Hati yang di-Boot Ulang: Format Ulang Luka Cinta?

Dipublikasikan pada: 26 Oct 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 144 kali
Debu-debu digital menari-nari di layar monitornya, seirama dengan helaan napas panjang yang keluar dari bibir Ara. Di hadapannya, berjejer kode-kode rumit, algoritma cinta yang coba ia pahami, bukan untuk menciptakan, melainkan untuk menghapus. Hatinya terasa seperti hard drive yang penuh dengan file-file korup bernama "Kenangan Bersama Leo."

Leo, cinta pertamanya, si jenius AI yang selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan ketika servernya hang. Mereka bertemu di sebuah konferensi teknologi, bertukar pandangan tentang masa depan human-machine interface, lalu bertukar nomor dan akhirnya, bertukar hati. Dua tahun mereka lalui dalam simfoni teknologi dan romansa, sebelum akhirnya, Leo memutuskan untuk "upgrade" ke versi yang lebih baru, lebih muda, dan konon, lebih kompatibel.

"Konyol," gumam Ara, mengetik baris kode baru dengan frustrasi. "Bagaimana mungkin aku bisa memformat ulang sesuatu yang tidak berbentuk? Cinta bukan program komputer yang bisa di-uninstall."

Namun, Ara adalah seorang programmer andal. Ia percaya, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan logika dan algoritma yang tepat. Ia memulai proyek "Hati yang di-Boot Ulang," sebuah aplikasi yang dirancangnya sendiri untuk membantu dirinya melupakan Leo. Aplikasi ini menggunakan serangkaian kuesioner, algoritma pengenalan emosi, dan program subliminal untuk secara bertahap menghapus kenangan dan emosi yang terkait dengan Leo.

Awalnya, Ara ragu. Ide ini terdengar gila, bahkan baginya yang terbiasa dengan hal-hal futuristik. Tapi luka itu terlalu dalam, terlalu menyakitkan. Ia sudah mencoba semua cara konvensional: curhat ke teman-temannya, pergi berlibur, bahkan berkencan dengan pria lain. Tapi bayangan Leo selalu menghantuinya, seperti virus yang terus menginfeksi sistemnya.

Dengan berat hati, Ara menjalankan aplikasi itu. Hari-hari pertama terasa aneh. Ia merasa seperti dirinya bukan dirinya sendiri. Beberapa kenangan kabur, terasa seperti mimpi yang samar. Ia kesulitan mengingat percakapan-percakapan kecil, lagu-lagu yang sering mereka nyanyikan bersama, bahkan aroma parfum Leo.

Aplikasi itu juga memaksanya melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mulai melukis, mengikuti kelas yoga, dan bahkan bergabung dengan klub pecinta kucing. Semua itu dirancang untuk menciptakan kenangan baru, menimpa kenangan lama.

Minggu-minggu berlalu. Ara mulai merasakan perubahan. Rasa sakitnya mereda, tidak lagi menusuk seperti dulu. Ia mulai bisa tersenyum tanpa merasa bersalah, tanpa merasa mengkhianati perasaannya pada Leo. Ia bahkan mulai menikmati hobi-hobi barunya.

Suatu sore, saat sedang melukis di taman, seorang pria menghampirinya. Namanya Evan, seorang arsitek yang tertarik dengan lukisan abstrak Ara. Mereka berbicara tentang seni, tentang kehidupan, tentang banyak hal. Evan tidak mencoba menggantikan Leo, ia hanya menawarkan persahabatan, sebuah bahu untuk bersandar.

Ara mulai menghabiskan waktu bersama Evan. Mereka pergi ke museum, menonton film indie, dan berdiskusi tentang teori relativitas. Ara merasa nyaman, merasa bisa menjadi dirinya sendiri tanpa perlu merasa takut atau terluka.

Suatu malam, Evan mengajaknya makan malam di sebuah restoran Italia. Suasana romantis, dengan lilin-lilin yang menyala dan alunan musik yang lembut. Di tengah makan malam, Evan menatap Ara dengan tatapan yang tulus.

"Ara," katanya, suaranya pelan namun tegas. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menyukaimu. Aku suka caramu melihat dunia, semangatmu, dan bahkan kegilaanmu."

Ara terkejut. Ia tidak menyangka akan ada seseorang yang menyukainya, setelah semua yang terjadi. Ia menatap Evan, mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran dan ketulusan.

"Evan," balas Ara, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Aku masih..."

"Aku tahu," potong Evan. "Kau masih punya luka. Tapi aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, jika kau membutuhkan seseorang."

Malam itu, Ara pulang dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bahagia, terharu, dan juga takut. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah ia siap untuk mencintai lagi?

Ia kembali ke apartemennya dan menatap layar monitornya. Aplikasi "Hati yang di-Boot Ulang" masih berjalan, terus menghapus sisa-sisa kenangan tentang Leo. Ia meraih mouse dan menghentikan aplikasi itu.

"Cukup," bisiknya pada diri sendiri. "Aku tidak perlu menghapus masa lalu. Aku hanya perlu belajar menerimanya."

Ia menyadari, aplikasi itu tidak benar-benar menghapus kenangannya. Ia hanya membantu Ara untuk memproses emosinya, untuk melihat masa lalu dengan perspektif yang berbeda. Kenangan tentang Leo akan selalu ada, tapi kenangan itu tidak lagi menyakitkan. Kenangan itu adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya.

Ara meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Evan.

"Terima kasih untuk makan malamnya. Aku ingin bertemu denganmu lagi."

Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Ia tahu, proses penyembuhan luka tidak bisa dilakukan dengan instan. Ia tahu, akan ada saat-saat di mana ia akan merasa sedih atau ragu. Tapi ia juga tahu, ia tidak sendirian. Ada Evan di sisinya, siap mendukungnya, siap mencintainya.

Ara mematikan monitornya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Hatinya tidak lagi seperti hard drive yang penuh dengan file-file korup. Hatinya seperti awan, lapang dan bebas, siap menampung hujan cinta yang baru. Luka cinta mungkin tidak bisa di-format ulang sepenuhnya, namun ia bisa diatasi, diperbaiki, dan bahkan, diubah menjadi sesuatu yang indah. Ia telah belajar, bahwa cinta sejati bukan tentang melupakan masa lalu, melainkan tentang membangun masa depan yang lebih baik, bersama seseorang yang tulus mencintainya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI