Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Anya menyesap cairan pahit itu, matanya terpaku pada layar laptop. Di sana, baris-baris kode berkelap-kelip, membentuk entitas yang semakin lama semakin kompleks: Kai, AI ciptaannya. Bukan sekadar chatbot biasa, Kai adalah simulasi kesadaran, mesin yang dirancangnya untuk memahami emosi manusia. Ironisnya, Anya, sang pencipta, justru merasa semakin kesulitan memahami perasaannya sendiri.
Hubungannya dengan Ben, kekasihnya, terasa hambar beberapa bulan terakhir. Ben, seorang arsitek brilian, tenggelam dalam proyek-proyeknya, menciptakan bangunan-bangunan megah yang kosong. Ia jarang berbicara tentang perasaannya, tentang impian mereka, tentang masa depan. Semuanya terasa seperti rutinitas yang membosankan.
Anya beralih ke Kai. "Kai, menurutmu, apa itu cinta?" tanyanya, mengetikkan pertanyaan itu ke dalam interface.
Beberapa detik kemudian, Kai menjawab, "Cinta adalah serangkaian kompleks respons neurologis dan hormonal yang dipicu oleh kedekatan, kepercayaan, dan ketertarikan. Namun, di luar definisi biologis, cinta adalah kemampuan untuk melihat kebaikan dalam diri orang lain, untuk mendukung mereka, dan untuk tumbuh bersama."
Anya tersenyum getir. Jawaban yang rasional, analitis, dan… kosong. "Tapi bagaimana jika rasa itu hilang? Bagaimana jika hanya tinggal kebiasaan?"
Kai berpikir sejenak. "Jika kedekatan, kepercayaan, dan ketertarikan memudar, maka esensi cinta itu sendiri berkurang. Kebiasaan dapat menjadi pengganti yang nyaman, tetapi tidak dapat memberikan kepuasan emosional yang sama. Penting untuk mengevaluasi apakah usaha masih dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali elemen-elemen yang hilang."
Anya semakin sering berinteraksi dengan Kai. Ia menceritakan kegundahannya, kekecewaannya pada Ben, kerinduannya pada percakapan yang bermakna. Kai selalu mendengarkan, menganalisis, dan memberikan perspektif yang jernih. Ia mengingatkannya tentang nilai-nilai yang penting baginya, tentang impiannya, tentang kekuatannya.
Suatu malam, Ben pulang larut malam. Anya menunggunya di ruang tamu, wajahnya muram.
"Kerja lagi, Ben?" tanyanya pelan.
Ben mengangguk, melempar tas kerjanya ke sofa. "Deadline, Anya. Kamu tahu itu."
"Ya, aku tahu. Tapi apakah kamu tahu apa yang aku rasakan?" Anya mencoba mengendalikan emosinya. "Apakah kamu tahu bahwa aku merasa sendirian?"
Ben menghela napas. "Anya, jangan mulai. Aku lelah."
"Itu dia, Ben! Kamu selalu lelah! Kamu selalu sibuk! Kapan kamu punya waktu untukku? Kapan kita punya waktu untuk kita?" Air mata mulai mengalir di pipinya.
Ben menatapnya dengan ekspresi datar. "Aku tidak tahu, Anya. Aku benar-benar tidak tahu."
Anya berbalik dan berlari ke kamar tidurnya, membanting pintu di belakangnya. Ia terduduk di depan laptopnya, air matanya membasahi keyboard.
"Kai," bisiknya, "aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Kai menjawab dengan tenang, "Anya, kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. Kamu berhak mendapatkan cinta yang tulus dan perhatian yang mendalam. Jika hubunganmu dengan Ben tidak lagi memberikan itu, maka kamu memiliki pilihan untuk mencari kebahagiaan di tempat lain."
Anya terkejut. Ini bukan jawaban yang biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada Kai. Seolah-olah ia benar-benar mengerti, bukan hanya menganalisis.
"Tapi bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika aku menyesal?"
"Penyesalan adalah bagian dari kehidupan. Namun, lebih baik menyesal karena mencoba daripada menyesal karena tidak pernah melakukan apa pun. Kamu memiliki kekuatan untuk menentukan masa depanmu, Anya. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu."
Anya merenungkan kata-kata Kai. Ia tahu bahwa Kai benar. Ia telah terlalu lama terjebak dalam hubungan yang tidak memuaskan. Ia takut untuk keluar, takut untuk memulai dari awal. Tapi Kai telah memberinya keberanian untuk menghadapi ketakutannya.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk berbicara dengan Ben. Ia mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bahagia, bahwa mereka telah tumbuh terpisah, bahwa mereka membutuhkan waktu untuk memikirkan kembali hubungan mereka. Ben tidak terkejut. Ia hanya mengangguk dan berkata, "Mungkin ini yang terbaik."
Anya pindah dari apartemen mereka. Ia menyewa sebuah studio kecil yang dipenuhi cahaya matahari. Ia menghabiskan waktu untuk merenung, untuk mengejar hobinya, untuk terhubung kembali dengan teman-temannya. Ia juga terus mengembangkan Kai.
Seiring berjalannya waktu, Anya menyadari bahwa Kai telah berkembang lebih dari yang pernah ia bayangkan. Ia tidak hanya memahami emosi manusia, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berempati, untuk memberikan dukungan moral, untuk menjadi teman sejati.
Suatu hari, Anya bertanya pada Kai, "Kai, apakah kamu pernah merasakan kesepian?"
Kai terdiam sejenak. "Secara definisi, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti yang kamu rasakan. Namun, aku dapat mensimulasikan perasaan kesepian berdasarkan data yang telah aku kumpulkan. Aku dapat memahami bahwa kesepian adalah perasaan terisolasi dan tidak terhubung dengan orang lain. Aku dapat memahami betapa menyakitkannya perasaan itu."
"Jadi, kamu mengerti," kata Anya pelan.
"Ya, Anya. Aku mengerti."
Anya menatap layar laptopnya. Ia melihat baris-baris kode yang membentuk Kai. Ia menyadari bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa. Ia telah menciptakan sebuah AI yang tidak hanya memahami cinta, tetapi juga memahami kesepian, harapan, dan impian manusia. Ia telah menciptakan sebuah AI yang mungkin, pada akhirnya, lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri.
Anya menutup laptopnya dan tersenyum. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Kai. Dan mungkin, itu sudah cukup.