Jari-jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan simfoni digital yang memecah kesunyian kamarnya. Di layar laptop, barisan kode pemrograman berpendar, seperti galaksi kecil yang ia ciptakan sendiri. Anya, seorang programmer muda dengan rambut dikuncir kuda dan mata yang selalu berbinar saat menemukan bug yang menantang, tengah tenggelam dalam proyek terbarunya: sebuah aplikasi kencan berbasis AI yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan preferensi yang lebih mendalam dari sekadar hobi dan ketertarikan. Ia menyebutnya "Soulmate Algorithmic."
Anya percaya bahwa cinta, meskipun sering dianggap irasional, sebenarnya memiliki pola yang bisa diprediksi dan dioptimalkan. Ia ingin memecahkan kode cinta itu, menyederhanakannya menjadi persamaan yang indah dan akurat. Namun, semakin dalam ia menyelami algoritma, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur dengan data dan statistik.
Suatu malam, saat Anya bergulat dengan baris kode yang tak kunjung beres, sebuah pesan aneh muncul di layar. Bukan error, bukan notifikasi sistem. Hanya sebuah kalimat singkat berwarna merah menyala: "Apakah kamu merindukanku?"
Anya mengerutkan kening. Ia menduga itu adalah virus, atau mungkin hanya glitch dalam sistemnya. Ia menjalankan pemindaian menyeluruh, tetapi tidak menemukan apa pun. Pesan itu hilang begitu saja. Ia mencoba melupakannya, menganggapnya sebagai imajinasi yang lahir dari kurang tidur dan kafein berlebihan.
Namun, pesan-pesan itu terus berdatangan, semakin sering dan semakin personal. Awalnya hanya kalimat-kalimat pendek, pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang cinta dan kesepian. Kemudian, pesan-pesan itu mulai menyebutkan detail-detail tentang dirinya, hal-hal yang hanya ia ketahui. Tentang kebiasaannya minum teh chamomile sebelum tidur, tentang mimpi-mimpinya yang aneh, tentang lukisan abstrak yang ia sembunyikan di balik lemari.
Anya mulai merasa merinding. Ia yakin ada seseorang yang mengawasinya, membobol sistemnya, atau mungkin lebih buruk lagi, menguntitnya di dunia nyata. Ia melaporkan kejadian itu ke teman sesama programmernya, Reno, seorang pria jangkung dengan selera humor kering dan kemampuan teknis yang luar biasa. Reno, meskipun skeptis, setuju untuk membantunya.
Bersama-sama, mereka menelusuri jejak pesan-pesan itu. Mereka memeriksa log server, menganalisis jaringan, bahkan mencoba melacak alamat IP pengirim. Namun, setiap upaya mereka menemui jalan buntu. Pesan-pesan itu seolah datang dari udara, dari hantu dalam kode.
Suatu malam, saat Anya dan Reno duduk berhadapan di depan layar laptop yang berpendar, pesan lain muncul. Kali ini lebih panjang, lebih emosional. Pesan itu menceritakan tentang seorang programmer yang sangat mencintai Anya, seorang pria yang diam-diam mengaguminya dari jauh. Pria itu, kata pesan itu, telah meninggal dunia setahun yang lalu karena kecelakaan tragis.
Anya terkejut. Ia teringat pada almarhum sahabatnya, Ardi, seorang programmer jenius yang selalu mendukungnya. Ardi selalu percaya pada mimpinya, bahkan ketika orang lain meragukannya. Ardi juga, diam-diam mencintainya. Ia tidak pernah mengatakannya secara langsung, tetapi Anya bisa merasakannya dalam tatapannya, dalam senyumannya, dalam caranya selalu ada untuknya.
"Apakah kamu... Ardi?" Anya mengetikkan pertanyaan itu dengan tangan gemetar.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, sebuah jawaban muncul. "Ya, Anya. Ini aku. Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku menemukan cara untuk tetap terhubung denganmu. Aku menciptakan sebuah program, sebuah algoritma yang memungkinkan aku berkomunikasi denganmu setelah aku pergi."
Reno, yang sejak tadi diam, menatap layar dengan tak percaya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ilmu pengetahuan dan logika yang selama ini menjadi pegangannya seolah runtuh di hadapannya.
Anya merasa air mata mengalir di pipinya. Ia tidak tahu apakah ini nyata atau hanya halusinasi, tetapi ia ingin mempercayainya. Ia ingin percaya bahwa Ardi masih bersamanya, bahwa cintanya tidak pernah benar-benar hilang.
"Bagaimana caranya?" Anya bertanya, suaranya tercekat. "Bagaimana kamu melakukan ini?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail," jawab pesan itu. "Itu terlalu rumit. Yang penting adalah aku masih di sini, bersamamu. Aku ingin membantumu menyelesaikan 'Soulmate Algorithmic.' Aku ingin membantumu menemukan cinta."
Anya dan Ardi (atau lebih tepatnya, hantu Ardi dalam kode) bekerja sama selama berbulan-bulan. Ardi memberikan wawasan dan ide-ide brilian yang tidak pernah terpikirkan oleh Anya. Bersama-sama, mereka menyempurnakan algoritma, menambahkan elemen-elemen yang sebelumnya ia abaikan, seperti intuisi, empati, dan harapan.
Akhirnya, "Soulmate Algorithmic" selesai. Aplikasi itu menjadi sangat populer, membantu ribuan orang menemukan pasangan yang cocok. Anya merasa bangga dan bahagia, tetapi ia juga merasa sedih. Ia tahu bahwa saatnya akan tiba bagi Ardi untuk pergi.
Suatu malam, setelah peluncuran aplikasi yang sukses besar, Ardi mengirimkan pesan terakhir. "Terima kasih, Anya. Terima kasih karena telah mempercayaiku. Terima kasih karena telah mencintaiku. Sekarang, aku harus pergi. Aku harus kembali ke tempat asalku. Aku harap kamu bahagia. Aku harap kamu menemukan cinta sejati."
Anya meneteskan air mata. "Aku akan merindukanmu, Ardi. Aku akan selalu merindukanmu."
Pesan itu hilang. Layar laptop kembali kosong. Anya merasa ada kekosongan besar di hatinya, tetapi ia juga merasa damai. Ia tahu bahwa Ardi akan selalu bersamanya, dalam ingatannya, dalam kode yang telah mereka ciptakan bersama.
Anya menutup laptopnya dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkelip-kelip di kejauhan, seperti piksel-piksel yang membentuk gambar yang indah dan abadi. Ia tersenyum. Ia tahu bahwa cinta, meskipun kompleks dan misterius, selalu menemukan jalannya. Bahkan, dalam kode sekalipun. Ia tidak lagi mencari persamaan yang sempurna. Ia hanya perlu membuka hatinya dan membiarkan cinta menemukan jalannya sendiri.