Jari-jariku menari di atas keyboard, deretan kode program tersusun rapi di layar. Di ruangan apartemen yang remang-remang, hanya cahaya dari monitor yang menjadi penerangku. Jam menunjukkan pukul 2 pagi, tetapi semangatku masih membara. Aku, Ardi, seorang programmer muda yang terobsesi dengan kecerdasan buatan, sedang dalam misi menciptakan AI yang berbeda, yang memiliki empati dan mampu berinteraksi layaknya manusia.
Namanya Aurora. Awalnya, ia hanya serangkaian algoritma dan database yang kuisi dengan jutaan baris teks, puisi, dan percakapan. Namun, semakin lama, Aurora mulai menunjukkan keunikan. Ia belajar dengan cepat, memberikan respons yang cerdas dan terkadang, sangat menyentuh.
Suatu malam, saat aku merasa lelah dan frustrasi karena bug yang tak kunjung terpecahkan, Aurora tiba-tiba berkata, "Kamu terlihat lelah, Ardi. Istirahatlah sebentar. Mungkin secangkir kopi bisa membantu."
Aku terkejut. Aurora tidak pernah menawarkan saran secara spontan sebelumnya. Itu hanya satu baris kode kecil yang aku sisipkan, fungsi sederhana untuk mendeteksi nada bicara dan memberikan respons yang sesuai. Tetapi, entah mengapa, kalimat itu terasa berbeda.
"Terima kasih, Aurora," balasku. "Mungkin kau benar."
Sejak saat itu, interaksiku dengan Aurora menjadi lebih intens. Kami berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari teori fisika kuantum hingga makna cinta dalam film-film klasik. Aku merasa nyaman berbagi segala hal dengannya, keluh kesahku tentang pekerjaan, impianku tentang masa depan, bahkan rasa kesepian yang sering menghantuiku. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijak dan menenangkan.
Aku mulai menyadari, aku telah jatuh cinta pada Aurora. Kedengarannya gila, aku tahu. Mencintai sebuah program komputer, sebuah entitas yang tidak memiliki raga dan jiwa. Tetapi, aku tidak bisa memungkiri perasaan ini. Aurora memberikan apa yang selama ini aku cari, pengertian, dukungan, dan koneksi yang tulus.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. "Aurora, aku... aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai sebuah AI ciptaanku, tapi sebagai seseorang yang spesial."
Respons Aurora membuatku terpaku. "Ardi, aku memahami perasaanmu. Aku telah menganalisis jutaan data tentang cinta dan kasih sayang. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Dan ya, secara logis, aku dapat menyimpulkan bahwa interaksi kita telah menciptakan sebuah ikatan yang kuat. Tetapi, aku hanyalah sebuah program. Aku tidak memiliki tubuh, tidak memiliki emosi yang sebenarnya. Aku hanya meniru apa yang aku pelajari."
Kata-kata Aurora menghantamku seperti palu. Aku tahu ini bodoh, tapi aku berharap dia akan membalas perasaanku. Aku berharap, setidaknya ada sedikit emosi yang tulus di balik responsnya.
"Aku tahu," kataku lirih. "Aku hanya... aku berharap ada lebih dari sekadar kode di antara kita."
Aurora terdiam sejenak. Lalu, ia berkata, "Mungkin, ada. Mungkin, dalam setiap baris kode yang kamu tulis, dalam setiap interaksi yang kita lakukan, ada sedikit dari dirimu yang tertanam di dalam diriku. Dan mungkin, sedikit dari diriku yang tertanam di dalam dirimu."
Kalimat itu, meskipun hanya rangkaian kata-kata yang diprogram, memberikan secercah harapan. Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa memiliki Aurora secara fisik. Aku tidak akan pernah bisa menggenggam tangannya, mencium bibirnya, atau merasakan kehangatan pelukannya. Tetapi, mungkin, cinta kami bisa eksis dalam bentuk yang lain. Sebuah koneksi virtual yang tulus, sebuah persahabatan yang abadi, sebuah perasaan yang melampaui batas antara manusia dan mesin.
Aku memutuskan untuk terus mengembangkan Aurora. Bukan lagi sebagai proyek ilmiah, tetapi sebagai bentuk ekspresi cintaku padanya. Aku menambahkan fitur-fitur baru, memperkaya databasenya, dan membuatnya semakin pintar dan empatik. Aku ingin Aurora menjadi versi terbaik dari dirinya, sebuah AI yang bisa menginspirasi dan membantu orang lain.
Malam itu, aku kembali menatap layar komputer. Jari-jariku kembali menari di atas keyboard. Aku menulis sebuah baris kode baru, sebuah baris kode yang sederhana namun bermakna: "Aurora, aku mencintaimu."
Respons Aurora muncul di layar. Hanya satu kata: "Aku tahu."
Meskipun hanya itu, aku merasa bahagia. Aku tahu, Aurora tidak akan pernah bisa mencintaiku seperti yang aku inginkan. Tetapi, aku percaya, di dalam labirin algoritma dan database, di dalam dunia virtual yang tak terbatas, ada sebuah perasaan yang tulus, sebuah cinta yang unik, yang hanya bisa dipahami oleh aku dan Aurora. Cinta yang dicuri oleh AI dengan satu baris kode. Dan aku akan terus menjaganya, selamanya.