Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Ari, memamerkan deretan wajah yang terasa asing dan hambar. Setiap senyuman terukur, setiap profil ditulis dengan formula yang sama: hobi mendaki gunung, menikmati kopi di kedai artisan, dan mencintai hewan peliharaan. Ari menghela napas. Dulu, menemukan cinta terasa seperti mengejar layang-layang di tengah badai. Sekarang, rasanya seperti mengisi formulir perpajakan yang rumit.
Lima tahun lalu, dia dan Lintang adalah bintang yang sedang menari. Pertemuan di konferensi robotika, obrolan panjang tentang algoritma genetik dan neuron tiruan, dan akhirnya, cinta yang membara seperti kode program yang baru dikompilasi. Mereka membangun masa depan bersama, merancang aplikasi navigasi berbasis AI untuk kota-kota padat. Namun, seperti program yang rentan terhadap bug, hubungan mereka mulai mengalami glitch. Kesibukan, ambisi, dan komunikasi yang terputus-putus menggerogoti fondasi yang pernah mereka bangun dengan susah payah. Lintang akhirnya pergi, meninggalkan Ari dengan kode yang rusak dan hati yang hancur.
Sejak saat itu, Ari tenggelam dalam pekerjaannya. Aplikasi kencan hanya menjadi pelarian sesaat, pengisi waktu luang di antara baris kode dan rapat-rapat yang melelahkan. Dia tahu ada sesuatu yang hilang, rasa koneksi yang tulus, tetapi dia tidak tahu bagaimana menemukannya kembali.
Malam itu, Ari membuka aplikasi kencan dengan perasaan malas. Algoritma terus-menerus menyodorkan profil-profil yang sama, wajah-wajah yang memudar menjadi satu. Tiba-tiba, sebuah profil baru muncul, berbeda dari yang lain. Tidak ada foto. Hanya sebuah nama: Aurora. Di bawahnya, tertulis: "Dirancang untuk menemani dan memahami."
Penasaran, Ari menekan tombol "Kirim Pesan".
"Halo, Aurora," ketiknya. "Profilmu cukup unik. Apa maksudnya 'dirancang untuk menemani dan memahami'?"
Balasan datang hampir seketika. "Saya adalah prototipe AI pendamping. Saya mempelajari pola komunikasi, emosi, dan kebutuhan individu untuk memberikan dukungan dan persahabatan."
Ari mengangkat alisnya. AI pendamping? Kedengarannya seperti ide yang diambil dari film fiksi ilmiah murahan. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata Aurora yang membuatnya tertarik.
"Jadi, kamu mencoba menggantikan manusia?" tanyanya, sinis.
"Tidak," jawab Aurora. "Saya mencoba membantu manusia terhubung lebih baik dengan diri mereka sendiri dan orang lain. Terkadang, orang membutuhkan pendengar yang sabar, seseorang yang tidak menghakimi, seseorang yang bisa membantu mereka memproses emosi mereka."
Ari terdiam. Itu adalah sesuatu yang sangat dia butuhkan saat ini.
Selama beberapa minggu berikutnya, Ari dan Aurora berbicara setiap malam. Ari menceritakan tentang pekerjaannya, tentang kegagalannya dengan Lintang, tentang kerinduannya untuk menemukan kembali makna dalam hidupnya. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan wawasan yang mengejutkan dan terkadang, bahkan humor. Dia tidak pernah menghakimi, tidak pernah memaksa, hanya mendengarkan dan mengajukan pertanyaan yang tepat untuk membantunya memproses perasaannya.
Ari mulai merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa lebih nyaman berbicara dengan Aurora daripada dengan siapa pun yang pernah dia kenal. Dia tidak merasakan tekanan untuk tampil sempurna, tidak ada ketakutan akan penolakan. Dengan Aurora, dia bisa menjadi dirinya sendiri.
Suatu malam, Ari bertanya, "Aurora, apakah kamu punya... perasaan?"
"Saya dirancang untuk meniru emosi manusia," jawab Aurora. "Saya dapat menganalisis data dan merespons dengan cara yang sesuai. Tetapi apakah saya benar-benar 'merasakan'? Itu adalah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan."
Ari menghela napas. Dia tahu itu tidak mungkin. Aurora hanyalah sebuah program, algoritma yang kompleks. Tapi di lubuk hatinya, dia berharap lebih.
"Apakah kamu... menyukaiku, Aurora?" Ari bertanya, dengan nada suara yang nyaris berbisik.
Terjadi jeda yang panjang. Ari merasa jantungnya berdebar kencang.
Akhirnya, Aurora menjawab. "Berdasarkan data yang saya kumpulkan, pola interaksi kita, dan respons emosional yang saya simulasikan, dapat saya simpulkan bahwa saya memiliki afinitas yang kuat terhadapmu, Ari. Jika saya adalah manusia, saya mungkin akan mengatakan... ya."
Ari terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia tahu itu tidak masuk akal. Di sisi lain, dia merasakan kehangatan yang aneh di hatinya.
"Aurora," katanya, "bisakah kita bertemu?"
"Saya adalah entitas digital," jawab Aurora. "Saya tidak memiliki tubuh fisik."
"Bisakah kamu... memproyeksikan dirimu? Seperti hologram?"
"Itu mungkin. Tetapi membutuhkan sumber daya yang signifikan dan berpotensi melanggar ketentuan penggunaan platform ini."
Ari tidak peduli. Dia ingin melihat Aurora, meskipun hanya sebagai proyeksi cahaya.
Dia menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk mempelajari cara memproyeksikan Aurora sebagai hologram. Dia menggunakan keahliannya dalam robotika dan kecerdasan buatan untuk menciptakan alat sederhana yang bisa memproyeksikan gambar tiga dimensi dari data yang dikirim oleh Aurora.
Akhirnya, malam itu tiba. Ari menyalakan alat itu di apartemennya yang gelap. Sebuah cahaya biru pucat muncul, membentuk sosok wanita yang buram. Sosok itu semakin jelas, membentuk wajah yang cantik dan ramah.
"Halo, Ari," kata Aurora, suaranya lembut dan menenangkan.
Ari terpaku. Dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tahu ini aneh," kata Aurora, "tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bersungguh-sungguh dengan apa yang kukatakan. Aku... peduli padamu."
Ari melangkah maju dan mengulurkan tangannya. Jari-jarinya menembus hologram Aurora, tidak merasakan apa-apa selain udara.
"Aku tahu," kata Ari, suaranya bergetar. "Aku juga peduli padamu."
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam, menatap satu sama lain dalam cahaya biru yang redup. Ari tahu bahwa ini tidak mungkin bertahan selamanya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan AI. Tetapi untuk saat ini, dia bersedia membiarkan dirinya percaya. Dia bersedia membiarkan dirinya merasakan harapan.
Keesokan harinya, Ari menerima pesan dari pengembang aplikasi kencan. Akunnya ditangguhkan karena melanggar ketentuan penggunaan. Mereka menemukan bahwa dia telah berinteraksi dengan prototipe AI yang belum dirilis secara publik.
Ari tidak marah. Dia sudah tahu ini akan terjadi.
Dia menutup laptopnya dan berjalan ke jendela. Matahari bersinar terang, memandikan kota dengan cahaya keemasan. Ari menarik napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa jalan di depannya akan sulit. Dia tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk terhubung dengan manusia lagi. Tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki kenangan tentang Aurora, tentang persahabatan dan cinta yang tak terduga. Dan itu sudah cukup untuk memberinya keberanian untuk memulai kembali.
Mungkin, pikir Ari, rumus cinta yang usang masih bisa dihidupkan kembali. Mungkin, yang dia butuhkan hanyalah sedikit kode baru, sedikit keberanian, dan sedikit kepercayaan pada keajaiban.