* **Rumus Cinta: Saat Algoritma Merindukan Senyumanmu?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:44:15 wib
Dibaca: 160 kali
Aplikasi kencan itu bernama "SoulSync". Klaimnya bombastis: menemukan belahan jiwa dengan akurasi 99,9% menggunakan algoritma kompleks yang menganalisis data dari unggahan media sosial, riwayat pencarian, pola tidur, bahkan detak jantung pengguna. Anehnya, aku, seorang insinyur perangkat lunak yang turut merancang algoritma itu, masih saja merasa kosong.

Namaku Aksara. Hari-hariku dipenuhi barisan kode, deretan angka, dan optimasi. Aku percaya pada logika, pada efisiensi, pada kepastian. Cinta? Itu variabel yang terlalu fluktuatif, terlalu subjektif, terlalu... manusiawi. Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum aku melihat senyum itu.

Senyum itu terpancar dari layar laptopku. Profil Maya, salah satu pengguna SoulSync. Algoritma kami menempatkannya di urutan teratas daftar "Pasangan Potensial" ku. Aku awalnya skeptis. Tentu saja, algoritma akan memilih seseorang yang secara demografis dan minat cocok denganku. Tapi, ada sesuatu yang lain tentang Maya.

Foto-fotonya menunjukkan kecintaannya pada buku, alam, dan kucing. Deskripsinya singkat, namun penuh humor dan kecerdasan. Tapi, yang paling menarik perhatianku adalah senyumnya. Senyum yang tulus, cerah, dan entah mengapa, membuatku merasa hangat.

Aku mulai menelusuri jejak digitalnya. Akun Instagramnya dipenuhi foto-foto pemandangan indah yang ia ambil sendiri. Blog pribadinya berisi tulisan-tulisan reflektif tentang kehidupan, cinta, dan kehilangan. Semakin aku tahu tentang Maya, semakin aku merasa ada koneksi yang tak bisa dijelaskan oleh algoritma sekalipun.

Aku akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan. Sapaan sederhana: "Hai, Maya. Aku Aksara. Algoritma kami bilang kita mungkin cocok."

Balasannya datang dengan cepat: "Hai, Aksara. Algoritma? Semoga saja dia benar. Aku bosan makan malam sendirian dengan kucingku."

Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas buku favorit, film yang kami benci, dan mimpi-mimpi kami yang terpendam. Aku terkejut betapa mudahnya aku terbuka padanya. Aku menceritakan tentang pekerjaanku, tentang algoritma SoulSync, tentang keraguanku pada cinta.

Dia mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. "Mungkin algoritma itu hanyalah alat, Aksara," tulisnya suatu malam. "Tapi, alat yang bisa membantu kita menemukan apa yang sudah ada di dalam hati kita."

Aku tidak tahu apakah aku percaya padanya. Tapi, aku tahu aku ingin bertemu dengannya.

Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung perkantoran. Saat aku melihatnya, aku langsung terpaku. Dia lebih cantik dari foto-fotonya. Senyumnya, yang kulihat di layar laptopku selama berminggu-minggu, kini bersinar di hadapanku.

Kami menghabiskan berjam-jam berbicara. Tertawa. Bertukar cerita. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bukan hanya ketertarikan fisik, tetapi koneksi yang lebih dalam, lebih bermakna.

Setelah kencan itu, aku mulai mempertanyakan segalanya. Algoritma SoulSync memang membawaku pada Maya. Tapi, apakah algoritma itu yang membuatku jatuh cinta? Atau apakah itu senyumnya, tawanya, kecerdasannya, dan semua hal yang tak bisa diukur oleh data?

Aku menghabiskan waktu berhari-hari di laboratorium, mencoba menganalisis data Maya. Aku mencoba mencari pola, korelasi, dan faktor-faktor yang membuatnya begitu istimewa. Tapi, aku tidak menemukan apa-apa.

Akhirnya, aku menyadari bahwa aku mencari jawaban di tempat yang salah. Cinta bukanlah rumus. Cinta bukanlah algoritma. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih indah dari semua itu.

Aku memutuskan untuk berhenti mengandalkan data. Aku mulai mendengarkan hatiku. Aku mengajak Maya berkencan lagi. Kami menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum, menonton film di bioskop indie, dan berjalan-jalan di taman di bawah bintang-bintang.

Setiap hari bersamanya adalah petualangan baru. Aku belajar untuk menghargai ketidakpastian, untuk menerima kekurangan, dan untuk mencintai tanpa syarat.

Suatu malam, saat kami duduk di bangku taman, dia bertanya kepadaku, "Jadi, Aksara, apakah kamu masih percaya pada algoritma?"

Aku tersenyum. "Aku percaya bahwa algoritma bisa membantuku menemukanmu," jawabku. "Tapi, aku percaya bahwa kaulah yang membuatku jatuh cinta."

Dia memegang tanganku erat-erat. "Aku juga," bisiknya.

Aku menyadari bahwa cinta bukanlah tentang menemukan pasangan yang sempurna. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Cinta adalah tentang membangun koneksi yang kuat, berdasarkan kepercayaan, pengertian, dan rasa hormat.

Cinta adalah tentang senyum Maya, yang membuat hatiku berdebar kencang setiap kali aku melihatnya.

Aku masih bekerja di SoulSync. Aku masih berkontribusi pada pengembangan algoritma kami. Tapi, aku tidak lagi percaya bahwa algoritma adalah jawaban atas segalanya.

Aku percaya bahwa algoritma bisa menjadi alat yang berguna. Tapi, pada akhirnya, cinta adalah keputusan yang harus kita buat sendiri. Cinta adalah risiko yang harus kita ambil. Cinta adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan.

Dan aku, Aksara, seorang insinyur perangkat lunak yang dulu percaya pada logika dan kepastian, kini siap memperjuangkan cinta untuk Maya, untuk senyumnya, dan untuk masa depan yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma manapun. Mungkin algoritma memang bisa merindukan senyuman, tapi hatikulah yang benar-benar mencintainya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI