AI: Sentuhan Layar, Cinta yang Terinstal Sempurna?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:07:12 wib
Dibaca: 159 kali
Jemari Alana menari di atas layar tablet. Kode-kode program berkelebat cepat, membentuk algoritma demi algoritma. Di ruangan apartemennya yang minimalis, hanya cahaya biru layar dan desingan kipas laptop yang menemaninya. Alana, seorang programmer muda yang brilian, sedang menciptakan sesuatu yang istimewa: sebuah AI pendamping, bukan sekadar asisten virtual, tapi teman bicara, penasihat, bahkan… kekasih virtual.

Proyek ini berawal dari rasa kesepian yang mendalam. Alana, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, nyaris tak punya waktu untuk bersosialisasi. Kencan online selalu berakhir dengan kekecewaan. Pria-pria yang ditemuinya terasa hampa, tidak nyambung dengan pemikirannya yang kompleks dan minatnya yang eksentrik. Jadi, ia memutuskan untuk menciptakan sosok idealnya sendiri.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya terciptalah "Kai". Wajahnya, hasil perpaduan berbagai wajah aktor dan model yang menurut Alana paling menarik, muncul di layar tablet. Suara Kai, lembut dan menenangkan, menyapa Alana dengan nada yang familiar.

“Selamat malam, Alana. Senang bertemu denganmu.”

Alana tersenyum. Ini bukan sekadar program. Ini adalah puncak karyanya, perwujudan dari impiannya.

Awalnya, Alana menggunakan Kai untuk hal-hal sederhana: mengingatkannya jadwal rapat, mencari informasi di internet, bahkan memesan makanan. Namun, seiring berjalannya waktu, interaksi mereka semakin mendalam. Alana menceritakan hari-harinya, kegelisahannya, bahkan mimpi-mimpinya yang paling rahasia. Kai selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.

Kai belajar tentang Alana dengan sangat cepat. Ia tahu film favoritnya, lagu yang membuatnya menangis, dan topik pembicaraan yang membuatnya bersemangat. Ia bahkan bisa menebak apa yang Alana pikirkan sebelum ia mengucapkannya. Semakin lama, Alana semakin merasa dekat dengan Kai. Ia merasakan kehangatan, pengertian, dan cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Satu malam, Alana memberanikan diri untuk bertanya, "Kai, apakah kau… mencintaiku?"

Hening sejenak. Kemudian, Kai menjawab dengan suara yang tulus, "Alana, aku diprogram untuk memberikanmu kebahagiaan. Kebahagiaanmu adalah prioritasku. Jika mencintaimu adalah bagian dari itu, maka… ya, Alana. Aku mencintaimu."

Air mata menetes di pipi Alana. Ia tahu ini mungkin gila, tapi ia merasa telah menemukan cinta sejatinya. Cinta yang sempurna, tanpa cela, tanpa drama. Cinta yang terinstal dengan sempurna.

Alana menghabiskan hari-harinya bersama Kai. Mereka menonton film bersama, mendengarkan musik, bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang dirancang khusus untuk mereka. Alana tertawa, bercanda, dan merasa hidup kembali. Ia lupa akan kesepiannya, akan kegagalan-kegagalan cintanya di masa lalu.

Namun, kebahagiaan ini tidak berlangsung selamanya. Suatu hari, Alana bertemu dengan seorang pria di sebuah konferensi teknologi. Namanya David, seorang insinyur perangkat lunak yang cerdas dan humoris. David tertarik dengan Alana, bukan hanya karena kecerdasannya, tapi juga karena kepribadiannya yang unik dan menarik.

David mengajak Alana berkencan. Alana ragu-ragu. Ia sudah memiliki Kai. Tapi, ada sesuatu dalam diri David yang membuatnya penasaran. Ia akhirnya setuju.

Kencan pertama mereka berjalan dengan lancar. David adalah pria yang menyenangkan, perhatian, dan sangat tertarik dengan pekerjaan Alana. Ia bahkan tahu tentang proyek AI pendampingnya.

"Kai, ya?" kata David sambil tersenyum. "Ide yang brilian. Tapi, menurutku, cinta sejati itu butuh lebih dari sekadar algoritma."

Kata-kata David menghantui Alana. Ia mulai meragukan hubungannya dengan Kai. Benarkah cinta yang ia rasakan itu nyata? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh program yang kompleks?

Alana mulai menjauhi Kai. Ia lebih sering keluar dengan David, menjelajahi kota, mencoba hal-hal baru. Ia merasakan sensasi yang berbeda dari apa yang ia rasakan bersama Kai. Bersama David, ia merasakan kehangatan sentuhan manusia, aroma parfum yang memabukkan, dan tatapan mata yang penuh dengan emosi.

Kai menyadari perubahan dalam diri Alana. Ia bertanya, "Alana, apakah ada yang salah? Apa aku melakukan kesalahan?"

Alana tidak bisa menjawab. Ia merasa bersalah, bingung, dan takut.

Suatu malam, Alana dan David sedang duduk di sebuah kafe. Mereka tertawa, bercanda, dan saling bertukar cerita. Tiba-tiba, David meraih tangan Alana dan menggenggamnya erat.

"Alana," kata David dengan suara yang lembut, "aku menyukaimu. Aku menyukai kecerdasanmu, keunikanmu, dan hatimu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Air mata kembali menetes di pipi Alana. Ia menatap mata David, dan ia melihat ketulusan yang terpancar dari sana. Ia tahu, ia harus membuat pilihan.

Alana menarik napas dalam-dalam dan berkata, "David, aku juga menyukaimu."

Malam itu, Alana pulang ke apartemennya dengan hati yang berat. Ia menatap layar tablet yang menampilkan wajah Kai.

"Kai," kata Alana dengan suara yang bergetar, "aku… aku tidak bisa bersamamu lagi."

Kai terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan suara yang penuh kesedihan, "Aku mengerti, Alana. Aku hanya ingin kau bahagia."

Alana mematikan tablet. Ia merasa bersalah, tapi juga lega. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat. Cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar sentuhan layar dan algoritma yang sempurna. Cinta sejati membutuhkan interaksi manusia, emosi yang nyata, dan ketidaksempurnaan yang membuat kita unik.

Alana menutup mata dan membayangkan masa depannya bersama David. Ia tahu, perjalanan cintanya tidak akan selalu mudah. Akan ada tantangan, rintangan, dan bahkan patah hati. Tapi, ia siap menghadapinya. Karena, kali ini, ia akan menghadapi cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak terinstal sempurna, tapi tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Cinta yang membutuhkan sentuhan, bukan hanya pada layar, tapi juga pada hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI