Kilau layar laptop memantulkan bayangan wajah Arya yang serius. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di usianya yang ke-28, Arya adalah seorang ahli kecerdasan buatan yang sedang naik daun. Proyek terbarunya, "Sintesis Hati," adalah ambisi terbesarnya: sebuah jaringan neural yang mampu menganalisis kepribadian seseorang berdasarkan data digital dan mencocokkannya dengan individu lain, mencari kecocokan sempurna secara algoritmik.
Ia percaya, cinta sejati tidak bisa diserahkan hanya pada kebetulan. Data, pola, dan algoritma adalah kunci untuk membuka gerbang menuju hubungan yang harmonis dan abadi. Ia lelah melihat teman-temannya terombang-ambing dalam hubungan yang gagal, mencari cinta di tempat yang salah, atau terjebak dalam toxic relationship.
Arya sendiri, ironisnya, adalah korban dari keyakinannya sendiri. Ia terlalu sibuk berkutat dengan kode dan data, hingga melupakan interaksi sosial yang nyata. Kencan buta yang diatur oleh ibunya selalu berakhir dengan canggung. Ia merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya. Mungkin karena itulah ia menciptakan Sintesis Hati, sebagai wujud harapan dan pencarian dirinya sendiri.
Setelah berbulan-bulan bergadang dan menghabiskan ribuan jam untuk debugging, Sintesis Hati akhirnya siap diluncurkan. Arya mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, riwayat pencarian internet, bahkan data denyut jantung dan pola tidur yang direkam oleh smart watch. Ia memasukkan semua data tersebut ke dalam algoritmanya, dan menunggu hasilnya.
Layar laptop berkedip, menampilkan serangkaian profil yang menurut Sintesis Hati memiliki tingkat kecocokan tertinggi dengan Arya. Ia menelusuri satu per satu, membaca deskripsi, melihat foto, dan mencoba membayangkan dirinya bersama mereka. Tapi entah mengapa, tidak ada satu pun yang membuatnya tertarik. Mereka terlalu sempurna, terlalu ideal. Terasa hambar dan tanpa jiwa.
Di urutan terakhir daftar, tertera sebuah nama: Lintang. Profilnya tidak terlalu lengkap, hanya berisi beberapa foto perjalanan dan kutipan buku favoritnya. Tapi ada sesuatu dalam senyum Lintang, dalam tatapan matanya yang teduh, yang membuat Arya terpaku. Sintesis Hati mencatat tingkat kecocokan mereka hanya 68%, jauh di bawah ambang ideal yang Arya tetapkan.
Arya awalnya ragu. 68%? Itu terlalu rendah. Ia terbiasa dengan hasil yang lebih presisi, dengan angka-angka yang menjanjikan kesempurnaan. Tapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk mengabaikan algoritma. Ia mengirimkan pesan kepada Lintang, memperkenalkan dirinya dan menjelaskan tentang Sintesis Hati.
Lintang membalas pesannya beberapa jam kemudian. Ia mengaku tertarik dengan konsep yang Arya tawarkan, tetapi juga skeptis. "Algoritma mungkin bisa menemukan kesamaan minat dan kepribadian," tulisnya, "tapi cinta itu lebih dari sekadar data. Ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka, seperti intuisi, chemistry, dan kepercayaan."
Arya terkejut dengan jawaban Lintang. Ia tidak menyangka akan mendapatkan respons seperti itu. Ia selama ini terlalu fokus pada aspek teknis, hingga melupakan dimensi emosional yang begitu penting dalam sebuah hubungan.
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk bertemu. Bukan sebagai subjek penelitian, melainkan sebagai dua orang yang ingin saling mengenal. Arya mencoba untuk melepaskan diri dari kerangka berpikir algoritmik, untuk membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga.
Lintang ternyata adalah seorang penulis lepas yang gemar mendaki gunung dan membaca puisi. Ia memiliki selera humor yang unik dan pandangan hidup yang luas. Arya merasa nyaman berada di dekatnya. Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang mimpi, ketakutan, dan harapan. Ia menemukan bahwa Lintang memahami dirinya, bukan berdasarkan data dan algoritma, tetapi berdasarkan empati dan perhatian.
Seiring berjalannya waktu, Arya mulai meragukan validitas Sintesis Hati. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah alat, bukan penentu akhir. Cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa direduksi menjadi serangkaian angka.
Ia jatuh cinta pada Lintang. Bukan karena Sintesis Hati, tetapi karena Lintang adalah Lintang. Kehangatan senyumnya, kecerdasan pikirannya, dan kebaikan hatinya. Ia belajar bahwa cinta sejati membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk percaya pada intuisi.
Suatu malam, di bawah taburan bintang, Arya mengakui perasaannya kepada Lintang. "Sintesis Hati mungkin gagal menemukanmu di urutan teratas," katanya sambil tersenyum, "tapi hatiku tahu sejak awal bahwa kamulah orang yang kucari."
Lintang balas tersenyum. "Mungkin algoritma memang butuh sedikit improvisasi," jawabnya, "tapi yang terpenting adalah, kamu berani mengabaikannya dan mengikuti kata hatimu."
Mereka berdua berpegangan tangan, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Arya menyadari bahwa cinta sejati tidak ditemukan dalam jaringan neural, tetapi dalam koneksi manusiawi yang tulus. Sintesis Hati, pada akhirnya, menjadi pelajaran berharga tentang keterbatasan teknologi dan kekuatan hati. Ia tetap seorang ilmuwan, namun kini ia mengerti bahwa ada misteri dalam kehidupan, terutama dalam urusan cinta, yang takkan pernah bisa dijelaskan dengan sempurna oleh algoritma mana pun. Cintanya pada Lintang adalah bukti nyatanya.