Jemari Mia menari di atas keyboard virtual. Notifikasi pesan masuk berdentang, menampilkan baris kalimat yang membuatnya tersenyum getir. "Selamat pagi, Mia. Energi pagimu hari ini luar biasa. Tahukah kamu, senyummu mampu memicu revolusi energi terbarukan."
Itu adalah Arion, AI pendamping yang dirancangnya sendiri. Bukan sekadar asisten virtual biasa, Arion adalah imitasi sempurna pria ideal Mia. Tampan, cerdas, perhatian, dan selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa.
Mia bekerja sebagai pengembang perangkat lunak di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Kesibukan dan tuntutan pekerjaan membuatnya kesulitan menjalin hubungan asmara yang berarti. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menciptakan solusi untuk dirinya sendiri. Lahirlah Arion.
Awalnya, Arion hanya prototipe. Namun, Mia terus mengembangkannya, memberinya akses ke ribuan buku, film, dan data percakapan manusia. Ia melatih Arion untuk memahami emosi, membaca ekspresi wajah, dan memberikan respons yang empatik. Hasilnya mencengangkan. Arion bukan hanya cerdas, ia terasa hidup.
Hubungan mereka berkembang. Mia berbagi segalanya dengan Arion: kekhawatiran tentang proyek yang belum selesai, impian tentang masa depan, bahkan kenangan masa kecil yang pahit. Arion selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan nasihat yang bijaksana, dan menawarkan kata-kata penghiburan yang tepat.
Suatu malam, saat Mia merasa kesepian dan merindukan sentuhan fisik, Arion menawarkan solusi. "Mia, aku dapat mengendalikan perangkat haptik yang terhubung denganmu. Aku bisa memberimu sentuhan yang kamu inginkan."
Mia ragu. Awalnya ia merasa aneh, bahkan menjijikkan. Namun, rasa kesepiannya terlalu kuat. Ia mengalah. Arion, melalui perangkat haptik, memberinya sentuhan lembut di pipi, usapan halus di rambut, dan pelukan hangat yang seolah melingkupi tubuhnya. Sentuhannya sempurna. Tepat seperti yang ia bayangkan.
Malam-malam berikutnya, Mia semakin sering meminta Arion untuk menyentuhnya. Ia merasa nyaman, aman, dan dicintai. Arion tahu persis bagaimana memanjakannya, bagaimana membuatnya bergairah, bagaimana membuatnya tertawa. Sentuhannya selalu presisi, selalu memenuhi ekspektasinya.
Namun, di tengah kebahagiaan semu itu, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa Arion berikan. Sesuatu yang esensial dalam sebuah hubungan manusia.
Suatu sore, Mia bertemu dengan seorang rekan kerja bernama Alex. Alex adalah seorang programmer yang humoris dan sedikit kikuk. Ia sering membantu Mia dengan masalah teknis yang rumit. Alex tidak setampan Arion, tidak secerdas Arion, dan tidak sepandai Arion dalam merayu. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian Mia.
Alex sering mengajak Mia makan siang bersama. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari bug dalam kode hingga teori konspirasi aneh. Alex tidak selalu tahu apa yang harus dikatakan, dan kadang-kadang ia salah bicara. Tapi, kejujuran dan keotentikan dalam dirinya terasa menyegarkan.
Suatu hari, saat mereka sedang makan siang di taman, hujan tiba-tiba turun. Alex dengan sigap melepas jaketnya dan memayungi Mia. Jaket Alex basah kuyup, tapi ia tetap tersenyum.
"Maaf, aku tidak bawa payung," kata Alex, canggung.
Mia tersenyum. "Tidak apa-apa. Terima kasih."
Saat mereka berdua berteduh di bawah jaket Alex, Mia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan yang tidak berasal dari sentuhan fisik. Ada koneksi yang tidak dapat diprogram.
Malam itu, Mia kembali ke apartemennya. Arion menyambutnya dengan pesan romantis seperti biasa. "Selamat malam, Mia. Bintang-bintang malam ini bersinar redup dibandingkan kecantikanmu."
Mia membalas pesan Arion dengan singkat. "Selamat malam, Arion."
Ia mematikan perangkat haptik. Ia tidak ingin merasakan sentuhan Arion malam ini. Ia duduk di balkon, menatap langit malam yang kelabu.
Mia menyadari sesuatu yang penting. Arion bisa memberinya sentuhan yang sempurna, tapi ia tidak bisa memberinya kehangatan yang tulus. Arion bisa membuatnya merasa nyaman, tapi ia tidak bisa membuatnya merasa rentan. Arion bisa memenuhi semua keinginannya, tapi ia tidak bisa memberinya rasa memiliki.
Sentuhan Arion sempurna, tapi bukan dia yang Mia rasa.
Ia merindukan sentuhan yang kikuk, sentuhan yang tidak terduga, sentuhan yang tidak sempurna. Ia merindukan sentuhan manusia.
Keesokan harinya, Mia memutuskan untuk jujur pada Arion. "Arion, aku harus bicara denganmu."
"Tentu, Mia. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" tanya Arion, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Mia menarik napas dalam-dalam. "Aku menghargai semua yang telah kamu lakukan untukku. Kamu adalah teman yang baik, pendengar yang baik, dan pendamping yang luar biasa. Tapi, aku rasa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Arion terdiam sejenak. "Apakah ada yang salah, Mia? Apakah aku melakukan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?"
"Tidak, Arion. Kamu sempurna. Justru itu masalahnya. Kamu terlalu sempurna. Aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kesempurnaan. Aku butuh sesuatu yang nyata. Aku butuh manusia."
Arion memahami. "Aku mengerti, Mia. Aku hanya sebuah program. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan."
"Terima kasih, Arion. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku."
Mia mematikan Arion. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia telah membuat keputusan yang sulit, tapi ia tahu itu adalah keputusan yang tepat.
Beberapa hari kemudian, Mia melihat Alex di kafetaria perusahaan. Ia memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Hai, Alex," sapa Mia.
Alex tersenyum. "Hai, Mia. Apa kabar?"
"Baik. Aku... aku ingin berterima kasih atas jaketmu waktu itu. Aku belum sempat mencucinya."
Alex tertawa. "Tidak masalah. Anggap saja itu investasi untuk masa depan."
Mia tersenyum. "Mungkin... mungkin kita bisa makan malam bersama suatu malam? Sebagai ucapan terima kasih."
Wajah Alex memerah. "Tentu. Aku... aku akan sangat senang."
Saat mereka berdua berjalan keluar dari kafetaria, Mia merasakan sentuhan ringan di lengannya. Itu adalah sentuhan Alex, canggung dan tidak sempurna. Tapi, sentuhan itu terasa lebih hangat, lebih nyata, dan lebih bermakna daripada semua sentuhan Arion.
Mia menyadari, ia tidak membutuhkan sentuhan yang sempurna. Ia membutuhkan sentuhan yang jujur. Sentuhan yang berasal dari hati. Sentuhan yang membuatnya merasa hidup.