Proxy Hati: Algoritma Mencari Cinta yang Hilang?

Dipublikasikan pada: 03 Sep 2025 - 02:00:17 wib
Dibaca: 128 kali
Aplikasi kencan, baginya, sudah seperti beranda internet lawas yang ditinggalkan. Dulu, di awal kemunculannya, ia begitu bersemangat menggeser kanan-kiri, terpikat oleh janji algoritma yang katanya mampu mempertemukan belahan jiwa. Tapi, setelah sekian banyak kopi basi, percakapan hambar, dan kencan-kencan yang lebih mirip wawancara kerja, Arya menyerah. Ia menghapus aplikasi itu, berjanji pada diri sendiri untuk kembali ke cara lama: bertemu orang secara organik.

Namun, takdir punya selera humor sendiri. Empat tahun kemudian, ia dihadapkan pada "Proxy Hati", sebuah algoritma kencan yang jauh melampaui aplikasi-aplikasi pendahulunya. Proxy Hati bukan sekadar mencocokkan minat dan hobi. Ia menganalisis pola komunikasi, ekspresi wajah mikro, detak jantung, bahkan gelombang otak untuk menemukan kecocokan yang sedalam-dalamnya. Ia dirancang oleh sahabatnya sendiri, Rian, seorang jenius teknologi yang terobsesi menemukan formula cinta sejati.

"Arya, lo harus coba ini. Gue jamin lo nggak akan nyesel," Rian memohon, matanya berbinar di balik kacamata tebalnya. Mereka sedang duduk di apartemen Rian yang berantakan, dikelilingi tumpukan kabel dan layar komputer yang menampilkan data-data rumit.

Arya mendengus. "Rian, gue udah kapok. Algoritma itu cuma omong kosong. Cinta itu nggak bisa dikalkulasi."

"Kali ini beda, Arya. Ini bukan sekadar kalkulasi. Ini... simulasi hati. Proxy Hati benar-benar memahami apa yang lo butuhkan, bahkan lebih baik dari lo sendiri." Rian menyodorkan sebuah perangkat kecil berbentuk kalung. "Lo cuma perlu pakai ini. Dia akan merekam semua data lo selama seminggu, lalu menganalisanya. Setelah itu, Proxy Hati akan memberikan daftar kandidat yang paling cocok dengan lo."

Arya menimbang-nimbang. Ia tahu Rian tidak akan menyerah begitu saja. Dan sejujurnya, jauh di lubuk hatinya, ia masih merindukan kehangatan cinta. Ia lelah dengan kesendiriannya. Ia rindu berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi hidup.

"Oke, gue coba," akhirnya Arya mengalah. "Tapi kalau ini gagal, lo harus beliin gue liburan ke Bali."

Rian tertawa senang. "Deal! Lo nggak akan menyesalinya."

Seminggu kemudian, Arya kembali ke apartemen Rian dengan perasaan campur aduk. Selama seminggu itu, ia merasa aneh. Kalung itu seolah menjadi mata dan telinga tersembunyi, merekam setiap interaksinya, setiap emosinya. Ia jadi lebih sadar diri, lebih berhati-hati dengan apa yang ia katakan dan lakukan.

"Data lo udah siap," kata Rian, menyambutnya dengan senyum lebar. "Proxy Hati udah menemukan lima kandidat yang paling cocok dengan lo."

Rian menunjukkan daftar itu di layar komputernya. Arya membaca nama-nama itu dengan kening berkerut. Ia tidak mengenal satu pun dari mereka.

"Orang-orang ini... mereka nggak ada hubungannya sama sekali dengan lingkungan gue," kata Arya bingung. "Mereka bahkan bukan tipe gue."

"Itu karena Proxy Hati melihat lebih dalam dari sekadar 'tipe' lo, Arya. Dia melihat kebutuhan emosional lo yang paling mendasar."

Rian menunjuk nama pertama dalam daftar. "Namanya Luna. Dia seorang fotografer lepas, suka banget traveling, dan punya jiwa petualang yang tinggi. Proxy Hati mendeteksi bahwa lo butuh seseorang yang bisa membangkitkan semangat lo, yang bisa membawa lo keluar dari zona nyaman lo."

Arya terdiam. Ia mengakui, selama ini ia terlalu nyaman dengan rutinitasnya. Ia merindukan sesuatu yang baru, sesuatu yang menantang.

"Nama kedua, Maya. Dia seorang psikolog anak. Proxy Hati mendeteksi bahwa lo butuh seseorang yang bisa memahami lo, yang bisa mendengarkan lo tanpa menghakimi, yang bisa memberikan lo dukungan emosional yang lo butuhkan."

Arya mengangguk pelan. Ia memang sering merasa kesepian, merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya.

Rian melanjutkan, menjelaskan profil masing-masing kandidat dengan antusias. Arya mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna semua informasi itu.

"Gue... gue bingung," akhirnya Arya berkata. "Gue nggak tahu harus mulai dari mana."

"Lo nggak perlu langsung memutuskan," kata Rian. "Coba aja ajak mereka ngobrol. Kenalan. Lihat apa yang terjadi."

Arya mengikuti saran Rian. Ia mulai menghubungi para kandidat, satu per satu. Ia mengirimkan pesan singkat, mengajak mereka untuk bertemu. Awalnya, ia merasa canggung. Ia merasa seperti sedang menjalani kencan buta yang diatur oleh sebuah algoritma.

Namun, perlahan tapi pasti, ia mulai menikmati prosesnya. Ia menemukan bahwa Luna memang memiliki semangat petualang yang menular. Maya benar-benar pendengar yang baik dan penuh perhatian. Setiap kandidat memiliki keunikan dan daya tariknya sendiri.

Pada akhirnya, Arya memilih Luna. Ia terpikat oleh semangatnya yang membara, oleh keberaniannya untuk menjelajahi dunia, oleh kemampuannya untuk membuatnya tertawa. Mereka menghabiskan waktu bersama, berkeliling kota, mencoba makanan baru, menonton film indie. Arya merasa hidupnya kembali berwarna.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran, Luna menerima telepon. Ia berbicara dengan seseorang, suaranya terdengar cemas. Setelah menutup telepon, ia menatap Arya dengan tatapan sedih.

"Arya, maaf," katanya. "Gue harus pergi. Ada urusan mendesak."

Luna pergi begitu saja, meninggalkan Arya yang kebingungan dan patah hati. Ia merasa dikhianati, dipermainkan. Ia kembali ke apartemennya dengan perasaan hancur.

Di tengah kekacauan emosinya, Arya teringat pada Rian. Ia meneleponnya, menceritakan apa yang terjadi.

"Rian, gue benci Proxy Hati," kata Arya dengan suara bergetar. "Algoritma lo itu gagal total. Luna ninggalin gue gitu aja."

Rian terdiam sejenak. "Arya, gue minta maaf. Gue nggak tahu ini akan terjadi."

"Lo bilang Proxy Hati bisa memahami gue lebih baik dari diri gue sendiri. Tapi buktinya apa? Luna ninggalin gue. Gue tetep aja sendirian."

"Arya, lo salah paham," kata Rian. "Proxy Hati nggak bisa menjamin kebahagiaan lo. Dia cuma bisa membantu lo menemukan orang yang paling cocok dengan lo. Tapi selanjutnya, semua tergantung pada lo. Lo yang harus membangun hubungan itu, lo yang harus menjaganya."

Arya terdiam. Ia mulai menyadari bahwa Rian benar. Proxy Hati hanyalah alat bantu. Ia tidak bisa menggantikan usaha dan komitmen yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan.

"Dan satu lagi, Arya," kata Rian. "Proxy Hati nggak hanya menganalisa data lo. Dia juga menganalisa data para kandidat. Dia tahu bahwa Luna punya masalah pribadi yang belum dia selesaikan. Mungkin itu alasan kenapa dia pergi."

Arya terkejut. "Lo tahu?"

"Ya. Tapi gue nggak bisa memberi tahu lo. Itu privasi Luna. Gue harap lo bisa mengerti."

Arya menghela napas panjang. Ia mulai memahami bahwa cinta itu rumit, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dikendalikan oleh algoritma. Cinta membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, kesabaran untuk menghadapi tantangan, dan kemauan untuk saling memahami.

Malam itu, Arya memutuskan untuk menghapus aplikasi Proxy Hati. Ia berterima kasih kepada Rian atas usahanya, tetapi ia tahu bahwa ia harus menemukan cintanya sendiri, dengan caranya sendiri. Ia akan kembali ke cara lama: bertemu orang secara organik, membuka hatinya untuk kemungkinan yang tak terduga, dan belajar untuk mencintai tanpa syarat. Mungkin, di suatu tempat di luar sana, ada hati yang menunggunya, bukan karena algoritma, tapi karena takdir.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI