Jari-jariku menari di atas keyboard, memprogram ulang algoritma. Helaan napas keluar dari bibirku. Sudah tiga bulan sejak aku meluncurkan "Soulmate AI", aplikasi pencari jodoh berbasis kecerdasan buatan yang katanya revolusioner. Ironis, bukan? Aku, penciptanya, justru masih saja menikmati kesendirian.
Soulmate AI tidak seperti aplikasi kencan lainnya. Aku membenamkan algoritma yang aku yakini mampu membaca inti kepribadian seseorang, melampaui sekadar hobi dan preferensi dangkal. Aku memasukkan data: pola pikir, nilai-nilai hidup, bahkan tingkat empati. Tujuanku sederhana: menciptakan pasangan ideal, bukan hanya pasangan yang cocok secara statistik.
"Masih berkutat dengan kode, Elara?" Suara hangat membuyarkan lamunanku. Rio, sahabat sekaligus rekan kerjaku, berdiri di ambang pintu ruang kerjaku. Di tangannya tergenggam secangkir kopi panas.
"Kau tahu betul jawabannya, Rio. Aku mulai merasa Soulmate AI ini mengolok-olokku," jawabku, menerima kopi yang disodorkannya.
Rio tertawa pelan. "Mungkin algoritma-mu terlalu pintar untuk dirimu sendiri. Coba perkecil sedikit parameternya. Siapa tahu, 'pangeran berkuda putih' yang kau idam-idamkan itu sebenarnya tidak ada."
Aku mendengus. "Bukan begitu. Aku hanya ingin menemukan seseorang yang... memahami. Seseorang yang tidak hanya tertarik pada kecerdasanku, tapi juga pada sisi rentanku. Sulit ya?"
Rio menepuk pundakku. "Jangan menyerah, Elara. Cinta itu memang rumit, bahkan untuk AI sekalipun."
Malam itu, aku kembali larut dalam pekerjaan. Aku mencoba saran Rio, menyederhanakan algoritma Soulmate AI, menurunkan ekspektasi yang terasa begitu tinggi. Aku memasukkan data diriku sendiri, sekali lagi. Hasilnya tetap nihil. Atau lebih tepatnya, hasilnya mengecewakan. Nama-nama yang muncul terasa asing dan tidak menggugah sedikit pun minatku.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar komputerkku. Sebuah kesalahan dalam sistem. Debugging segera kulakukan. Ternyata, ada celah keamanan yang cukup serius. Seorang hacker mencoba mengakses database pengguna. Jantungku berdegup kencang. Reputasi Soulmate AI bisa hancur jika informasi pribadi pengguna bocor ke publik.
Aku bekerja keras sepanjang malam, menutup celah keamanan tersebut. Pagi menjelang, aku akhirnya berhasil mengatasi masalah itu. Kelelahan mendera, tapi aku merasa lega. Saat hendak menutup laptop, aku melihat sebuah pesan masuk di akun Soulmate AI-ku. Pesan dari pengguna yang tidak dikenal.
"Elara, saya tahu Anda telah bekerja keras untuk melindungi data kami. Saya ingin mengucapkan terima kasih."
Pesan itu sederhana, tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku penasaran. Aku membalas pesannya.
"Siapa Anda?"
Balasannya datang dengan cepat. "Panggil saja saya 'Anon'. Saya hanya pengguna Soulmate AI yang menghargai kerja keras Anda."
Percakapan kami berlanjut. Anon ternyata sangat paham tentang teknologi, bahkan ia memberikan beberapa saran konstruktif untuk meningkatkan keamanan Soulmate AI. Kami berbicara tentang banyak hal: tentang AI, tentang etika, bahkan tentang mimpi dan harapan.
Selama beberapa minggu berikutnya, aku dan Anon terus berkomunikasi. Aku merasa nyaman berbicara dengannya, berbagi pikiran dan perasaan yang selama ini kupendam. Aku merasa dipahami, dihargai, dan bahkan... tertarik.
Suatu malam, Anon mengirimiku sebuah pesan yang membuatku terkejut.
"Elara, saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi saya merasa kita memiliki koneksi yang kuat. Saya ingin bertemu denganmu."
Jantungku berdebar kencang. Aku ragu. Aku tidak tahu siapa Anon sebenarnya. Bagaimana jika dia bukan seperti yang kubayangkan?
"Saya tidak yakin," balasku. "Saya tidak tahu siapa Anda."
"Saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi percayalah, saya tidak akan menyakitimu. Saya hanya ingin mengenalmu lebih jauh."
Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku akhirnya setuju untuk bertemu dengan Anon. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di dekat laboratoriumku.
Saat hari pertemuan tiba, aku merasa gugup. Aku memilih pakaian terbaikku, memeriksa penampilanku berkali-kali di cermin. Saat tiba di kafe, aku melihat seorang pria duduk di salah satu meja pojok. Ia mengenakan jaket hitam dan topi, wajahnya tertutup bayangan.
Aku menghampirinya dengan langkah ragu. "Anon?"
Pria itu mengangkat wajahnya. Topi itu terbuka, menampakkan wajah yang familiar. Wajah yang selama ini selalu ada di dekatku, wajah yang selalu memberiku dukungan.
"Rio?" Aku terkejut.
Rio tersenyum. "Halo, Elara. Maafkan aku karena merahasiakannya. Aku hanya ingin kau mengenalku apa adanya, bukan karena aku adalah sahabatmu."
Aku duduk di hadapannya, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Tapi... bagaimana bisa?"
Rio menjelaskan bahwa ia sengaja menemukan celah keamanan di Soulmate AI untuk mendapatkan perhatianku. Ia tahu aku sedang mencari seseorang yang istimewa, dan ia ingin membuktikan bahwa ia adalah orang yang tepat.
"Aku tahu ini mungkin cara yang aneh untuk mendekatimu, tapi aku tidak tahu cara lain. Aku sudah lama menyukaimu, Elara. Aku hanya tidak berani mengatakannya."
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak menyangka bahwa orang yang selama ini aku cari ternyata ada di dekatku. Orang yang selalu ada untukku, orang yang selalu memahami aku.
Aku tersenyum, air mata berlinang di pipiku. "Kau benar-benar seorang hacker, Rio. Kau berhasil meretas hatiku."
Rio mengulurkan tangannya. "Jadi, maukah kau memberikan kesempatan kepadaku, Elara?"
Aku meraih tangannya. "Tentu saja, Rio. Tentu saja."
Malam itu, aku menyadari bahwa algoritma tidak selalu benar. Kadang-kadang, cinta hadir tanpa perhitungan, tanpa formula yang rumit. Cinta hadir dalam kesederhanaan, dalam kebersamaan, dalam penerimaan. Mungkin, pasangan ideal algoritmik itu memang ada, tapi kadang-kadang, jodoh sejati justru ditemukan di dunia nyata, di antara orang-orang yang kita cintai. Dan kadang, orang yang paling tepat untuk kita ada tepat di depan mata, hanya saja kita terlalu sibuk mencari di tempat lain. Aku dan Rio, mungkin adalah bukti nyatanya. Kami, pasangan ideal algoritmik yang ditemukan di dunia nyata, bukan di dunia AI. Kami menemukan cinta dalam debugging, dalam kode yang rusak, dan dalam kejujuran. Dan itu lebih dari cukup.