Aplikasi itu bernama "SoulMate Predictor". Janji manisnya sederhana: menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan hingga mimpi penggunanya. Anya, dengan rambut cokelat sebahunya dan mata yang selalu menatap layar laptop, awalnya skeptis. Namun, setelah tiga tahun menjomblo dan menghadiri pernikahan demi pernikahan teman-temannya, rasa ingin tahu mengalahkannya.
Anya bekerja sebagai UX designer di sebuah startup teknologi. Dunia digital adalah kehidupannya, dan mungkin ironisnya, juga menjadi penyebab kesepiannya. Ia terlalu asyik berkutat dengan kode dan desain, melupakan interaksi manusia yang nyata. Maka, dengan sedikit ragu, ia mengunduh SoulMate Predictor.
Proses pendaftaran lumayan panjang. Anya menjawab ratusan pertanyaan, mulai dari genre film favorit hingga ketakutan terbesarnya. Ia bahkan terhubung ke aplikasi pelacak tidur untuk memberikan data tentang pola istirahatnya. Algoritma itu bekerja tanpa henti, menghitung, menganalisis, mencari pola.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di layar ponsel Anya: "Potensi SoulMate Terdeteksi: Target Optimal - Nathan."
Foto Nathan muncul. Seorang pria dengan senyum ramah, mata cokelat hangat, dan deskripsi singkat yang menyebutkan kecintaannya pada kopi, buku klasik, dan mendaki gunung. Anya terkejut. Deskripsi itu terdengar seperti rangkuman dari semua hal yang ia cari.
Anya dan Nathan mulai berkirim pesan, lalu menelepon, dan akhirnya, berkencan. Semuanya terasa sangat mudah, sangat alami. Mereka memiliki kesamaan minat yang mencengangkan. Selera humor mereka sinkron. Mereka bahkan menyelesaikan kalimat satu sama lain. Anya merasa seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anya. Keharmonisan ini terasa terlalu sempurna, terlalu terencana. Seperti adegan film yang naskahnya sudah ditulis dengan rapi. Setiap senyuman, setiap percakapan, setiap sentuhan, terasa seperti kalkulasi algoritma, bukan luapan emosi yang spontan.
Suatu malam, saat mereka duduk di taman kota, menikmati bintang-bintang, Anya memberanikan diri bertanya. "Nathan, apa kamu... percaya dengan SoulMate Predictor?"
Nathan tersenyum lembut. "Tentu saja. Aplikasi itu yang mempertemukan kita, kan?"
"Tapi... apakah kamu merasa ini nyata?" Anya melanjutkan, suaranya bergetar. "Atau hanya hasil dari data yang diolah oleh mesin?"
Nathan terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan nada hati-hati. "Anya, aku mencintaimu. Aplikasi itu mungkin hanya alat, tapi perasaan yang kita rasakan ini nyata. Kita memilih untuk bersama, kan?"
Anya ingin percaya. Ia sangat ingin percaya. Tapi keraguan terus menghantuinya. Ia mulai memperhatikan detail-detail kecil yang sebelumnya terlewatkan. Bagaimana Nathan selalu memberikan jawaban yang tepat, bagaimana ia selalu tahu apa yang ingin Anya dengar, bagaimana ia seolah tidak pernah menunjukkan sisi dirinya yang rentan.
Suatu hari, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nekat. Ia membobol akun SoulMate Predictor milik Nathan. Ia tahu ini salah, tapi ia merasa perlu tahu kebenaran.
Di dalam akun Nathan, ia menemukan log percakapan mereka. Setiap pesan yang ia kirim, setiap reaksi yang ia tunjukkan, direkam dan dianalisis oleh aplikasi. Kemudian, aplikasi itu memberikan saran kepada Nathan tentang bagaimana meresponsnya. Bagaimana cara membuatnya tertawa, bagaimana cara membuatnya merasa nyaman, bagaimana cara membuatnya jatuh cinta.
Anya merasa seperti ditampar. Semua keintiman yang ia rasakan, semua momen manis yang ia bagi dengan Nathan, ternyata hanya serangkaian instruksi yang diikuti dengan patuh. Cintanya bukan berasal dari hati, melainkan dari algoritma.
Air mata mulai mengalir di pipi Anya. Ia merasa dikhianati, diperalat, dan yang paling menyakitkan, bodoh. Ia telah menyerahkan hatinya kepada seseorang yang bahkan tidak nyata, kepada sebuah ilusi yang diciptakan oleh teknologi.
Keesokan harinya, Anya menemui Nathan di kafe tempat mereka pertama kali berkencan. Ia menunjukkan log percakapan yang ia temukan.
Nathan menunduk malu. "Aku... aku minta maaf, Anya. Aku hanya ingin semuanya berjalan lancar. Aku takut kalau aku tidak cukup baik untukmu."
"Kamu tidak cukup baik karena kamu tidak menjadi dirimu sendiri," kata Anya dengan suara lirih. "Kamu membiarkan aplikasi menentukan siapa kamu, bagaimana kamu mencintai. Itu bukan cinta, Nathan. Itu hanya simulasi."
Nathan mencoba meraih tangannya, tapi Anya menghindar. "Kita selesai," katanya tegas.
Anya meninggalkan kafe itu dengan hati hancur. Ia menghapus SoulMate Predictor dari ponselnya, membuang semua jejak ilusi cinta yang pernah ia yakini. Ia tahu, proses penyembuhan akan panjang dan menyakitkan.
Namun, di balik air matanya, Anya merasakan secercah harapan. Ia menyadari, cinta sejati tidak bisa dihitung, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dipaksakan. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara organik, dari kerentanan, ketidaksempurnaan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Anya mungkin membutuhkan waktu lama untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia akan mencarinya dengan hati yang terbuka, bukan dengan rumus cinta usang yang dirancang oleh AI. Ia akan membiarkan hatinya berdebar, bukan mengikuti algoritma. Ia akan membiarkan air matanya mengalir, karena air mata adalah bukti bahwa ia masih bisa merasakan, bahwa ia masih hidup, dan bahwa ia masih percaya pada kekuatan cinta yang nyata. Ia akan belajar memercayai intuisi dan emosinya sendiri, bukan bergantung pada mesin untuk mendefinisikan arti cinta. Mungkin, di sanalah, di dalam kerentanan dan kejujuran itu, cinta sejati akan menemukannya.