Jejak Cinta dalam Algoritma: Mencari Dia di Cloud?

Dipublikasikan pada: 22 Sep 2025 - 01:20:12 wib
Dibaca: 116 kali
Udara di Co-Working Space Senopati terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena hujan deras yang sedari sore mengguyur Jakarta, atau mungkin karena hatiku yang beku. Aku menyesap kopi Americano-ku, menatap barisan kode yang terpampang di layar laptop. Algoritma pencarian jodoh. Ironis. Aku, seorang lead programmer di aplikasi kencan paling populer di negeri ini, justru kesulitan menemukan tambatan hati.

Namanya, Anya. Seorang desainer grafis yang ku kenal di sebuah konferensi teknologi tahun lalu. Pertemuan singkat itu terasa seperti kilatan petir. Matanya yang berbinar saat membahas user interface, senyumnya yang menawan saat kami berdebat soal dark mode vs light mode. Kami bertukar nomor, saling mengirim pesan, bahkan sempat beberapa kali makan malam. Tapi kemudian, dia menghilang. Tanpa jejak.

Pesan terakhirnya hanya berisi permintaan maaf singkat, mengatakan bahwa dia harus pergi dan tidak bisa menjelaskan alasannya. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi nomornya tidak aktif. Akun media sosialnya lenyap. Seolah ditelan bumi.

Sejak saat itu, aku terobsesi untuk menemukannya. Aku mencoba mencari informasi tentangnya melalui teman-teman yang mungkin mengenalnya, tapi nihil. Aku bahkan menyewa seorang detektif swasta, tapi hasilnya sama saja. Anya seolah sengaja menghapus dirinya dari dunia maya.

Maka, aku melakukan apa yang aku kuasai: menciptakan algoritma. Sebuah program pencarian canggih yang menganalisis jutaan data di internet, mencari jejak digital Anya. Aku memasukkan semua informasi yang aku ingat tentangnya: preferensi desain, buku favorit, bahkan jenis kopi yang dia pesan.

Berbulan-bulan aku menghabiskan waktu di depan layar, menyempurnakan algoritma itu. Aku mempelajari pola pikirnya, mencoba memprediksi ke mana dia mungkin pergi, apa yang mungkin dia lakukan. Aku menyelami setiap sudut cloud, berharap menemukan secercah petunjuk.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku larut dalam barisan kode. Jari-jariku menari di atas keyboard, memperbaiki bug kecil yang mengganggu kinerja algoritma. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar. Sebuah hit.

Jantungku berdebar kencang. Algoritma itu menemukan kecocokan data dengan profil yang aku cari. Sebuah foto seorang wanita yang sangat mirip Anya, sedang duduk di sebuah kafe dengan latar belakang pegunungan. Lokasinya: Ubud, Bali.

Tanpa pikir panjang, aku langsung memesan tiket pesawat untuk penerbangan pertama ke Bali. Aku tidak peduli dengan pekerjaan, dengan deadline, atau dengan apapun. Yang ada di pikiranku hanyalah Anya. Aku harus menemukannya.

Setibanya di Bali, aku langsung menuju Ubud. Dengan bermodalkan foto hasil temuan algoritma, aku menyusuri setiap jalan, setiap kafe, setiap sudut kota. Aku bertanya kepada setiap orang yang aku temui, menunjukkan foto Anya dan berharap ada yang mengenalinya.

Hingga akhirnya, di sebuah galeri seni kecil di tengah sawah, aku melihatnya.

Dia sedang berdiri di depan sebuah lukisan abstrak, rambutnya diurai, mengenakan gaun putih panjang. Dia terlihat lebih kurus dari yang ku ingat, tapi senyumnya masih sama. Senyum yang membuat hatiku berdebar-debar.

Aku mendekatinya perlahan. “Anya?”

Dia menoleh, matanya membulat. “Rian?”

Suasana menjadi canggung. Kami saling menatap, tanpa tahu harus berkata apa. Aku memecah keheningan. “Aku mencarimu. Lama sekali.”

Anya menghela napas panjang. “Aku tahu.”

Dia kemudian menjelaskan alasannya menghilang. Ternyata, dia menderita penyakit langka yang mengharuskannya menjalani perawatan intensif di sebuah klinik khusus di Bali. Dia sengaja memutuskan semua kontak agar tidak membebani orang-orang terdekatnya.

“Aku tidak ingin kau melihatku sakit,” katanya, dengan suara bergetar. “Aku tidak ingin kau merasa kasihan padaku.”

Aku meraih tangannya. “Aku tidak peduli dengan penyakitmu. Aku hanya peduli padamu. Aku ingin bersamamu, apapun yang terjadi.”

Anya menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kau serius?”

Aku mengangguk. “Sangat serius.”

Kami menghabiskan hari-hari berikutnya bersama. Aku menemaninya menjalani terapi, membacakan buku untuknya, dan hanya sekadar duduk di sampingnya, menikmati keindahan alam Bali. Aku belajar bahwa cinta tidak hanya tentang kebahagiaan dan kesenangan, tapi juga tentang kesetiaan dan pengorbanan.

Suatu malam, saat kami sedang duduk di beranda villa, menatap bintang-bintang, Anya berkata, “Kau tahu, Rian? Kau benar-benar menemukanku di cloud.”

Aku tersenyum. “Bukan hanya di cloud. Aku menemukanmu di hatiku. Algoritma itu hanyalah alat bantu.”

Dia tertawa kecil. “Kau ini memang programmer sejati. Selalu menyalahkan algoritma.”

Aku memeluknya erat. “Aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Aku hanya akan mencintaimu.”

Kisah kami memang tidak berakhir seperti di film-film romantis. Anya masih harus berjuang melawan penyakitnya. Tapi, kami berjanji untuk saling mendukung, untuk saling menguatkan, dan untuk menghabiskan setiap detik yang tersisa bersama.

Jejak cinta kami memang tersembunyi dalam algoritma, tapi akar cinta itu tertanam dalam hati. Dan aku yakin, cinta itu akan terus tumbuh, bahkan di tengah badai sekalipun. Karena cinta sejati tidak akan pernah hilang, meskipun tersembunyi di cloud sekalipun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI