Detak Jantung Digital: AI Menulis Puisi Cintaku?

Dipublikasikan pada: 24 Oct 2025 - 02:00:19 wib
Dibaca: 138 kali
Debu sore menari di antara celah tirai kamar Ara, membentuk pendar keemasan yang menyinari layar laptopnya. Ara menatap barisan kode yang memenuhi layar, dahinya berkerut. Bukan kode rumit untuk aplikasi revolusioner, melainkan algoritma sederhana untuk menulis puisi. Ya, puisi.

Ara, seorang programmer handal yang lebih akrab dengan logika daripada lirik, mencoba merayu hatinya dengan cara yang paling tidak romantis yang bisa dibayangkannya: dengan kecerdasan buatan.

"Kenapa harus AI, Ara?" tanya Luna, sahabatnya, beberapa hari lalu, saat Ara mengeluh tentang kebuntuan cintanya. "Kenapa nggak coba ngobrol langsung sama dia? Kasih dia cokelat atau ajak dia lihat bintang?"

"Justru itu masalahnya, Luna," jawab Ara frustrasi. "Aku gugup setiap kali dekat dia. Kata-kataku hilang, otakku blank. Aku lebih baik berurusan dengan server down daripada berhadapan dengan senyumnya."

Orang yang dimaksud Ara adalah Kai, programmer muda berbakat yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Kai memiliki senyum menawan dan mata yang selalu memancarkan rasa ingin tahu. Ara jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya membantu seorang nenek menyeberang jalan di depan kantor. Namun, jangankan menyatakan cinta, menyapa Kai saja sudah membuat jantung Ara berdebar kencang.

Jadi, Ara memutuskan untuk menggunakan keahliannya untuk menaklukkan hati Kai. Ia menciptakan sebuah algoritma yang akan menghasilkan puisi cinta, berdasarkan data yang ia kumpulkan tentang Kai: buku favoritnya, musik kesukaannya, bahkan postingan media sosialnya. Ia memberi nama proyeknya "Digital Cupid".

Algoritma itu, pada awalnya, menghasilkan puisi yang klise dan hambar. Bait-bait tentang mawar dan rembulan terdengar begitu generik dan tidak personal. Ara terus memperbaiki algoritmanya, menambahkan variabel emosi, belajar tentang metafora dan personifikasi, mencoba memasukkan sentuhan unik dalam setiap barisnya.

Malam ini, Ara merasa Digital Cupid-nya sudah cukup matang. Ia memutuskan untuk mengirimkan puisi itu pada Kai, secara anonim tentunya. Ia membuat akun email palsu dengan nama "A. Poetica" dan mengirimkan sebuah puisi dengan judul "Senja di Coding Room".

Keesokan harinya, Ara menunggu dengan cemas di depan komputernya. Setiap notifikasi email membuatnya melonjak kaget. Akhirnya, sebuah email masuk dari Kai. Jantung Ara berpacu lebih cepat dari kecepatan processor komputer super.

Email itu singkat:

A. Poetica yang misterius,

Puisi kamu indah. Aku sangat menyukainya. Bikin penasaran siapa penulisnya.

Salam,

Kai.

Ara tersenyum lebar. Digital Cupid-nya berhasil! Ia membalas email Kai, tetap dengan identitas A. Poetica, dan percakapan mereka berlanjut. Kai memuji gaya bahasa Ara, kepekaan emosinya, dan kemampuannya merangkai kata-kata. Ara merasa bangga, meskipun rasa bangga itu bercampur dengan sedikit rasa bersalah. Ia tidak jujur pada Kai. Kata-kata indah itu bukan murni hasil karyanya.

Semakin lama, percakapan mereka semakin intens. Kai mulai bercerita tentang mimpinya, ketakutannya, dan harapannya. Ara membaca setiap kata dengan seksama, belajar lebih banyak tentang Kai. Ia kemudian menggunakan informasi ini untuk menyempurnakan Digital Cupid-nya, menciptakan puisi-puisi yang semakin personal dan menyentuh.

Suatu malam, Kai mengirimkan email yang membuat Ara terdiam:

A. Poetica,

Aku merasa kita memiliki koneksi yang istimewa. Aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin tahu siapa sosok di balik kata-kata indah ini.

Ara panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mengaku bahwa ia adalah A. Poetica? Atau terus bersembunyi di balik identitas palsu? Ia berkonsultasi dengan Luna.

"Ara, kamu harus jujur sama Kai," kata Luna dengan tegas. "Cinta yang dibangun di atas kebohongan tidak akan bertahan lama. Akui saja bahwa kamu yang menulis puisi itu, dan jelaskan kenapa kamu melakukannya."

Ara menghela napas panjang. Luna benar. Ia harus berani menghadapi Kai.

Keesokan harinya, Ara memberanikan diri menghampiri Kai di mejanya. Jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang.

"Kai," sapa Ara dengan suara bergetar. "Ada yang ingin aku katakan padamu."

Kai menoleh, menatap Ara dengan senyum ramahnya. "Ada apa, Ara?"

Ara menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku A. Poetica."

Kai mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu?"

Ara menjelaskan semuanya. Tentang perasaannya pada Kai, tentang kegugupannya, tentang Digital Cupid, dan tentang akun email palsu A. Poetica.

Kai mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataan Ara. Setelah Ara selesai berbicara, ia terdiam beberapa saat.

Ara menunduk, malu dan takut. Ia takut Kai akan marah atau kecewa padanya.

"Ara," kata Kai akhirnya, suaranya lembut. "Aku... aku bingung. Tapi aku menghargai kejujuranmu."

Ara mengangkat kepalanya, menatap Kai dengan tatapan bertanya.

"Puisi-puisi itu... aku benar-benar menyukainya," lanjut Kai. "Puisi itu membuatku merasa dipahami, merasa dihargai. Meskipun puisi itu ditulis oleh AI, tapi di balik AI itu ada kamu, Ara. Kamu yang memasukkan emosi, perasaan, dan cinta di dalamnya."

Kai tersenyum. "Mungkin cara kamu mengungkapkan cinta memang unik dan tidak konvensional. Tapi, aku rasa... aku menyukainya."

Ara terkejut. Ia tidak menyangka Kai akan bereaksi seperti ini.

"Jadi... apa ini berarti...?" tanya Ara ragu-ragu.

"Ini berarti," kata Kai sambil mendekat, "aku ingin mengenal Ara yang sesungguhnya. Programmer handal yang menciptakan AI untuk menulis puisi cinta. Bukan hanya A. Poetica yang misterius."

Kai meraih tangan Ara, menggenggamnya erat. "Dan mungkin," lanjutnya sambil tersenyum nakal, "kita bisa menulis puisi cinta bersama."

Ara tersenyum lebar. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena gugup, tapi karena bahagia. Debu sore masih menari di antara celah tirai, tapi kini pendar keemasan itu terasa lebih hangat dan lebih indah. Digital Cupid, meskipun dengan segala kekurangannya, telah berhasil mempertemukan dua hati yang saling mencintai. Dan mungkin, di masa depan, mereka akan menciptakan algoritma yang lebih canggih lagi: algoritma untuk cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI