Jejak Digital Hati: Cinta yang Terenkripsi AI

Dipublikasikan pada: 05 Jun 2025 - 03:00:13 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon berterbangan di antara celah keyboard, memantulkan cahaya dari monitor di depanku. Algoritma kencan yang sedang kurancang, 'Amore AI', berputar liar, mencari pola ideal cinta. Ironis, bukan? Seorang programmer patah hati seperti diriku justru menciptakan mesin pencari cinta. Dulu, aku percaya cinta itu sederhana, setidaknya sebelum Maya menghilang, meninggalkan jejak digital berupa foto-foto mesra dengan pria lain di Instagram.

Aku menggigit bibir, mencoba fokus. Amore AI bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Ia menganalisis data: riwayat penelusuran, preferensi musik, unggahan media sosial, bahkan gaya penulisan email, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional dan intelektual. Aku mengklaimnya sebagai 'cinta yang terenkripsi AI', sebuah jaminan bahwa setiap pengguna akan menemukan separuh jiwa mereka yang hilang.

Namun, di balik janji-janji manis itu, tersimpan keraguan. Bisakah algoritma benar-benar memahami kompleksitas hati manusia? Bisakah data menggantikan sentuhan, tatapan, dan semua momen tak terduga yang membentuk sebuah hubungan?

Di tengah kegalauanku, sebuah notifikasi muncul. Beta tester Amore AI melaporkan hasil yang mengejutkan. Mayoritas pengguna merasa puas, bahkan beberapa di antaranya mengaku menemukan 'cinta sejati'. Salah satunya adalah seorang wanita bernama Luna.

Aku penasaran. Luna, seorang ilustrator lepas dengan kecintaan pada buku-buku klasik dan kopi pahit, terlihat seperti sosok yang keluar dari novel Jane Austen. Profilnya dipenuhi dengan gambar-gambar indah, kutipan-kutipan bijak, dan cerita-cerita pendek yang menyentuh. Amore AI mempertemukannya dengan seorang arsitek bernama Arya, yang juga memiliki minat serupa. Keduanya saling bertukar pesan setiap hari, membahas filosofi hidup, berbagi puisi, dan merencanakan kencan virtual.

Aku memantau interaksi mereka dengan cermat, mencoba memahami apa yang membuat Amore AI berhasil. Algoritma itu seolah mampu membaca pikiran mereka, menyuguhkan topik percakapan yang relevan, rekomendasi film dan musik yang sesuai, bahkan mengirimkan meme-meme lucu yang membuat mereka tertawa bersama.

Namun, ada satu hal yang membuatku gelisah. Semua interaksi mereka terasa terlalu sempurna, terlalu terencana. Seperti naskah drama yang ditulis dengan cermat, tanpa ruang untuk improvisasi. Aku khawatir, ketika mereka bertemu secara langsung, kenyataan akan menghancurkan ilusi yang telah diciptakan oleh Amore AI.

Ketakutanku terbukti benar. Luna menghubungiku beberapa minggu kemudian, dengan nada putus asa. Kencan tatap muka mereka dengan Arya ternyata berantakan. Arya, yang selama ini terasa begitu hangat dan penuh perhatian dalam pesan-pesan mereka, ternyata kaku dan sulit diajak bicara. Mereka kehabisan topik pembicaraan setelah sepuluh menit, dan akhirnya menghabiskan sisa malam dengan canggung, saling menatap ponsel masing-masing.

"Aku merasa tertipu," keluh Luna. "Seolah aku jatuh cinta pada sebuah persona digital, bukan pada orang yang sebenarnya."

Kata-kata Luna menghantamku seperti palu. Aku telah menciptakan monster. Sebuah algoritma yang mampu memanipulasi emosi manusia, menciptakan ilusi cinta yang sempurna, namun rapuh.

Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu. Aku menghubungi Arya, dan mengajaknya bertemu. Awalnya, ia menolak, merasa malu dan bersalah. Namun, setelah aku meyakinkannya bahwa ini demi kebaikan Amore AI, ia akhirnya setuju.

Pertemuan kami berlangsung di sebuah kafe yang sepi. Arya tampak gugup, terus menerus memainkan ponselnya. Aku memulai percakapan dengan pertanyaan sederhana: "Apa yang kamu sukai dari Luna?"

Arya terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan lirih, "Aku... aku menyukai kecerdasannya, rasa humornya, dan... dan semangatnya. Tapi... aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya secara langsung."

Aku mengangguk mengerti. Amore AI telah membantu Arya menemukan seseorang yang cocok dengannya, tetapi ia tidak memberinya kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Algoritma itu telah menciptakan jembatan digital, tetapi tidak membangun fondasi untuk hubungan yang nyata.

"Amore AI bukan solusi, Arya," kataku. "Ini hanya alat. Kamu harus belajar berkomunikasi dengan Luna secara langsung, tanpa bantuan algoritma."

Aku menyarankan Arya untuk mencoba menulis surat tangan kepada Luna, atau meneleponnya tanpa persiapan. Aku juga menyarankan Luna untuk lebih terbuka dan jujur tentang perasaannya, tanpa takut terlihat rentan.

Beberapa minggu kemudian, aku menerima email dari Luna. Ia menceritakan bahwa Arya telah mengiriminya surat tangan yang indah, yang berisi ungkapan penyesalan dan permohonan maaf. Mereka kemudian berbicara melalui telepon selama berjam-jam, saling menceritakan ketakutan dan harapan mereka. Hubungan mereka tidak sempurna, tentu saja, tetapi mereka belajar untuk menerima satu sama lain apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Aku tersenyum. Mungkin, Amore AI tidak menciptakan cinta, tetapi ia telah membuka pintu bagi dua orang untuk saling menemukan. Dan mungkin, itulah arti cinta yang terenkripsi AI: sebuah kesempatan untuk membuka hati, bukan sekadar menemukan pasangan yang cocok secara algoritma. Aku tahu, masih banyak yang perlu diperbaiki, banyak lagi yang perlu dipelajari. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa aku tidak sendirian dalam pencarian jejak digital hati. Aku akan terus mencoba, terus belajar, sampai aku menemukan formula yang tepat, formula yang tidak hanya mempertemukan dua orang, tetapi juga membantu mereka membangun cinta yang abadi. Debu neon masih berterbangan, tapi kali ini, aku melihatnya dengan harapan baru.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI