Sentuhan Algoritma: Bisakah Cinta Diprediksi, Bukan Dirasa?

Dipublikasikan pada: 22 Jun 2025 - 00:40:11 wib
Dibaca: 173 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya. Di depan layar laptopnya, barisan kode mengalir bagaikan sungai yang tak berujung. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, mencipta sebuah algoritma yang ambisius: "Love Predictor". Anya, seorang data scientist muda yang brilian, yakin bahwa cinta, sama seperti fenomena lainnya, dapat dianalisis dan diprediksi.

“Bodoh,” gumam Leo, sahabat sekaligus rekan kerjanya, yang duduk di sofa sambil memainkan konsol game. “Kau mencoba membongkar sesuatu yang sakral, Anya. Cinta itu bukan sekadar angka.”

Anya mendengus tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Sakral? Leo, kita hidup di abad 22. Semua hal bisa dikuantifikasi. Aku hanya ingin mencari pola. Apa saja faktor yang berkontribusi pada hubungan yang sukses. Usia, minat, latar belakang ekonomi, bahkan preferensi film. Semua itu data, Leo. Data!”

Leo menghela napas, meletakkan konsolnya, dan menghampiri Anya. Ia menatap layar dengan kening berkerut. “Kau lupa satu faktor penting, Anya. Perasaan. Intuisi. Hal-hal yang tidak bisa diukur.”

“Intuisi itu bias. Perasaan itu fluktuatif. Algoritma ini akan menghilangkan bias itu, memberikan gambaran yang lebih objektif,” balas Anya, suaranya meninggi.

Selama berbulan-bulan, Anya membenamkan diri dalam proyeknya. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: survei online, riwayat kencan dari aplikasi populer, bahkan hasil penelitian psikologi tentang hubungan. Ia membersihkan data, menyempurnakan algoritmanya, dan melakukan pengujian berulang kali.

Hasilnya, cukup mencengangkan. "Love Predictor" mampu memprediksi kompatibilitas dua orang dengan akurasi 87%. Anya merasa bangga, ia yakin telah menciptakan sesuatu yang revolusioner. Sesuatu yang bisa membantu orang menemukan cinta sejati, menghindari patah hati yang menyakitkan.

Namun, di balik keberhasilan algoritmanya, Anya merasa ada sesuatu yang hilang. Ia terlalu sibuk berkutat dengan data, hingga lupa bagaimana rasanya merasakan cinta itu sendiri. Ia tidak pernah berkencan, tidak punya waktu untuk bersosialisasi. Hidupnya hanya berputar di sekitar kode dan data.

Suatu malam, Anya menghadiri pesta peluncuran aplikasi kencan baru yang didukung oleh perusahaannya. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Rian. Rian adalah seorang seniman, seorang pemimpi yang idealis, kebalikan dari dirinya yang rasional dan logis.

Mereka terlibat dalam percakapan yang panjang dan menarik. Rian bercerita tentang lukisannya, tentang bagaimana ia mencoba menangkap esensi kehidupan dalam setiap goresan kuasnya. Anya, meskipun awalnya skeptis, terpesona oleh semangat dan visinya.

Di akhir pesta, Rian meminta nomor telepon Anya. Ia ragu-ragu. Dalam benaknya, "Love Predictor" berteriak, "Tidak cocok! Perbedaan profesi, minat yang berlawanan, skor kompatibilitas rendah!"

Namun, ada sesuatu dalam diri Anya yang menolak untuk mendengarkan algoritmanya. Sesuatu yang lebih kuat dari logika dan data. Ia memberikan nomornya.

Hari-hari berikutnya, Anya dan Rian menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka pergi ke galeri seni, menonton film independen, dan berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari filosofi hingga makanan favorit. Anya menemukan sisi baru dari dirinya, sisi yang lebih spontan, lebih berani, lebih hidup.

Namun, keraguan terus menghantuinya. Ia memasukkan data Rian ke dalam "Love Predictor". Hasilnya tetap sama: tidak cocok. Algoritma memprediksi bahwa hubungan mereka tidak akan bertahan lama.

Anya merasa dilema. Haruskah ia mempercayai perasaannya, atau mempercayai algoritmanya? Haruskah ia menyerah pada hubungan yang baru saja tumbuh, atau mengambil risiko patah hati?

Ia menceritakan kegelisahannya kepada Leo. “Algoritma itu bilang aku dan Rian tidak cocok, Leo. Tapi aku…aku benar-benar menyukainya.”

Leo tersenyum. “Anya, kau sudah menjawabnya sendiri. Algoritma itu hanyalah alat, bukan penentu takdirmu. Gunakan itu sebagai panduan, tapi jangan biarkan itu mengendalikan hidupmu. Cinta itu bukan tentang kecocokan di atas kertas, tapi tentang bagaimana kau membuat hubungan itu berhasil.”

Kata-kata Leo memberinya keberanian. Anya memutuskan untuk mengabaikan "Love Predictor" dan mengikuti kata hatinya. Ia terus menjalin hubungan dengan Rian, belajar untuk menerima perbedaan mereka, dan membangun hubungan yang berdasarkan saling pengertian dan kepercayaan.

Tentu saja, hubungan mereka tidak selalu berjalan mulus. Ada argumen, ada perbedaan pendapat, ada saat-saat ketika Anya meragukan keputusannya. Tapi mereka selalu berusaha untuk berkomunikasi, untuk saling memahami, dan untuk menemukan jalan tengah.

Suatu malam, Rian mengajak Anya ke sebuah bukit di pinggiran kota. Dari sana, mereka bisa melihat seluruh kota yang gemerlap di bawah langit malam. Rian memegang tangan Anya, menatapnya dengan tatapan yang penuh cinta.

“Anya,” katanya, “Aku tahu kita berbeda. Tapi aku mencintai dirimu apa adanya. Aku mencintai kecerdasanmu, kegigihanmu, dan bahkan keteguhanmu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu.”

Anya meneteskan air mata. Ia memeluk Rian erat-erat. “Aku juga mencintaimu, Rian. Aku mencintai kebaikanmu, kreativitasmu, dan caramu melihat dunia.”

Pada saat itu, Anya menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi. Cinta itu lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, tentang kesediaan untuk menerima perbedaan, dan tentang kemampuan untuk saling mencintai tanpa syarat.

Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Mungkin, pikirnya, algoritma itu bisa memprediksi kemungkinan, tapi tidak bisa memprediksi keajaiban. Keajaiban cinta yang mengubah segalanya.

Anya tersenyum. Ia tidak lagi khawatir tentang apakah ia dan Rian cocok atau tidak. Yang terpenting adalah mereka saling mencintai, dan itu sudah cukup. Algoritma boleh saja salah, tapi hatinya tidak pernah berbohong. Ia telah menemukan cinta, bukan dengan bantuan algoritma, tapi dengan sentuhan jiwa yang tidak bisa diukur. Dan itu, baginya, adalah kebahagiaan yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI