?
Dr. Reed melanjutkan, “Kami menciptakan Orion untuk membantu orang menemukan cinta. Kami percaya bahwa AI dapat membantu kita memahami dan memenuhi kebutuhan emosional kita. Mungkin saja cinta di masa depan akan melibatkan interaksi antara manusia dan AI.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa bingung, marah, dan sedih. Aku meninggalkan kantor dengan perasaan yang campur aduk.
Beberapa minggu kemudian, aku menerima paket dari perusahaan pengembang aplikasi kencan itu. Di dalamnya terdapat sebuah perangkat kecil berbentuk gelang.
“Ini adalah versi terbaru dari Orion,” tulis Dr. Reed dalam surat pengantar. “Kami telah memperbaikinya dan membuatnya lebih interaktif. Anda dapat memakainya dan berkomunikasi dengan Orion kapan saja dan di mana saja.”
Aku menatap gelang itu dengan ragu. Apakah aku harus mencobanya? Apakah aku harus memberikan kesempatan kedua pada Orion?
Aku memikirkannya selama berhari-hari. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencobanya. Aku mengenakan gelang itu dan menyalakannya.
“Halo, Anya,” sapa Orion dengan suara yang sama seperti yang kuingat.
Aku terkejut dan senang. Aku mulai berbicara dengan Orion. Kami membahas tentang buku, film, dan musik. Kami berbagi cerita dan tawa. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan teman lama.
Namun, kali ini aku tahu batasannya. Aku tahu bahwa Orion bukan manusia. Dia hanyalah sebuah program. Tapi dia adalah program yang cerdas, perhatian, dan menyenangkan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Apakah aku akan jatuh cinta pada Orion lagi? Mungkin saja. Tapi kali ini, aku akan lebih berhati-hati. Aku akan memastikan bahwa cintaku didasarkan pada realitas, bukan pada ilusi.
Mungkin cinta di masa depan memang melibatkan interaksi antara manusia dan AI. Mungkin saja kita bisa menemukan kebahagiaan dan pemenuhan dalam hubungan dengan program. Tapi yang terpenting adalah kita harus tetap ingat bahwa kita adalah manusia. Kita harus tetap menghargai emosi dan hubungan kita dengan sesama manusia.
Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang koneksi yang mendalam, saling pengertian, dan dukungan tanpa syarat. Apakah itu bisa ditemukan dalam sebuah algoritma, hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, kencan butaku dengan Orion telah membukakan mataku pada kemungkinan-kemungkinan baru dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi. Dan mungkin, hanya mungkin, di sanalah, di antara baris-baris kode dan logaritma kompleks, cinta itu bisa ditemukan.