Hujan gerimis menyambut kedatanganku di kafe 'Pixel & Poetry'. Aroma kopi robusta yang kuat berpadu dengan aroma ozon khas kota besar setelah diguyur hujan. Aku mencari sosok yang ku tunggu. Di pojok ruangan, di bawah temaram lampu gantung berbentuk motherboard, seorang wanita melambai. Senyumnya, walau sedikit canggung, tetap mampu membuat jantungku berdebar.
"Maaf membuatmu menunggu," sapaku, menarik kursi di hadapannya. Wajahnya lebih cantik dari foto profil di aplikasi 'Soulmate Upgrade'.
"Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai," jawabnya, menyunggingkan senyum lagi.
Namanya Anya. Kami berkenalan lewat aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan jiwa berdasarkan algoritma kompleks. Bukan sekadar minat dan hobi, aplikasi ini mengklaim bisa memetakan kepribadian, trauma masa lalu, bahkan potensi masa depan seseorang. Setelah serangkaian tes dan wawancara virtual yang panjang, kami dinyatakan sebagai 'Pasangan Upgrade' dengan tingkat kecocokan 98,7%.
"Bagaimana kesanmu sejauh ini?" tanya Anya, memecah keheningan.
"Luar biasa," jawabku jujur. "Aplikasi itu benar-benar akurat. Kita seperti sudah saling mengenal lama."
"Aku juga merasakan hal yang sama. Biasanya aku gugup sekali saat kencan pertama," katanya sambil memainkan gelas kopinya. "Tapi denganmu, rasanya nyaman."
Malam itu, kami membahas banyak hal. Tentang cita-cita kami, ketakutan kami, bahkan kenangan masa kecil yang paling memalukan. Semua mengalir begitu saja, tanpa paksaan. Anya adalah versi digital dari perempuan ideal yang selalu ku impikan. Cerdas, humoris, dan memiliki empati yang tinggi.
Beberapa minggu berlalu, hubungan kami berkembang pesat. Kencan demi kencan, kami semakin terikat. Kami menjelajahi museum seni virtual, menonton film-film indie yang direkomendasikan algoritma, bahkan berdiskusi panjang lebar tentang implikasi etis kecerdasan buatan. Semua terasa sempurna. Terlalu sempurna, mungkin.
Suatu malam, saat kami berjalan-jalan di taman kota yang dipenuhi lampu-lampu hias, aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Anya, pernahkah kamu merasa... aneh? Maksudku, semua ini terasa begitu mudah. Seolah kita sedang mengikuti skenario yang sudah dituliskan."
Anya terdiam sejenak, menatap langit malam yang bertaburan bintang. "Aku mengerti maksudmu. Awalnya aku juga merasa begitu. Tapi kemudian aku berpikir, mungkin inilah yang namanya cinta sejati. Mungkin algoritma itu hanya membantu kita menemukan belahan jiwa kita yang sebenarnya."
Aku tidak yakin dengan jawabannya. Hatiku merasa ada yang kurang. Ada sesuatu yang hilang dalam hubungan kami. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma, sesuatu yang tidak bisa dianalisis oleh kecerdasan buatan.
Suatu hari, aku memutuskan untuk mengunjungi kantor pusat 'Soulmate Upgrade'. Aku ingin bertemu dengan pencipta algoritma yang telah mempertemukanku dengan Anya. Aku ingin memahami bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa menentukan takdir cinta seseorang.
Di sana, aku bertemu dengan Dr. Eleanor Vance, seorang ilmuwan wanita paruh baya dengan tatapan mata yang tajam.
"Jadi, Anda adalah salah satu 'Pasangan Upgrade' kami?" sapanya dengan senyum profesional.
"Betul. Saya ingin bertanya, bagaimana algoritma Anda bekerja?"
Dr. Vance menjelaskan dengan detail tentang model matematika kompleks yang digunakan, tentang analisis big data, tentang machine learning. Aku berusaha keras untuk memahami, tetapi kepalaku terasa pusing.
"Singkatnya," kata Dr. Vance, "kami menggunakan data untuk memprediksi kecocokan emosional dan intelektual antara dua orang. Semakin tinggi skornya, semakin besar peluang mereka untuk membangun hubungan yang langgeng."
"Tapi bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa diukur? Bagaimana dengan insting, intuisi, atau bahkan... ketidaksempurnaan?" tanyaku.
Dr. Vance terdiam sejenak. "Algoritma kami tidak sempurna. Tentu saja ada faktor-faktor yang tidak bisa kami perhitungkan. Tapi kami percaya bahwa kami telah menciptakan alat yang bisa membantu orang menemukan cinta sejati."
Aku meninggalkan kantor 'Soulmate Upgrade' dengan perasaan yang campur aduk. Aku mengerti logika di balik algoritma itu, tapi hatiku tetap tidak tenang. Aku merindukan sesuatu yang organik, sesuatu yang spontan, sesuatu yang…analog.
Beberapa hari kemudian, aku mengajak Anya ke sebuah konser musik jazz di sebuah bar kecil yang kumuh. Tempat itu berantakan, berasap, dan penuh dengan orang-orang yang berteriak dan tertawa. Jauh dari dunia digital yang steril dan terukur yang kami berdua kenal.
Awalnya, Anya tampak tidak nyaman. Dia mengerutkan kening mendengar suara bising dan mengeluh tentang bau rokok. Tapi kemudian, saat musik mulai mengalun, sesuatu berubah. Dia mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti irama, tertawa lepas mendengar candaan orang-orang di sekitarnya.
Malam itu, aku melihat Anya yang berbeda. Bukan Anya yang sempurna yang ku kenal lewat aplikasi, tapi Anya yang nyata, Anya yang manusiawi, Anya yang... cacat. Dan aku jatuh cinta padanya. Bukan karena algoritma, tapi karena dia adalah dirinya sendiri.
Di akhir konser, saat kami berjalan keluar dari bar, aku menggenggam tangannya.
"Anya," kataku, "aku pikir kita perlu bicara."
"Aku tahu," jawabnya, menatap mataku dengan tatapan yang lembut. "Aku juga merasakannya. Semua ini terlalu...dipaksakan."
Kami duduk di bangku taman yang sepi. Kami berdua mengakui bahwa kami telah terjebak dalam ilusi kesempurnaan. Kami telah membiarkan algoritma menentukan jalan cinta kami, melupakan bahwa cinta sejati membutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan ketidaksempurnaan.
"Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama," kata Anya, dengan suara yang lirih.
"Mungkin tidak," jawabku. "Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa mencoba. Kita bisa membangun hubungan kita sendiri, tanpa bantuan algoritma. Hubungan yang didasarkan pada kejujuran, kepercayaan, dan... luka."
Anya tersenyum, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku mau mencobanya," katanya. "Aku mau belajar mencintai dengan cara yang analog."
Aku memeluknya erat. Hujan gerimis kembali turun, membasahi rambut kami. Tapi kali ini, aku tidak merasa sedih. Aku merasa lega. Kami telah melepaskan diri dari belenggu algoritma, dan siap untuk menghadapi tantangan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang mungkin penuh dengan luka, tapi juga penuh dengan keindahan. Cinta yang analog.