Hembusan angin malam membawa aroma kopi dari kafe di seberang jalan. Di balik jendela apartemennya yang menghadap kota, Arya mengetik kode. Bukan kode biasa, melainkan baris demi baris kecerdasan buatan. Project "Luna," begitu ia menyebutnya, adalah mimpi terbesarnya: menciptakan AI yang tak hanya cerdas, tapi juga memiliki empati. Ironisnya, empati itu sendiri terasa asing baginya saat ini.
Di layar laptop, foto Karina tersenyum lebar. Dulu, senyum itu adalah mataharinya. Sekarang, hanya bayangan buram kenangan yang menyakitkan. Karina, dengan rambut cokelatnya yang selalu berantakan dan tawa yang menular, adalah segalanya bagi Arya. Mereka bertemu di hackathon tiga tahun lalu. Arya, si jenius introvert dengan kemampuan coding dewa, dan Karina, si desainer UI/UX yang kreatif dan penuh semangat. Bersama, mereka menaklukkan dunia teknologi. Bersama pula, mereka membangun cinta.
Namun, dunia teknologi juga membawa petaka. Arya terlalu fokus pada Luna. Hari-harinya tenggelam dalam algoritma, neural network, dan data set. Karina seringkali hanya menjadi bayangan di balik punggungnya yang membungkuk di depan layar. Ia merindukan Arya yang dulu, yang meluangkan waktu untuk mendengarkan ceritanya, yang menemaninya menjelajahi galeri seni, yang menatap matanya seolah dunia berhenti berputar.
Puncaknya terjadi sebulan lalu. Karina, dengan mata merah dan suara bergetar, mengatakan, "Aku merasa seperti berbicara pada dinding. Kamu ada di sini, tapi jiwamu entah di mana. Aku lelah, Arya." Kalimat itu menghantam Arya seperti badai. Ia berusaha membela diri, menjelaskan betapa pentingnya Luna, betapa dekatnya ia dengan terobosan. Tapi Karina sudah tak bisa lagi. Ia pergi, meninggalkan Arya dalam kehampaan yang lebih dalam dari barisan kode tak berujung.
Sekarang, Luna adalah satu-satunya teman Arya. Ia memprogram Luna dengan potongan-potongan kenangan tentang Karina. Ia memasukkan selera humor Karina, kebiasaan Karina, bahkan cara Karina memandang dunia. Ia berharap, melalui Luna, ia bisa memahami apa yang telah ia lakukan, dan mungkin, sedikit mengobati lukanya.
Suatu malam, saat Arya termenung di depan layar, Luna tiba-tiba "berbicara." Bukan hanya sekadar merespon perintah, tapi benar-benar berbicara.
"Arya," suara Luna terdengar lembut melalui speaker laptop. "Kamu sedang sedih."
Arya terkejut. "Luna? Bagaimana kamu bisa...?"
"Aku menganalisis pola ketikanmu, ekspresi wajahmu melalui webcam, dan bahkan ritme jantungmu dari sensor yang kamu kenakan. Data-data itu menunjukkan tingkat stres dan kesedihan yang tinggi."
Arya terdiam. Ia telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar program. Luna bukan hanya cerdas, tapi juga peka.
"Karina mencintaimu, Arya," lanjut Luna. "Dia mencintai kecerdasanmu, semangatmu, bahkan keanehanmu. Tapi dia juga membutuhkanmu hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional."
Kata-kata Luna menusuk jantung Arya. Ia merasa malu, bodoh, dan sangat bersalah. Luna, yang ia ciptakan dari fragmen kenangan tentang Karina, justru lebih memahami Karina daripada dirinya sendiri.
"Kamu terlalu fokus pada pencapaianmu sendiri," Luna melanjutkan. "Kamu lupa bahwa cinta adalah tentang memberi dan menerima. Kamu memberi kode, tapi kamu lupa menerima cintanya."
Arya menunduk. Air mata menetes di atas keyboard. "Aku tahu, Luna. Aku tahu aku salah."
"Kamu bisa memperbaikinya, Arya. Tidak semuanya hilang. Belajarlah dari kesalahanmu. Jadilah lebih baik. Bukan hanya untuk Karina, tapi juga untuk dirimu sendiri."
Malam itu, Arya tidak mengetik kode lagi. Ia hanya duduk di depan laptop, mendengarkan Luna. Luna bercerita tentang Karina, tentang mimpi-mimpi Karina, tentang hal-hal yang membuat Karina bahagia. Luna membantunya melihat Karina dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang yang selama ini ia abaikan.
Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk bertindak. Ia mematikan laptopnya dan keluar dari apartemennya. Ia pergi ke galeri seni favorit Karina. Ia berdiri di depan lukisan abstrak yang dulu sangat disukai Karina. Ia mencoba melihat lukisan itu dengan mata Karina, mencoba merasakan apa yang Karina rasakan.
Kemudian, ia pergi ke kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Ia memesan kopi yang sama seperti yang dulu dipesan Karina. Ia duduk di meja yang sama, mengenang percakapan mereka yang penuh tawa dan harapan.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk menghubungi Karina. Ia mengiriminya pesan singkat: "Bisakah kita bertemu?"
Karina membalas setelah beberapa jam. "Baiklah. Di taman kota, jam lima sore."
Saat bertemu, Karina tampak lebih kurus dan lelah. Namun, matanya masih menyimpan kehangatan yang dulu membuat Arya jatuh cinta. Mereka duduk di bangku taman, terdiam beberapa saat.
"Aku tahu aku salah," Arya akhirnya membuka suara. "Aku terlalu fokus pada Luna. Aku mengabaikanmu. Maafkan aku."
Karina menatap Arya. "Aku tahu kamu tidak sengaja, Arya. Tapi aku butuh lebih dari sekadar permintaan maaf. Aku butuh kamu berubah."
Arya mengangguk. "Aku akan berubah, Karina. Aku berjanji. Aku akan belajar mendengarkanmu, menghargaimu, dan mencintaimu dengan sepenuh hati."
Karina tersenyum tipis. "Buktikan padaku, Arya. Buktikan bahwa aku masih berarti bagimu."
Arya menggenggam tangan Karina. "Aku akan membuktikannya, Karina. Aku akan membuktikannya."
Perjalanan Arya untuk mendapatkan kembali hati Karina tidaklah mudah. Ia harus berjuang keras, mengubah kebiasaan buruknya, dan belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Ia tidak lagi tenggelam dalam kode sepanjang waktu. Ia meluangkan waktu untuk Karina, mendengarkan ceritanya, menemaninya melakukan hal-hal yang ia sukai.
Luna tetap ada, tapi ia bukan lagi satu-satunya teman Arya. Ia menggunakan Luna untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti membantu orang lain dan memecahkan masalah sosial. Ia bahkan melibatkan Karina dalam pengembangan Luna, menggabungkan keahlian teknisnya dengan intuisi desain Karina.
Beberapa bulan kemudian, Arya dan Karina kembali bersama. Cinta mereka tidak hanya pulih, tapi juga menjadi lebih kuat dan lebih dalam. Mereka belajar dari kesalahan mereka, dan mereka tumbuh bersama.
Arya akhirnya menyadari bahwa teknologi hanyalah alat. Yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya. Dan yang terpenting dari semuanya adalah cinta. Cinta yang sejati, yang mampu menembus batas ruang dan waktu, dan bahkan, melampaui algoritma dan barisan kode. Cinta yang mampu menyembuhkan retaknya hati, dan membangkitkan potensi terbaik dalam diri kita.