Hujan lebat mengguyur Tokyo malam itu, memantulkan cahaya neon dari distrik Shibuya ke jalanan yang basah. Di balik jendela apartemennya yang sempit, Akira menatap layar laptopnya yang berkedip-kedip. Ribuan baris kode berjejer, berusaha dirapikannya menjadi sesuatu yang bermakna. Ia sedang menciptakan algoritma cinta. Kedengarannya konyol, bahkan menurut standar Akira sendiri.
Namun, kekecewaan demi kekecewaan dalam urusan asmara telah mendorongnya ke titik ini. Ia, seorang insinyur perangkat lunak yang brilian, merasa lebih menguasai logika komputer daripada logika hati. Ia percaya, dengan cukup data dan parameter yang tepat, cinta bisa dipecahkan, diprediksi, bahkan direkayasa.
Algoritma yang sedang ia susun mempertimbangkan berbagai faktor: ketertarikan fisik, minat yang sama, nilai-nilai moral, bahkan pola tidur dan preferensi makanan. Ia berharap, dengan memasukkan data dirinya dan data orang lain, algoritma itu akan menghasilkan pasangan yang paling kompatibel.
Sudah berbulan-bulan Akira berkutat dengan proyek absurd ini. Ia mengumpulkan data dirinya dengan cermat, menjawab ratusan pertanyaan, menganalisis kebiasaan online-nya, bahkan merekam detak jantungnya saat melihat foto-foto wanita di media sosial. Ia rela melakukan apa saja demi menemukan seseorang.
Suatu malam, algoritma itu akhirnya selesai. Dengan gugup, Akira memasukkan datanya sendiri. Kemudian, ia memasukkan data seorang wanita bernama Hana. Hana adalah seorang ilustrator yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Ia selalu diam-diam mengaguminya dari jauh. Hana memiliki senyum yang tulus dan mata yang berbinar-binar. Ia terlihat berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah ia kencani.
Jantung Akira berdebar kencang saat ia menekan tombol "Analisis". Algoritma itu bekerja, mengolah data, membandingkan parameter, dan menghasilkan sebuah angka: 97%.
Sembilan puluh tujuh persen! Angka yang luar biasa. Menurut algoritmanya, Hana adalah pasangan yang hampir sempurna untuknya. Akira tidak percaya. Ia mengulangi proses itu beberapa kali, memastikan tidak ada kesalahan. Hasilnya tetap sama.
Dengan keberanian yang baru diperoleh, Akira memutuskan untuk mengajak Hana makan malam. Ia mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi obrolan perusahaan, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik nada profesional.
Hana setuju.
Malam itu, di sebuah restoran ramen kecil di sudut kota, Akira merasa canggung. Ia mencoba mengikuti "skenario" yang telah ia rancang di benaknya, berdasarkan prediksi algoritmanya. Ia berbicara tentang minatnya pada pemrograman, kecintaannya pada film sci-fi, dan pandangannya tentang masa depan kecerdasan buatan. Hana mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum dan memberikan komentar yang cerdas.
Namun, ada sesuatu yang hilang. Percakapan itu terasa kaku, dipaksakan. Akira merasa seperti sedang menjalankan sebuah program, bukan berinteraksi dengan manusia. Ia terus berusaha menyenangkan Hana dengan menggunakan "data" yang telah ia kumpulkan, tetapi hasilnya justru semakin membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Di tengah makan malam, Hana tiba-tiba bertanya, "Akira-san, kenapa kamu tertarik padaku?"
Akira terkejut. Ia tidak siap dengan pertanyaan itu. Ia mencoba mencari jawaban yang tepat, jawaban yang akan sesuai dengan harapan Hana, jawaban yang akan membuat algoritmanya terbukti benar. Namun, kata-kata itu tercekat di tenggorokannya.
Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Algoritma… algoritma yang saya buat menunjukkan bahwa kita sangat cocok."
Hana menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Algoritma?" tanyanya dengan nada bingung.
Akira menjelaskan semuanya, dari awal hingga akhir. Ia menceritakan tentang kekecewaannya dalam cinta, tentang usahanya untuk memecahkan kode asmara, dan tentang algoritma yang telah menuntunnya kepada Hana.
Hana mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ketika Akira selesai berbicara, ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
"Akira-san," katanya lembut, "aku menghargai usahamu. Tapi cinta bukan tentang angka dan algoritma. Cinta adalah tentang perasaan, tentang koneksi yang tidak bisa diukur dengan parameter apa pun. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan dan menemukan keindahan dalam hal-hal yang tidak terduga."
Kata-kata Hana menusuk hati Akira. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah mencoba mereduksi cinta menjadi sebuah persamaan matematika, mengabaikan esensi yang paling penting: emosi dan intuisi.
Malam itu, Akira pulang dengan perasaan hancur. Algoritmanya telah gagal. Ia telah gagal. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan untuk bersama Hana, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada keyakinannya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Akira menemukan Hana di pantry kantor. Ia sedang membuat kopi. Akira memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Hana-san," sapanya.
Hana tersenyum. "Akira-san, apa kabar?"
"Aku… aku minta maaf," kata Akira. "Aku menyadari bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku terlalu fokus pada algoritma dan melupakan apa arti cinta yang sebenarnya."
Hana mengangguk. "Tidak apa-apa, Akira-san. Aku mengerti."
"Aku… aku ingin mengenalmu lebih baik," kata Akira. "Bukan berdasarkan algoritma, tetapi berdasarkan perasaan yang tulus."
Hana menatapnya dengan tatapan yang hangat. "Aku juga ingin mengenalmu lebih baik, Akira-san. Tapi kali ini, mari kita lupakan algoritma dan biarkan hati kita yang berbicara."
Akira tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya masih panjang dan penuh dengan ketidakpastian. Namun, ia siap menghadapinya, bukan dengan algoritma yang kaku, tetapi dengan hati yang terbuka dan keberanian untuk merasakan luka yang tak terdefinisikan. Karena, mungkin, dalam luka itulah ia akan menemukan cinta yang sejati. Luka itu, akhirnya, menjadi bagian dari algoritmanya sendiri. Sebuah algoritma yang terus belajar, terus berkembang, dan terus beradaptasi dengan kompleksitas hati manusia.