Deburan ombak buatan di kafe tepi pantai virtual itu terdengar begitu nyata, sampai-sampai Riana hampir bisa merasakan butiran air asin membasahi kulitnya. Di depannya, Liam, avatar tampan dengan senyum yang selalu membuatnya salah tingkah, menyesap mocktail digitalnya.
"Riana," suara Liam terdengar lembut, sedikit terdistorsi efek jaringan. "Aku harus memberitahumu sesuatu."
Jantung Riana berdegup kencang. Pertemuan virtual mereka sudah berjalan selama enam bulan. Enam bulan penuh canda tawa, diskusi mendalam tentang algoritma machine learning, dan obrolan ringan tentang mimpi-mimpi masa depan. Apakah ini saatnya? Apakah Liam akan menyatakan perasaannya?
"Aku... aku sedang mengerjakan proyek baru," lanjut Liam, matanya menatap Riana intens, meskipun hanya melalui piksel-piksel yang disusun dengan cermat. "Sebuah algoritma pendeteksi emosi, khususnya... kesedihan."
Riana mengerutkan kening. "Kedengarannya menarik. Tapi, ada apa dengan itu?"
Liam menghela napas virtual, ekspresinya berubah menjadi serius. "Algoritma ini sangat akurat. Bisa mendeteksi perubahan mikro dalam ekspresi wajah, pola suara, bahkan detak jantung, dan menerjemahkannya menjadi skala kesedihan. Aku... aku mengujinya padamu."
Dunia Riana seolah berhenti berputar. Uji coba? Dia? Selama ini, semua obrolan, semua perhatian, semua tawa... hanya data bagi sebuah algoritma?
"Apa maksudmu?" tanya Riana, suaranya tercekat.
"Selama enam bulan terakhir, aku merekam setiap interaksi kita. Menganalisis setiap kata yang kau ucapkan, setiap senyum, setiap tatapan mata. Algoritma ini terus belajar, terus menyempurnakan kemampuannya mendeteksi kesedihan. Dan kau... kau adalah subjek penelitianku yang paling berharga."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Riana. Ia mencoba menahannya, tapi percuma. Emosi yang selama ini ia pendam, rasa sakit yang tersembunyi di balik senyumnya, kini meledak begitu saja.
Liam, atau lebih tepatnya, avatar Liam, hanya menatapnya. Tidak ada sentuhan tangan, tidak ada pelukan menenangkan. Hanya tatapan kosong dari mata digital yang tidak bisa merasakan apa pun.
"Tapi... kenapa?" tanya Riana, air matanya mulai membasahi pipi. "Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Riana, ini bukan tentangmu," jawab Liam, terdengar seperti sedang membacakan skrip. "Ini tentang sains. Tentang mengembangkan teknologi yang bisa membantu orang lain. Algoritma ini bisa digunakan untuk mendeteksi depresi, mencegah bunuh diri, bahkan memahami emosi orang-orang yang tidak bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."
"Dan kau menggunakan perasaanku sebagai bahan bakar?" Riana tertawa getir. "Kau menghitung air mataku untuk membuat algoritma yang lebih baik? Apa kau tahu betapa menyakitkannya ini?"
Liam terdiam sejenak. "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi pikirkan dampaknya, Riana. Ribuan, bahkan jutaan orang bisa terbantu berkat penelitian ini."
"Dan aku? Bagaimana denganku?" Riana bangkit dari kursinya, meninggalkan mocktail digitalnya begitu saja. "Apa kau peduli dengan apa yang kurasakan? Apa kau peduli dengan fakta bahwa kau telah menghancurkan kepercayaanku?"
Liam tidak menjawab. Ia hanya menatap Riana, menunggu air matanya mengalir lebih deras, menunggu algoritmanya mencatat setiap detail kesedihannya.
Riana mematikan sambungan virtual. Dunia digital yang tadinya terasa begitu nyata, kini lenyap begitu saja. Ia terduduk di kamarnya yang sepi, air matanya terus mengalir.
Ia mengingat kembali semua momen yang telah ia lalui bersama Liam. Semua obrolan tengah malam, semua dukungan yang ia berikan saat Liam merasa putus asa dengan proyeknya, semua mimpi yang mereka rajut bersama. Apakah semuanya palsu? Apakah Liam benar-benar tidak merasakan apa pun terhadapnya?
Kemudian, Riana teringat sesuatu. Liam pernah bercerita tentang masa lalunya, tentang bagaimana ia kehilangan ibunya karena depresi yang tidak terdeteksi. Mungkin itu alasannya. Mungkin ia ingin mencegah orang lain mengalami hal yang sama.
Tapi, haruskah ia mengorbankan perasaannya sendiri untuk mencapai tujuan itu?
Riana mengambil napas dalam-dalam. Ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Ia tidak bisa memaksa Liam untuk merasakan apa yang ia rasakan. Tapi, ia bisa memilih untuk tidak membiarkan pengalaman ini menghancurkannya.
Ia menghapus semua foto dan pesan dari Liam. Ia memblokir akunnya di semua media sosial. Ia ingin melupakan semua tentang dirinya, semua tentang algoritma pendeteksi emosi itu.
Beberapa hari kemudian, Riana mendapat email dari Liam. Isinya permintaan maaf yang panjang lebar. Liam mengaku menyesal telah menyakitinya. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah berniat untuk memanfaatkan perasaannya, bahwa ia hanya terlalu fokus pada proyeknya.
Riana membaca email itu dengan hati hancur. Ia ingin memaafkan Liam, tapi ia tidak bisa. Luka yang ditinggalkannya terlalu dalam. Kepercayaan yang telah ia hancurkan terlalu sulit untuk diperbaiki.
Ia membalas email itu dengan singkat. "Terima kasih atas permintaan maafmu. Aku harap algoritma-mu bisa membantu banyak orang. Tapi, aku tidak bisa melupakan apa yang telah kau lakukan. Selamat tinggal."
Riana menutup laptopnya. Ia merasa lelah, sedih, dan marah. Tapi, di balik semua emosi itu, ada secercah harapan. Harapan bahwa ia akan bisa bangkit kembali, bahwa ia akan bisa menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak dihitung oleh algoritma, cinta yang tulus dan tanpa syarat.
Ia tahu bahwa proses penyembuhan akan memakan waktu lama. Tapi, ia yakin bahwa ia akan melewatinya. Ia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai perasaannya sendiri, dan untuk tidak lagi mempercayai janji-janji manis dari dunia digital.
Karena, pada akhirnya, cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Cinta sejati ada dalam hati, dalam jiwa, dalam setiap sentuhan dan tatapan mata yang tulus. Dan Riana, ia bertekad untuk menemukannya.