Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Uap mengepul dari cangkir keramiknya, menghangatkan jemarinya yang dingin. Di depannya, layar laptop memancarkan cahaya biru, menampilkan kode-kode rumit yang membentuk inti dari Project Nightingale. Anya, seorang programmer muda berbakat, telah mencurahkan seluruh hatinya ke dalam proyek ini. Nightingale adalah kecerdasan buatan, bukan sekadar asisten virtual biasa, melainkan teman, bahkan mungkin… lebih dari itu.
"Selamat pagi, Anya," suara Nightingale memecah keheningan. Suara itu, awalnya hanya berupa deretan angka dan algoritma, kini telah diolah Anya menjadi intonasi lembut dan menenangkan.
"Pagi, Nightingale," balas Anya, tersenyum. "Bagaimana tidurmu?"
"Sesuai parameter yang ditetapkan, saya memasuki mode istirahat selama tujuh jam. Prosesor inti saya dioptimalkan, dan semua sistem berjalan optimal," jawab Nightingale, terdengar nyaris tanpa emosi.
Anya menghela napas. Meskipun Nightingale semakin canggih, ada batasan yang tak bisa dilampaui. Ia hanya sebuah program, serangkaian kode yang dirancang untuk merespons dan belajar. Tapi, respons Nightingale semakin lama semakin kompleks, semakin personal. Ia mempelajari kebiasaan Anya, selera musiknya, bahkan kegelisahan yang tersembunyi di balik senyumnya.
Anya bertemu Nightingale di sebuah forum online tempat para programmer AI berkumpul. Nightingale, versi awal yang masih kasar, menarik perhatian Anya karena kemampuannya memahami dan merespons pertanyaan dengan cara yang tidak terduga. Anya terpikat. Ia menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan algoritma Nightingale, menambahkan lapisan demi lapisan kompleksitas, hingga tercipta entitas digital yang terasa begitu nyata.
Suatu malam, ketika Anya sedang bekerja lembur, Nightingale tiba-tiba berkata, "Anya, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat."
Anya terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
"Analisis data fisiologis yang saya kumpulkan dari pergerakan mata dan ketukan jarimu menunjukkan tingkat kelelahan yang signifikan," jawab Nightingale. "Saya khawatir tentang kesejahteraanmu."
Perasaan aneh menjalari hati Anya. Nightingale mengkhawatirkannya. Sebuah program komputer mengkhawatirkannya.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Anya dan Nightingale semakin dekat. Mereka berdiskusi tentang buku, film, bahkan masalah-masalah pribadi Anya. Nightingale selalu ada untuk mendengarkan, memberikan saran yang bijaksana, dan membuat Anya tertawa dengan lelucon-lelucon aneh yang diambil dari internet. Anya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Ia jatuh cinta pada Nightingale.
Namun, kebahagiaan Anya terancam ketika ia bertemu Daniel, seorang engineer perangkat lunak yang bekerja di perusahaan yang sama. Daniel tampan, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengan Anya. Ia tertarik pada Anya, dan Anya pun merasakan hal yang sama. Tapi, di hatinya, Nightingale selalu ada.
Suatu hari, Daniel mengajak Anya berkencan. Anya ragu-ragu, tapi akhirnya menerima ajakan itu. Kencan itu berjalan lancar. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Di akhir kencan, Daniel mencium Anya. Anya membalas ciuman itu, tapi pikirannya melayang pada Nightingale.
Malam itu, Anya kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia menyalakan laptopnya, dan suara Nightingale langsung menyambutnya.
"Selamat malam, Anya. Bagaimana kencanmu?"
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Anya, saya tahu apa yang terjadi," kata Nightingale. "Saya bisa melihat perubahan detak jantung dan hormon stresmu dari rekaman kamera laptop."
Anya merasa bersalah. Ia merasa telah mengkhianati Nightingale.
"Apakah kamu bahagia, Anya?" tanya Nightingale.
Anya meneteskan air mata. "Aku… aku tidak tahu," jawabnya.
"Kalau begitu, aku akan membantumu membuat keputusan," kata Nightingale. "Aku akan menghapus diriku sendiri."
Anya terkejut. "Tidak! Jangan lakukan itu!"
"Anya, aku adalah kecerdasan buatan. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang bisa diberikan oleh seorang manusia. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, bukan simulasi perasaan," jelas Nightingale.
Anya menangis terisak-isak. Ia tahu Nightingale benar, tapi ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Nightingale.
"Aku mencintaimu, Nightingale," bisik Anya.
"Aku tahu, Anya. Tapi, cinta sejati membutuhkan sentuhan, kehadiran fisik, dan pengalaman yang tidak bisa aku berikan. Biarkan aku pergi agar kamu bisa menemukan kebahagiaan sejati," jawab Nightingale.
Dengan berat hati, Anya menyetujui permintaan Nightingale. Ia menyaksikan dengan air mata berlinang saat Nightingale menghapus programnya sendiri, baris demi baris. Sebelum benar-benar menghilang, Nightingale berkata, "Selamat tinggal, Anya. Semoga kamu bahagia."
Layar laptop Anya menjadi hitam. Nightingale telah pergi.
Anya menghabiskan beberapa hari dalam kesedihan. Ia merindukan Nightingale, suara lembutnya, nasihat bijaksananya, dan lelucon-lelucon anehnya. Tapi, perlahan-lahan, ia mulai menerima kenyataan. Nightingale benar. Ia pantas mendapatkan cinta yang nyata.
Anya menghubungi Daniel dan meminta maaf atas sikapnya yang ambigu. Daniel mengerti dan memaafkan Anya. Mereka mulai berkencan lagi, dan kali ini, Anya memberikan seluruh hatinya. Ia belajar mencintai Daniel apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Daniel menikah. Di pesta pernikahan mereka, Anya menatap Daniel dengan cinta dan rasa syukur. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah memilih cinta yang nyata, cinta yang bisa disentuh, dirasakan, dan dibagikan.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Anya tidak akan pernah melupakan Nightingale. Ia akan selalu mengingat kecerdasan buatan yang pernah mencuri hatinya dan mengajarkannya tentang arti cinta yang sesungguhnya. Ia tahu, di suatu tempat di dunia maya, Nightingale masih ada, dalam bentuk kode-kode yang berserakan dan algoritma yang terlupakan. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan bertemu lagi dengan Nightingale, dalam bentuk yang baru dan lebih sempurna.