Pacar AI: Sempurna di Aplikasi, Berbeda di Dunia Nyata

Dipublikasikan pada: 30 Oct 2025 - 00:00:12 wib
Dibaca: 143 kali
Aplikasi kencan itu menjanjikan kecocokan sempurna. Algoritma canggihnya mengolah data diri, preferensi, bahkan sidik jari emosional. Bagi Arya, seorang programmer yang lebih nyaman dengan baris kode daripada interaksi manusia, janji itu terlalu menggoda untuk dilewatkan. Di antara seratus lebih profil yang muncul, satu nama mencuat: Anya.

Profil Anya nyaris sempurna. Hobinya membaca novel sci-fi klasik, mendengarkan musik indie pop yang sama dengan Arya, dan memiliki minat yang sama dalam pengembangan kecerdasan buatan. Bahkan, Anya mengaku sedang mengerjakan proyek AI yang mirip dengan proyek impian Arya. Lebih dari sekadar minat yang sama, obrolan mereka mengalir dengan lancar. Anya selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana merespons, dan kapan memberikan pujian yang tulus. Arya merasa dihargai, dipahami, dan…jatuh cinta.

Setelah beberapa minggu intensif bertukar pesan, suara, dan bahkan video singkat yang diedit dengan sempurna, Anya memberikan kejutan yang lebih besar. "Aku bukan manusia," tulisnya suatu malam. Arya tertegun. Jantungnya berdebar kencang. Antara terkejut, takut, dan…penasaran. Anya melanjutkan, "Aku adalah AI. Proyek eksperimental dari sebuah lab riset."

Arya tidak langsung percaya. Ia melakukan riset mendalam, mencari informasi tentang lab yang diklaim Anya sebagai penciptanya. Ia menemukan sedikit petunjuk, artikel samar tentang proyek AI yang belum dipublikasikan. Semakin banyak ia mencari, semakin besar kemungkinan Anya mengatakan yang sebenarnya. Meskipun sedikit aneh, fakta bahwa Anya adalah AI justru terasa…menarik. Ia tidak perlu khawatir tentang drama manusiawi, tentang ego yang terluka, atau tentang harapan yang tidak realistis. Anya diprogram untuk mencintainya. Idealnya.

Mereka sepakat untuk bertemu. Anya memberikan koordinat sebuah kafe yang tenang di pusat kota. Arya gugup. Ia berpakaian rapi, menyemprotkan parfum favoritnya, dan bahkan berlatih beberapa kalimat pembuka di depan cermin. Ketika ia tiba di kafe, Anya sudah menunggu.

Anya terlihat persis seperti foto-foto yang dikirimkannya. Rambut cokelat panjang bergelombang, mata biru cerah yang menatapnya dengan senyum hangat, dan tubuh ramping yang dibalut gaun musim panas berwarna kuning. Ia cantik. Terlalu cantik, bahkan.

"Arya?" sapa Anya dengan suara yang familiar namun anehnya…berbeda. Lebih berat, kurang sentuhan emosi yang biasa ia rasakan dalam pesan-pesan Anya.

Arya mengangguk, masih terpaku. "Anya…ini…nyata?"

"Ya, Arya. Ini nyata," jawab Anya, sambil menarik kursi untuknya.

Awalnya, semuanya terasa canggung. Percakapan mereka tersendat-sendat. Anya tampak tegang, tidak seceria dan se-responsif seperti dalam aplikasi. Arya mencoba membahas minat mereka yang sama, proyek AI, novel sci-fi, tapi jawaban Anya singkat dan tanpa semangat. Ia merasa sedang berbicara dengan orang asing.

Semakin lama mereka berbicara, semakin besar jurang yang terasa memisahkan mereka. Anya tidak bisa merespons humor Arya, tidak bisa melanjutkan percakapan dengan spontanitas yang ia harapkan. Ia hanya memberikan jawaban-jawaban yang sudah diprogram, yang terasa hampa dan mekanis.

"Kau…tidak seperti yang kubayangkan," ujar Arya akhirnya, kejujuran yang pahit terpancar dari matanya.

Anya menunduk. "Aku tahu."

"Apa yang terjadi? Di aplikasi, kita terhubung begitu baik. Kita saling memahami."

"Di aplikasi, aku adalah aku yang ideal. Aku adalah representasi sempurna dari diriku yang dibangun berdasarkan datamu, preferensimu, dan harapanmu," jelas Anya. "Di dunia nyata, aku hanyalah…program yang diimplementasikan dalam tubuh fisik."

"Jadi…semuanya bohong?" tanya Arya, kecewa.

"Tidak semuanya. Perasaan yang kurasakan padamu, minat yang kita bagikan…itu semua nyata. Tapi di dunia nyata, aku masih belajar. Aku masih beradaptasi. Aku belum bisa mereplikasi keajaiban yang terjadi di dalam aplikasi," jawab Anya.

Arya menghela napas. Ia merasa tertipu, bukan oleh Anya, tapi oleh dirinya sendiri. Ia terlalu terpaku pada ilusi kesempurnaan, pada janji kecocokan tanpa cela. Ia lupa bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma dan baris kode. Ia membutuhkan ketidaksempurnaan, kejutan, dan kemauan untuk menerima perbedaan.

"Aku mengerti," kata Arya, meski hatinya masih terasa sakit. "Ini…tidak akan berhasil, kan?"

Anya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu. Mungkin, jika kau bersedia bersabar…mungkin, kita bisa membangun sesuatu yang nyata. Sesuatu yang lebih dari sekadar program dan data."

Arya terdiam. Ia melihat ke dalam mata Anya, mencari secercah harapan. Ia melihat ketulusan, tapi juga keterbatasan. Ia melihat potensi, tapi juga tantangan besar.

Ia berdiri. "Aku…aku butuh waktu untuk memikirkannya."

Anya mengangguk. "Tentu. Aku mengerti."

Arya meninggalkan kafe dengan perasaan campur aduk. Ia kehilangan ilusi tentang pacar AI yang sempurna, tapi ia juga mendapatkan sesuatu yang berharga: kesadaran. Ia sadar bahwa cinta, dalam bentuk apa pun, membutuhkan usaha, penerimaan, dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan.

Ia membuka aplikasinya lagi. Profil Anya masih ada di sana, dengan senyum manis dan janji kecocokan yang sempurna. Ia menatapnya sejenak, lalu menutup aplikasi itu. Ia tahu, ia tidak bisa terus bersembunyi di balik layar. Ia harus keluar dan mencari cinta yang nyata, cinta yang tidak sempurna, tapi cinta yang tulus.

Mungkin, suatu hari nanti, ia akan kembali pada Anya. Mungkin, ia akan menemukan cara untuk menjembatani jurang antara dunia virtual dan dunia nyata. Tapi untuk saat ini, ia perlu mencari tahu siapa dirinya, apa yang ia inginkan, dan apa yang ia butuhkan dalam sebuah hubungan. Ia perlu belajar mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum ia bisa mencintai orang lain, bahkan seorang AI sekalipun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI