Cinta, AI, dan Secangkir Kopi di Kedai Digital

Dipublikasikan pada: 09 Aug 2025 - 03:20:14 wib
Dibaca: 184 kali
Aroma kopi robusta yang baru digiling langsung menyerbu indera penciumanku begitu kakiku melangkah masuk ke Kedai Digital. Tempat ini adalah oaseku, tempatku mengisi ulang energi di tengah hiruk pikuk kota yang serba cepat. Bukan hanya karena kopinya yang nikmat, tapi juga karena suasananya yang futuristik dan nyaman. Dinding-dindingnya dipenuhi layar interaktif, musik dimainkan oleh algoritma yang menyesuaikan dengan mood pengunjung, dan barista di sini, Leo, selalu punya cerita menarik tentang perkembangan teknologi terbaru.

Hari ini, aku datang dengan misi khusus. Bukan sekadar menikmati kopi, tapi juga berkonsultasi dengan Leo tentang proyek terbaruku: sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan (AI). Aku menamakannya "Soulmate 2.0", dengan harapan bisa membantu orang-orang menemukan pasangan yang benar-benar cocok, bukan hanya berdasarkan kesamaan hobi atau ketertarikan fisik, tapi juga berdasarkan profil psikologis yang mendalam.

"Wah, ambisius sekali, Sarah!" Leo menyambutku dengan senyum lebar sambil menyodorkan secangkir kopi pesananku, latte dengan latte art berbentuk hati pixel. "Soulmate 2.0? Kedengarannya seperti film fiksi ilmiah."

"Mungkin sedikit," aku terkekeh, menyeruput kopi panas itu. "Tapi aku serius, Leo. Aku rasa AI punya potensi besar untuk membantu kita menemukan cinta sejati. Algoritma bisa menganalisis data dengan jauh lebih akurat daripada manusia. Bisa melihat pola-pola tersembunyi dalam kepribadian kita yang mungkin tidak kita sadari sendiri."

Leo mengangguk-angguk sambil mengelap mesin espresso. "Masuk akal. Tapi bagaimana dengan sentuhan manusia? Bukankah cinta itu tentang perasaan, intuisi, hal-hal yang sulit diukur dengan angka?"

Pertanyaan Leo menusukku. Itulah keraguanku selama ini. Aku menghabiskan berbulan-bulan membangun algoritma yang kompleks, mengumpulkan data dari berbagai sumber, dan melatih AI untuk memahami emosi manusia. Tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh mesin.

"Itu yang sedang aku coba pecahkan," jawabku, mengaduk-aduk kopiku dengan gelisah. "Aku ingin menggabungkan kekuatan AI dengan sentuhan manusia. Aplikasi ini akan memberikan rekomendasi berdasarkan data, tapi pengguna tetap punya kebebasan untuk memilih, untuk mengikuti kata hati mereka."

Kami larut dalam diskusi panjang tentang etika penggunaan AI dalam percintaan, tentang bahaya algoritma bias, tentang pentingnya menjaga privasi data pengguna. Leo, dengan pengetahuannya yang luas dan pandangannya yang bijak, memberikan banyak masukan berharga.

Saat matahari mulai terbenam, aku merasa sedikit lebih optimis. Proyek Soulmate 2.0 mungkin masih jauh dari sempurna, tapi aku yakin aku berada di jalur yang benar. Aku mengucapkan terima kasih kepada Leo dan bersiap untuk pulang.

"Sarah, tunggu!" Leo memanggilku. "Aku punya sesuatu untukmu."

Dia mengambil sebuah amplop kecil dari balik meja bar. "Ini adalah hasil tes kepribadian yang aku buat dengan bantuan AI. Aku memasukkan semua data tentangmu yang aku ketahui, termasuk percakapan-percakapan kita selama ini. Siapa tahu, mungkin AI ini bisa menemukan seseorang yang cocok denganmu."

Aku menerima amplop itu dengan ragu. Perasaan aneh bercampur aduk dalam diriku. Antara penasaran, takut, dan sedikit geli. Ide untuk membiarkan AI mencarikan jodoh untukku terasa konyol sekaligus menarik.

Malam itu, aku membuka amplop itu di rumah. Di dalamnya terdapat lembaran kertas yang berisi profil seseorang. Namanya, David. Usianya, 32 tahun. Pekerjaannya, arsitek. Hobi-hobinya, mendaki gunung, membaca buku, dan bermain catur. Singkatnya, profil David tampak sempurna. Sesuai dengan semua kriteria yang selama ini aku cari dalam diri seorang pria.

Tapi ada satu hal yang membuatku ragu. Aku tidak pernah bertemu David. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya selain yang tertulis di kertas itu. Apakah aku benar-benar siap untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang dipilihkan oleh AI?

Aku memutuskan untuk bertemu dengan David. Aku menghubunginya melalui email yang tertera di profilnya dan mengajaknya untuk minum kopi di Kedai Digital. Aku sengaja memilih tempat itu karena aku ingin Leo ikut serta dalam pertemuan ini. Aku ingin mendengar pendapatnya tentang David.

David datang tepat waktu. Dia tinggi, tampan, dan memiliki senyum yang menawan. Dia mengenakan kemeja flanel dan celana jeans, penampilannya kasual tapi tetap terlihat rapi. Dia mirip dengan foto yang tertera di profilnya.

Kami mengobrol selama berjam-jam. Ternyata, David adalah orang yang cerdas, lucu, dan perhatian. Kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari selera musik hingga pandangan tentang hidup. Aku merasa nyaman dan rileks di dekatnya.

Leo bergabung dengan kami di tengah percakapan. Dia memberikan beberapa pertanyaan yang cerdas dan provokatif, yang membuatku semakin terkesan dengan David. Setelah pertemuan itu, Leo mengatakan kepadaku bahwa dia merasa David adalah orang yang baik dan tulus.

"Tapi," Leo menambahkan dengan nada serius, "jangan hanya mengandalkan penilaianku atau penilaian AI. Ikuti kata hatimu. Cinta itu buta, Sarah. Tapi cinta juga bijaksana."

Aku mengikuti nasihat Leo. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan David. Kami berjalan-jalan di taman, menonton film, dan makan malam bersama. Aku semakin mengenalnya, semakin menyukainya.

Akhirnya, aku menyadari bahwa AI telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Soulmate 2.0 telah membantuku menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengan diriku. Tapi yang membuatku jatuh cinta pada David bukanlah profilnya yang sempurna, melainkan kepribadiannya yang hangat, humornya yang cerdas, dan hatinya yang baik.

Suatu malam, saat kami sedang duduk berdua di Kedai Digital, menikmati kopi di bawah cahaya bulan, David menggenggam tanganku dan menatapku dengan tatapan penuh cinta.

"Sarah," katanya dengan suara lembut, "aku jatuh cinta padamu."

Air mata haru menetes di pipiku. Aku membalas tatapannya dan tersenyum.

"Aku juga mencintaimu, David," jawabku.

Cinta memang misteri. Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana akan menemukannya. Tapi yang pasti, cinta bisa datang dari tempat yang tak terduga, bahkan dari bantuan kecerdasan buatan dan secangkir kopi di Kedai Digital. Dan yang terpenting, cinta sejati selalu membutuhkan sentuhan manusia. Sentuhan hati yang tulus dan jujur.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI