Cinta di Ujung Jari: Algoritma Menulis Takdir Kita?

Dipublikasikan pada: 08 Sep 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 131 kali
Jari-jariku menari di atas layar sentuh, menghasilkan deretan kode yang kusut tapi penuh harapan. Di hadapanku, secangkir kopi dingin menemani begadangku yang kesekian kali. Aku, Arya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada tatapan manusia, sedang menciptakan "Soulmate AI", sebuah aplikasi kencan dengan algoritma super canggih. Bukan sekadar mencari kesamaan hobi atau preferensi makanan, tapi menganalisis kepribadian, mimpi, bahkan trauma terpendam, untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel.

Ironis memang, seorang yang kesulitan menemukan cinta justru menciptakan aplikasi untuk membantu orang lain dalam urusan itu. Dulu, aku pernah mencoba berbagai aplikasi kencan, hasilnya nihil. Aku merasa seperti barang dagangan yang dinilai berdasarkan foto dan bio singkat. Tidak ada yang benar-benar melihat siapa aku di balik layar.

Inspirasi Soulmate AI muncul dari pengalaman pahit itu. Aku ingin menciptakan platform di mana orang dinilai berdasarkan kedalaman jiwa, bukan hanya ketampanan atau kecantikan. Aku ingin algoritma menulis takdir cinta, bukan hanya menebak-nebak.

Setelah berbulan-bulan kerja keras, akhirnya Soulmate AI siap diluncurkan. Aku sendiri menjadi pengguna pertama, tentu saja. Dengan ragu, aku mengisi profilku dengan jujur, membuka semua kartu yang selama ini kusimpan rapat. Aku menunggu, berharap, dan sedikit takut.

Algoritma bekerja. Setelah beberapa jam, sebuah nama muncul: Senja.

Profil Senja membuatku terpaku. Dia seorang penulis lepas, penyuka kopi pahit, dan memiliki mimpi untuk mendirikan perpustakaan gratis di desa terpencil. Semua yang dia tulis terasa begitu jujur dan tulus, seolah dia bisa membaca pikiranku. Bahkan, dia memiliki trauma masa kecil yang mirip denganku.

Kami mulai bertukar pesan. Kata-kata kami mengalir begitu saja, seolah kami sudah saling kenal sejak lama. Kami berbicara tentang buku favorit, film yang menyentuh hati, dan mimpi-mimpi yang ingin kami wujudkan. Aku merasa nyaman berbagi cerita dengannya, sesuatu yang jarang kurasakan dengan orang lain.

Setelah seminggu berkirim pesan, kami memutuskan untuk bertemu. Aku gugup setengah mati. Rasanya seperti kencan pertamaku lagi, padahal umurku sudah kepala tiga. Aku memilih sebuah kedai kopi kecil yang tenang, berharap suasana mendukung kecanggungan yang mungkin terjadi.

Saat Senja muncul, semua kegugupanku sirna. Dia lebih cantik dari fotonya. Matanya memancarkan kebaikan dan kecerdasan. Senyumnya menenangkan. Kami duduk berhadapan, dan percakapan kami langsung mengalir seperti air.

Kami menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal. Aku menceritakan tentang Soulmate AI, tentang motivasiku membuatnya, dan tentang ketakutanku akan cinta. Senja mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang cerdas dan membuatku tertawa.

Dia juga bercerita tentang dirinya, tentang mimpinya, dan tentang kesulitannya sebagai penulis lepas. Aku merasa terhubung dengannya secara emosional, seolah kami memiliki ikatan yang kuat yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Setelah kencan pertama itu, kami semakin sering bertemu. Kami menjelajahi kota bersama, menonton film, dan berdiskusi tentang buku. Aku merasa seperti menemukan separuh jiwaku yang hilang.

Namun, kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Suatu hari, Senja bertanya tentang algoritma Soulmate AI. Dia ingin tahu bagaimana aplikasi itu bekerja, bagaimana dia bisa terpilih sebagai pasanganku.

Aku menjelaskan semuanya, tentang analisis kepribadian, tentang pencocokan mimpi dan trauma, tentang bagaimana algoritma itu melihat potensi kecocokan di antara kami.

Senja terdiam. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Jadi, kamu percaya bahwa algoritma bisa menulis takdir cinta?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk. "Aku percaya bahwa algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, orang yang benar-benar kompatibel dengan kita. Tapi, tentu saja, cinta sejati harus diperjuangkan dan dipelihara."

Senja menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Arya. Aku merasa seperti aku adalah hasil dari perhitungan matematika, bukan dari ketertarikan dan kasih sayang yang tulus."

Aku terkejut dengan reaksinya. "Tapi, Senja, kita memiliki koneksi yang nyata. Kita saling mencintai."

"Apakah kita benar-benar saling mencintai, Arya? Atau kita hanya mencintai versi ideal yang diciptakan oleh algoritma?"

Pertanyaan Senja menghantuiku. Apakah cintaku padanya hanya ilusi yang diciptakan oleh mesin? Apakah aku mencintai Senja karena dia memang orang yang tepat untukku, atau karena algoritma mengatakan demikian?

Aku mulai meragukan semuanya. Aku meragukan Soulmate AI, aku meragukan cintaku pada Senja, dan aku meragukan diriku sendiri. Aku merasa seperti aku telah menciptakan monster yang menghancurkan kebahagiaanku sendiri.

Aku mencoba berbicara dengan Senja, menjelaskan bahwa perasaanku padanya nyata, bahwa aku tidak hanya mengikuti algoritma. Tapi, dia tetap ragu. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir, katanya.

Beberapa hari kemudian, Senja mengirimiku pesan. Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Dia tidak bisa menerima bahwa cintanya mungkin hanya hasil dari perhitungan matematika.

Hatiku hancur. Aku kehilangan Senja, wanita yang kucintai, karena ciptaanku sendiri. Ironis sekali.

Aku memutuskan untuk menghapus Soulmate AI. Aku tidak ingin menciptakan aplikasi yang bisa merusak cinta sejati. Aku ingin orang menemukan cinta dengan cara yang alami, dengan hati, bukan dengan algoritma.

Aku kembali menjadi Arya yang dulu, seorang programmer yang kesepian. Tapi, kali ini, aku memiliki luka yang lebih dalam. Aku belajar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan atau diprediksi. Cinta adalah misteri yang harus dipecahkan dengan hati, bukan dengan otak.

Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan cinta lagi. Tapi, kali ini, aku akan membiarkan hatiku yang memimpin, bukan algoritma. Karena takdir cinta tidak bisa ditulis oleh mesin, tapi oleh perasaan yang tulus. Dan mungkin, hanya mungkin, di ujung jari inilah, aku belajar bahwa cinta sejati membutuhkan keberanian untuk melepaskan kalkulasi dan membiarkan hati menari dengan iramanya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI