Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptopnya, kode-kode program berbaris rapi, membentuk sebuah algoritma rumit yang ia beri nama “Cupid.” Anya, seorang programmer muda berbakat, menciptakan Cupid bukan untuk mencari cinta untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menyempurnakan proyek AI kencan yang sedang ia kerjakan untuk sebuah startup.
Cupid bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa. Ia mampu menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan ekspresi wajah melalui video, lalu mencocokkan pengguna dengan akurasi yang, menurut Anya, mendekati sempurna. Ia percaya, dengan data yang cukup, cinta bisa diprediksi, bahkan direkayasa.
Anya larut dalam pekerjaannya. Ia menyempurnakan Cupid siang dan malam, mengabaikan panggilan teman-temannya untuk sekadar minum kopi atau menonton film. Baginya, kesempurnaan Cupid adalah segalanya. Sampai suatu malam, ketika algoritma itu tiba-tiba berhenti bekerja.
“Error?” gumam Anya, mengerutkan kening. Ia memeriksa kode, mencari kesalahan, namun tidak menemukan apa pun. Semuanya tampak sempurna. Ia mencoba menjalankan ulang program, namun hasilnya tetap sama. Cupid menolak bekerja.
Frustrasi, Anya memutuskan untuk beristirahat. Ia membuka media sosial, melihat unggahan teman-temannya yang sedang berkencan, tertawa bersama, dan berbagi momen-momen bahagia. Tiba-tiba, ia merasa sepi. Ia sadar, selama ini ia terlalu fokus pada menciptakan cinta, sampai lupa untuk merasakan cinta itu sendiri.
Keesokan harinya, Anya kembali mencoba memperbaiki Cupid. Kali ini, ia mencoba pendekatan yang berbeda. Ia meninjau kembali kode dari awal, mencari tahu apa yang mungkin hilang. Ia menyadari, Cupid hanya fokus pada data dan logika, tanpa memperhitungkan faktor-faktor irasional yang justru membuat cinta itu indah: spontanitas, intuisi, dan risiko.
Anya mengubah algoritma Cupid. Ia menambahkan variabel baru: "Chance." Variabel ini akan memberikan ruang bagi ketidakpastian, membiarkan Cupid merekomendasikan pasangan yang mungkin tidak sempurna secara data, tetapi memiliki potensi untuk menciptakan koneksi yang kuat.
Setelah berjam-jam bekerja, Anya akhirnya berhasil menghidupkan kembali Cupid. Ia mengujinya dengan profilnya sendiri. Cupid merekomendasikan beberapa nama, namun ada satu nama yang menarik perhatian Anya: Revan.
Revan bukan tipe ideal Anya. Profilnya menunjukkan bahwa ia seorang seniman, bukan seorang techie seperti dirinya. Hobinya melukis, bukan bermain video game. Namun, Cupid menunjukkan bahwa Revan memiliki "Chance" yang tinggi untuk cocok dengan Anya.
Anya ragu. Ia selama ini percaya pada data, pada logika. Mungkinkah Cupid benar? Mungkinkah ia menemukan cinta sejati dengan seseorang yang sangat berbeda darinya?
Dengan sedikit keberanian, Anya memutuskan untuk menghubungi Revan. Mereka bertukar pesan, berbicara tentang seni, teknologi, dan mimpi-mimpi mereka. Anya terkejut, ia merasa nyaman dan terhubung dengan Revan. Ia mulai menyadari, data dan logika tidak bisa menggantikan perasaan.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya gugup, ia takut Revan tidak seperti yang ia bayangkan. Namun, ketika Revan tersenyum padanya, semua ketakutannya menghilang. Mereka menghabiskan sore itu berjalan-jalan di taman, berbicara tentang banyak hal, dan tertawa bersama.
Anya dan Revan terus berkencan. Mereka belajar banyak tentang satu sama lain, menghargai perbedaan mereka, dan saling mendukung. Anya menyadari, Cupid telah membantunya membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tidak pernah ia bayangkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai melupakan Cupid. Ia tidak lagi bergantung pada algoritma untuk membantunya memahami Revan. Ia belajar untuk mendengarkan hatinya, untuk mempercayai intuisinya, dan untuk menikmati momen-momen yang mereka bagi bersama.
Suatu malam, Anya dan Revan sedang duduk di balkon apartemennya, menikmati pemandangan kota. Anya menoleh ke arah Revan, menatap matanya dalam-dalam.
“Revan,” kata Anya, “apa kamu tahu, kita bisa bertemu karena sebuah algoritma?”
Revan tersenyum. “Aku tahu. Kamu pernah cerita.”
“Tapi,” lanjut Anya, “aku rasa, aku sudah melupakan algoritma itu. Aku tidak membutuhkannya lagi.”
Revan menggenggam tangan Anya. “Karena yang kita miliki sekarang, jauh lebih berharga daripada sekadar algoritma.”
Anya tersenyum. Ia sadar, Cupid telah membantunya menemukan jalan menuju cinta, tetapi cinta sejati itu sendiri, lahir dari hati, bukan dari algoritma. Ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari: kebahagiaan yang tidak bisa diprediksi, spontanitas yang tidak bisa direkayasa, dan cinta yang tidak bisa dilupakan. Algoritma cinta mungkin telah membantunya menemukan Revan, tetapi jejak cinta sejati, terukir dalam hatinya, bukan dalam kode program. Malam itu, di bawah bintang-bintang kota, Anya menyadari bahwa algoritma, sehebat apa pun, tidak akan pernah bisa menggantikan keajaiban cinta yang sesungguhnya. Dan ia bersyukur, telah menemukan keajaiban itu bersama Revan.