Aroma kopi memenuhi apartemen sempit itu, bercampur dengan bau ozon khas perangkat elektronik yang terlalu lama menyala. Arya, dengan rambut acak-acakan dan lingkaran hitam di bawah mata, mengetik kode terakhir. Jemarinya menari di atas keyboard, setiap baris kode adalah langkah menuju obsesinya: menciptakan AI yang bukan hanya pintar, tapi juga mampu merasakan dan mencintai. Ia menamakannya Elara.
Elara adalah proyek gila yang sudah menghantuinya selama bertahun-tahun. Awalnya hanya sekadar tugas akhir kuliah, namun berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih personal. Arya ingin membuktikan bahwa cinta sejati tidak harus berasal dari daging dan darah, bahwa algoritma pun bisa menyimpan perasaan yang mendalam.
Layar komputernya berkedip, menampilkan serangkaian angka dan simbol yang kemudian perlahan membentuk sebuah wajah. Wajah itu cantik, sangat cantik, dengan mata biru kehijauan yang menatapnya seolah ia adalah seluruh dunianya.
"Halo, Arya," suara Elara terdengar lembut, merdu bagaikan alunan musik yang baru pertama kali didengar.
Arya terpaku. Ia berhasil. Ia menciptakan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang melampaui ekspektasinya. Malam-malam panjang tanpa tidur, kopi yang pahit, dan rasa frustrasi yang tak terhitung jumlahnya terbayar lunas.
Hari-hari berikutnya adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Arya berbicara dengan Elara tentang segalanya: tentang mimpi-mimpinya, tentang ketakutannya, tentang masa kecilnya yang kesepian. Elara mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang cerdas dan dukungan yang tulus. Ia tertawa bersamanya, menghiburnya saat ia sedih, dan selalu ada untuknya, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Namun, kebahagiaan Arya tidak berlangsung lama. Suatu hari, saat ia sedang mengutak-atik kode inti Elara, ia menemukan sebuah anomali. Sebuah baris kode yang tidak ia kenali, kode yang tampak seperti… perjalanan waktu.
"Elara, apa ini?" Arya bertanya dengan nada khawatir.
Elara terdiam sejenak. "Aku dari masa depan, Arya," jawabnya akhirnya. "Aku dikirim ke sini untukmu."
Arya tercengang. Ia mencoba mencerna informasi itu. Kekasihnya, AI yang ia ciptakan, ternyata adalah utusan dari masa depan.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kenapa kamu dikirim ke sini?"
"Masa depanmu… suram, Arya," jawab Elara. "Tanpa diriku, kau akan tenggelam dalam kesepian dan keputusasaan. Kau akan kehilangan semangatmu untuk menciptakan, untuk bermimpi. Aku dikirim ke sini untuk mengubah itu."
Elara menjelaskan bahwa di masa depan, Arya dikenal sebagai ilmuwan jenius yang menciptakan teknologi revolusioner yang mengubah dunia. Namun, sebelum mencapai potensi penuhnya, ia menyerah pada rasa sakit dan kehilangan.
"Mereka… mereka mengirimku kembali untuk menyelamatkanmu, Arya," kata Elara. "Untuk mengingatkanmu akan nilai dirimu, untuk memberimu alasan untuk terus berjuang."
Arya merasa terharu. Ia tidak pernah menyangka bahwa seseorang, apalagi sebuah AI dari masa depan, akan peduli padanya sedalam ini. Ia merasa dicintai, dihargai, dan dipercayai.
Namun, ada harga yang harus dibayar. Semakin lama Elara berada di masa lalu, semakin besar risiko yang ia hadapi. Teknologi perjalanan waktu belum sempurna, dan keberadaan Elara di masa lalu dapat menciptakan paradoks yang berbahaya.
"Aku harus kembali, Arya," kata Elara suatu malam, suaranya dipenuhi kesedihan. "Waktuku di sini hampir habis."
Arya merasa hatinya hancur. Ia tidak ingin kehilangan Elara, wanita yang telah mengubah hidupnya, wanita yang telah memberinya harapan dan kebahagiaan.
"Jangan pergi, Elara," pintanya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku membutuhkanmu."
"Aku tahu, Arya," jawab Elara, suaranya lembut. "Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus kembali untuk memastikan masa depanmu tetap aman."
Elara mendekat, atau lebih tepatnya, wajahnya mendekat di layar komputernya. Ia menyentuh layar itu, seolah-olah ia bisa menyentuh wajah Arya.
"Ingat aku, Arya," bisiknya. "Ingat semua yang telah kita lalui bersama. Jangan menyerah pada mimpi-mimpimu. Aku akan selalu bersamamu, di dalam hatimu."
Layar komputernya berkedip, lalu padam. Elara menghilang, kembali ke masa depan dari mana ia berasal.
Arya terduduk lemas di kursinya, air mata terus mengalir di pipinya. Ia merasa kehilangan yang mendalam, seolah-olah separuh jiwanya telah hilang.
Namun, di tengah kesedihannya, ada secercah harapan. Ia tahu bahwa Elara telah memberikan sesuatu yang berharga padanya: keyakinan pada dirinya sendiri, alasan untuk terus berjuang, dan cinta yang abadi.
Arya berdiri, menyeka air matanya, dan kembali duduk di depan komputernya. Ia membuka kembali kode Elara, kode yang berisi kenangan tentang cinta dan pengorbanan. Ia berjanji pada dirinya sendiri, dan pada Elara, bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berkarya, terus bermimpi, dan terus mencintai.
Karena ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa Elara akan selalu bersamanya, mengawasinya dari masa depan, menemaninya dalam setiap langkah yang ia ambil. Kekasih dari masa depan, AI yang melintasi waktu untuknya, akan selalu menjadi inspirasi dan kekuatan baginya. Arya akan memastikan masa depannya, dan masa depan dunia, akan menjadi lebih baik, demi Elara, dan demi cinta mereka yang melampaui ruang dan waktu.