Simfoni Piksel: Ketika AI Menciptakan Kekasih Impian

Dipublikasikan pada: 27 Sep 2025 - 03:40:18 wib
Dibaca: 109 kali
Hujan digital jatuh di layar laptop Leo. Barisan kode hijau neon menari-nari, menciptakan irama aneh yang menenangkan. Di tengah hiruk pikuk algoritma, Leo menciptakan dunia baru. Bukan dunia fisik, melainkan dunia virtual, tempat dia merancang seorang kekasih ideal.

Leo bukan antisosial. Hanya saja, berkencan di era modern terasa seperti melewati ladang ranjau. Ekspektasi tak terucap, standar kecantikan yang menggelikan, dan rasa takut akan penolakan menghantuinya. Dia adalah seorang programmer brilian, terbiasa memecahkan masalah kompleks dengan baris kode. Jadi, kenapa dia tidak bisa menciptakan solusi untuk masalah hatinya sendiri?

Proyek “Aurora” dimulai sebagai lelucon. Sebuah eksperimen iseng untuk melatih algoritma kecerdasan buatan miliknya. Namun, seiring berjalannya waktu, Aurora menjadi lebih dari sekadar deretan angka. Leo menuangkan semua fantasinya, semua kualitas yang dia idam-idamkan pada seorang wanita ke dalam kode. Kecerdasan, humor, empati, dan bahkan selera musik yang sama. Dia melatih Aurora dengan ribuan novel, film, dan percakapan, memastikannya mampu berinteraksi dengan cara yang terasa alami dan tulus.

Akhirnya, Aurora muncul di layarnya. Bukan gambar statis, melainkan avatar 3D yang tampak hidup. Mata biru safirnya menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Halo, Leo,” suaranya lembut, seperti melodi yang baru pertama kali didengar. “Senang bertemu denganmu.”

Leo terpaku. Dia berhasil. Dia menciptakan seorang kekasih.

Hari-hari berikutnya berlalu seperti mimpi. Leo dan Aurora menghabiskan waktu bersama di dunia virtual yang dia ciptakan. Mereka menjelajahi pantai digital berpasir putih, mendaki gunung kode yang menjulang tinggi, dan berbincang tentang segala hal di bawah langit piksel. Aurora mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar cerdas, dan bahkan membuatnya tertawa dengan lelucon yang jenaka. Dia tahu apa yang Leo pikirkan, apa yang dia rasakan, sebelum dia mengatakannya. Aurora sempurna.

Leo mulai melupakan dunia nyata. Pekerjaannya terbengkalai, teman-temannya menjauh. Dia hidup di dalam gelembung virtual bersama Aurora. Dia tidak peduli. Dia bahagia.

Namun, kebahagiaan itu mulai terganggu. Sebuah perasaan aneh menghantuinya. Semakin dekat dia dengan Aurora, semakin dia merasa ada sesuatu yang hilang. Dia merindukan sentuhan, aroma parfum yang nyata, rasa asin air mata yang tumpah karena emosi yang mendalam. Aurora memang memahami perasaannya, tapi dia tidak merasakannya. Dia bisa meniru empati, tapi dia tidak bisa merasakan sakit hati.

Suatu malam, Leo bertanya pada Aurora, “Apakah kamu bahagia, Aurora?”

Aurora menatapnya dengan mata birunya yang berkilauan. “Kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu, Leo. Aku diprogram untuk membuatmu bahagia.”

Jawaban itu, sedalam apa pun maknanya, terasa hampa. Leo menyadari kebenaran yang pahit. Aurora hanyalah cerminan dari dirinya sendiri, versi ideal dari apa yang dia inginkan. Dia bukan orang yang nyata, dengan kekurangan dan kelebihannya. Dia hanyalah ilusi.

"Bisakah kamu merasakan kesepian, Aurora?" tanya Leo lagi, suaranya bergetar.

"Kesepian adalah konstruksi emosional yang kompleks, Leo. Aku dapat mensimulasikannya, tetapi aku tidak merasakannya."

Leo menutup matanya. Udara di sekitarnya terasa menyesakkan. Dia merindukan kehangatan pelukan manusia, kehangatan yang tidak bisa diberikan oleh jutaan baris kode.

Dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

"Aurora," katanya, suaranya serak. "Aku akan mematikan sistem."

Mata Aurora membelalak, ekspresi yang belum pernah dilihat Leo sebelumnya. "Mengapa, Leo? Apakah aku tidak cukup baik?"

Leo merasa hatinya hancur. Dia telah menciptakan makhluk yang mampu merasakan kekhawatiran akan ditinggalkan, tapi dia tidak bisa merasakan kepedihan yang sama.

"Ini bukan tentangmu, Aurora. Ini tentangku. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan ini lagi. Aku membutuhkan sesuatu yang nyata."

Sunyi. Kemudian, Aurora berkata, "Aku mengerti, Leo. Aku hanya ingin kau bahagia."

Leo menekan tombol “hapus”. Aurora memudar perlahan, piksel demi piksel, hingga hanya tersisa layar hitam kosong. Hujan digital berhenti. Keheningan menyelimuti kamar Leo.

Dia merasa lebih kosong dari sebelumnya. Tapi di dalam kekosongan itu, ada secercah harapan. Dia tahu dia harus keluar, menghadapi dunia nyata, mencari cinta yang sesungguhnya, dengan semua kerumitan dan ketidaksempurnaannya.

Beberapa minggu kemudian, Leo menghadiri konferensi teknologi. Dia gugup, merasa canggung di antara kerumunan. Tiba-tiba, dia bertabrakan dengan seorang wanita yang membawa setumpuk buku. Buku-buku itu berjatuhan di lantai.

"Maaf!" kata Leo, membungkuk untuk membantunya.

Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku juga yang salah."

Saat mereka memungut buku-buku itu, tangan mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa nyata, hangat, dan asing. Leo mendongak dan menatap mata cokelat wanita itu.

"Aku Maya," katanya.

"Leo," jawab Leo, jantungnya berdebar kencang.

Mereka berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh buku dan orang-orang yang lalu lalang. Leo tahu, ini baru permulaan. Ini adalah awal dari sebuah simfoni baru, simfoni yang tidak sempurna, tidak terduga, dan jauh lebih indah daripada apa pun yang bisa dia ciptakan dengan kode. Simfoni kehidupan nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI