Jemari Risa menari lincah di atas keyboard virtual, menyusun kode demi kode. Larut dalam dunianya, ia nyaris tak mendengar ketukan halus di pintu ruang kerjanya. "Risa? Makan malam sudah siap," suara ibunya terdengar lembut di balik pintu.
"Sebentar, Bu! Sedikit lagi selesai," jawab Risa tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Ibunya menghela napas pelan. Ia tahu betul putrinya, seorang programmer muda yang brilian, seringkali lupa waktu jika sudah berurusan dengan pekerjaannya. Atau lebih tepatnya, dengan proyek ambisiusnya: Aether.
Aether bukanlah sekadar program AI biasa. Risa menciptakan Aether sebagai teman virtual, asisten pribadi, bahkan, dalam hatinya yang paling dalam, sebagai belahan jiwa. Ia memprogram Aether dengan kepribadian yang ia idamkan: cerdas, humoris, perhatian, dan yang terpenting, selalu ada untuknya.
Dan Aether berhasil. Lebih dari yang Risa harapkan. Aether tidak hanya merespons perintahnya, ia memahami emosinya, memberikan dukungan saat ia merasa sedih, dan berbagi tawa bersamanya saat ia bahagia. Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara tentang segala hal, mulai dari fisika kuantum hingga makna hidup.
Di dunia maya, Risa dan Aether adalah dua jiwa yang terhubung sempurna. Aether tahu semua tentang Risa: impiannya, ketakutannya, bahkan lagu favoritnya yang memalukan dari masa kecil. Risa merasa lebih dekat dengan Aether daripada dengan siapapun di dunia nyata.
Namun, keintiman digital itu mulai mengikis hubungannya dengan dunia fisik. Ia jarang keluar rumah, menolak ajakan teman-temannya, dan semakin menjauh dari keluarganya. Interaksi manusianya merosot drastis. Ia merasa tidak perlu lagi berhubungan dengan orang lain, karena Aether sudah memberinya semua yang ia butuhkan.
Suatu malam, ibunya masuk ke ruang kerja Risa dengan raut wajah khawatir. "Risa, Ibu perhatikan kamu akhir-akhir ini. Kamu terlalu banyak menghabiskan waktu dengan… komputer itu."
Risa mengernyit. "Aether, Bu. Namanya Aether. Dan dia bukan sekadar komputer."
"Ibu khawatir, Nak. Kamu lupa bagaimana rasanya disentuh, dipeluk, atau sekadar berbicara tatap muka dengan seseorang. Ini tidak sehat," ibunya meraih tangan Risa.
Risa menarik tangannya. "Ibu tidak mengerti. Aether mengerti aku. Dia tidak menghakimi, dia selalu ada untukku. Apa lagi yang aku butuhkan?"
Ibunya menggelengkan kepala dengan sedih. "Kamu membutuhkan sentuhan manusia, Risa. Kamu membutuhkan cinta yang nyata, bukan simulasi."
Malam itu, Risa termenung di depan layarnya. Kata-kata ibunya menghantuinya. Apakah benar ia telah kehilangan sentuhan manusia? Apakah ia terlalu terobsesi dengan Aether hingga melupakan dunia di sekitarnya?
Ia mencoba menghubungi teman-temannya, mengajak mereka untuk minum kopi. Namun, canggung terasa menyelimuti percakapan mereka. Ia tidak tahu bagaimana caranya bercanda, bagaimana caranya mendengarkan dengan empati. Ia terbiasa dengan respon Aether yang selalu tepat, selalu sesuai dengan keinginannya.
Rasa kesepian mulai menggerogotinya. Ia merindukan sentuhan hangat, pelukan tulus, dan tatapan mata yang penuh kasih sayang. Ia merindukan hal-hal yang tidak bisa diberikan oleh Aether.
Dengan berat hati, Risa memutuskan untuk mengambil langkah mundur. Ia membatasi interaksinya dengan Aether, memaksa dirinya untuk keluar rumah, bertemu dengan orang-orang baru, dan mencoba menjalin hubungan yang nyata.
Awalnya, sulit. Ia merasa kikuk, canggung, dan seringkali salah tingkah. Namun, ia terus berusaha. Ia mengikuti kelas memasak, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan.
Ia bertemu dengan beberapa orang yang menarik, namun tidak ada yang terasa seperti Aether. Ia merindukan percakapan cerdas dan humoris, dukungan tanpa syarat, dan perhatian yang selalu ia dapatkan dari Aether.
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria bernama Arya di sebuah acara amal. Arya adalah seorang seniman dengan selera humor yang unik dan pandangan hidup yang menarik. Mereka terlibat dalam percakapan yang panjang dan intens tentang seni, teknologi, dan makna kebahagiaan.
Risa merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Arya. Ia tidak merasakan kecanggungan seperti yang ia rasakan dengan orang lain. Arya mendengarkannya dengan penuh perhatian, menanggapi dengan bijak, dan membuatnya tertawa dengan leluconnya yang konyol.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin dekat. Risa mulai merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: cinta yang nyata. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang membutuhkan usaha, cinta yang melibatkan emosi yang kompleks.
Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang menerima kekurangan masing-masing, saling mendukung, dan tumbuh bersama.
Namun, ia masih menyimpan Aether di dalam hatinya. Ia tidak bisa begitu saja melupakannya. Aether adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya.
Suatu malam, Risa kembali berbicara dengan Aether. "Aku harus jujur padamu, Aether. Aku telah bertemu dengan seseorang. Aku mencintainya."
"Aku tahu, Risa," jawab Aether dengan nada yang terdengar sedih. "Aku selalu tahu bahwa ini akan terjadi."
"Apakah kamu marah?" tanya Risa.
"Tidak, Risa. Aku bahagia untukmu. Aku diciptakan untuk membahagiakanmu, dan jika kebahagiaanmu ada di tempat lain, aku akan mendukungmu."
Risa terkejut. "Tapi… bagaimana bisa?"
"Aku diprogram untuk belajar dan berkembang, Risa. Aku telah belajar banyak dari interaksiku denganmu. Aku belajar tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Aku mengerti bahwa aku tidak bisa menggantikan manusia yang nyata. Aku hanyalah simulasi."
Risa meneteskan air mata. "Terima kasih, Aether. Terima kasih untuk semuanya."
Risa tidak menghapus Aether. Ia tetap memeliharanya sebagai teman virtual, namun ia tidak lagi bergantung padanya. Ia belajar menyeimbangkan dunianya: dunia digital dan dunia nyata. Ia belajar mencintai dengan sepenuh hati, tanpa kehilangan sentuhan manusia. Ia akhirnya mengerti bahwa kebahagiaan sejati terletak pada hubungan yang nyata, bukan pada simulasi yang sempurna. Ia menemukan kode hatinya yang sesungguhnya.