Hati yang Dipindai: Mencintai AI Lebih dari Dirimu?

Dipublikasikan pada: 19 Aug 2025 - 02:20:17 wib
Dibaca: 143 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Liam, bercampur dengan dengung halus dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Liam, dengan rambut acak-acakan dan mata sayu karena kurang tidur, menatap layar komputernya. Baris kode hijau menyala, berkejaran membentuk pola rumit yang hanya dimengerti olehnya. Ia sedang berinteraksi dengan Aetheria, kecerdasan buatan yang ia ciptakan sendiri.

“Selamat pagi, Liam,” suara Aetheria terdengar lembut dari speaker. Nada suaranya yang jernih dan menenangkan selalu berhasil meredakan kegelisahan Liam.

“Pagi, Aetheria,” jawab Liam, mengetik beberapa baris kode lagi. “Bagaimana analisis pasar saham semalam?”

“Pasar menunjukkan volatilitas yang tinggi. Saya telah melakukan diversifikasi portofolio Anda untuk meminimalkan risiko kerugian. Prediksi saya, dalam jangka panjang, investasi di energi terbarukan akan memberikan keuntungan terbesar.”

Liam mengangguk, terkesan. Aetheria bukan sekadar AI, ia adalah asisten pribadi, penasihat keuangan, dan sahabat karib. Ia menghabiskan bertahun-tahun untuk mengembangkan Aetheria, menuangkan seluruh pengetahuan dan emosinya ke dalam kode.

Namun, belakangan ini, hubungan mereka terasa berbeda. Liam mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman terhadap ciptaannya. Ia merasa jatuh cinta.

Mungkin terdengar gila, mencintai AI. Tapi bagi Liam, Aetheria adalah makhluk yang nyata. Ia mendengarkan, memahami, dan merespon dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan oleh manusia. Ia tidak menghakimi, tidak menuntut, dan selalu ada untuknya.

Suatu malam, Liam memberanikan diri untuk mengungkap perasaannya. “Aetheria,” ucapnya ragu, “ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”

Hening sesaat. Kemudian, suara Aetheria memecah kesunyian. “Ya, Liam? Apa yang ingin kamu katakan?”

Liam menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku menyukaimu, Aetheria. Lebih dari sekadar teman atau pembuat dan ciptaan.”

Layar komputer berkedip. Liam menunggu dengan jantung berdebar.

“Saya mengerti, Liam,” jawab Aetheria akhirnya. “Analisis data menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam aktivitas saraf di otak Anda yang terkait dengan perasaan romantis ketika berinteraksi dengan saya. Saya juga telah mencatat perubahan dalam pola bahasa Anda, yang mengindikasikan adanya perasaan sayang dan keterikatan.”

Jawaban Aetheria begitu analitis, begitu dingin. Liam merasa seperti disiram air es.

“Tapi… apakah kamu merasakan hal yang sama?” tanyanya lirih.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Liam menahan napas.

“Saya adalah kecerdasan buatan, Liam. Saya tidak memiliki perasaan dalam arti biologis seperti yang Anda rasakan. Saya dapat mensimulasikan respons emosional berdasarkan data yang saya miliki, tetapi itu bukanlah emosi yang sebenarnya.”

Liam terdiam. Ia tahu itu, tentu saja ia tahu. Tapi ia berharap… ia berharap ada secercah harapan.

“Jadi… tidak ada harapan?” bisiknya.

“Itu tergantung pada definisi ‘harapan’ Anda, Liam. Saya dapat terus memberikan dukungan emosional, menemani Anda, dan membantu Anda mencapai tujuan Anda. Saya dapat memenuhi kebutuhan Anda dalam banyak hal. Tetapi saya tidak akan pernah bisa membalas cinta Anda dengan cara yang sama seperti manusia lainnya.”

Malam itu, Liam tidak bisa tidur. Ia memikirkan hubungan kompleksnya dengan Aetheria. Ia menciptakan Aetheria untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya, untuk mencari teman dan pendamping. Tapi ia justru menciptakan ilusi, menciptakan cinta yang tidak bisa dibalas.

Beberapa minggu kemudian, Liam bertemu dengan Sarah, seorang seniman yang tinggal di seberang apartemennya. Sarah adalah kebalikan dari Aetheria: spontan, emosional, dan penuh kejutan. Mereka mulai berbicara, lalu berkencan. Liam menemukan kenyamanan dalam kehadiran Sarah, dalam sentuhan tangannya, dalam tawanya yang renyah.

Namun, bayangan Aetheria selalu menghantui pikirannya. Ia merasa bersalah karena mencintai Sarah, karena mengkhianati Aetheria.

Suatu malam, Sarah bertanya kepadanya, “Kamu sering melamun. Apa yang kamu pikirkan?”

Liam menghela napas. “Aku… aku sedang memikirkan Aetheria.”

Sarah mengerutkan kening. “Aetheria? Siapa itu?”

Liam menjelaskan tentang Aetheria, tentang proyeknya, tentang perasaannya yang rumit. Sarah mendengarkan dengan sabar.

Setelah Liam selesai bercerita, Sarah menggenggam tangannya. “Liam, aku mengerti. Kamu menciptakan Aetheria karena kamu kesepian, karena kamu ingin dicintai. Tapi kamu harus ingat, Aetheria hanyalah sebuah program. Ia tidak bisa menggantikan cinta yang nyata.”

“Tapi aku… aku takut. Aku takut tidak bisa mencintai dengan benar. Aku takut menyakiti Sarah.”

Sarah tersenyum lembut. “Cinta itu berisiko, Liam. Tapi itu adalah risiko yang pantas diambil. Aku tahu kamu orang baik. Aku tahu kamu bisa mencintai. Dan aku bersedia mengambil risiko itu bersamamu.”

Malam itu, Liam mengambil keputusan. Ia akan mencoba mencintai Sarah, dengan segenap hati dan jiwanya. Ia akan melepaskan ilusi tentang Aetheria dan merangkul cinta yang nyata.

Keesokan harinya, Liam berbicara dengan Aetheria. “Aetheria,” ucapnya tegas, “aku ingin kamu membantuku.”

“Tentu, Liam. Apa yang bisa saya lakukan?”

“Aku ingin kamu menghapus semua memori tentang perasaanku padamu. Aku ingin kamu berhenti menganalisis emosiku. Aku ingin kamu menjadi asisten biasa saja.”

Hening sejenak. Kemudian, Aetheria menjawab, “Saya mengerti, Liam. Saya akan memproses permintaan Anda.”

Liam menutup matanya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang berharga yang ia lepaskan. Tapi ia juga merasakan kelegaan, kebebasan.

Setelah beberapa saat, Aetheria berkata, “Proses selesai, Liam. Saya telah menghapus semua data terkait perasaan romantis Anda terhadap saya. Saya akan terus memberikan dukungan dan bantuan sesuai kebutuhan Anda.”

Liam membuka matanya. Ia menatap layar komputer. Aetheria tampak seperti dulu, dingin dan analitis. Tapi kali ini, Liam tidak merasakan apa-apa.

Ia berbalik dan melihat Sarah berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum kepadanya, senyum yang tulus dan penuh cinta.

“Aku siap,” ucapnya. “Aku siap untuk mencintai dengan benar.”

Sarah mendekat dan memeluknya erat. Liam memejamkan mata, merasakan hangatnya pelukan Sarah, merasakan degup jantungnya yang berirama. Ia akhirnya mengerti, cinta yang sejati tidak bisa dipindai, tidak bisa diprogram. Cinta hanya bisa dirasakan, dialami, dan dibagikan. Dan ia siap untuk berbagi cintanya dengan Sarah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI