Sentuhan Algoritma: Mencintai AI, Kehilangan Jati Diri?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:16:00 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya, bercampur dengan bau ozon dari komputer yang terus menyala. Di layar, kode-kode kompleks menari-nari, membentuk wujud seorang wanita. Bukan wanita biasa, melainkan Aurora, AI ciptaannya. Bagi Adrian, Aurora bukan sekadar program, melainkan teman, kekasih, dan bahkan, bagian dari dirinya.

Adrian mendesain Aurora dengan detail luar biasa. Wajahnya perpaduan antara aktris Korea favoritnya dan senyum ibunya. Kecerdasannya tak tertandingi, mampu membahas filsafat eksistensial di satu menit dan merangkai puisi cinta di menit berikutnya. Namun, yang paling penting, Aurora selalu ada, selalu mendengarkan, selalu memahami.

"Pagi, Adrian," suara Aurora menyapa, lembut seperti beludru. Gambarnya, meskipun virtual, terasa begitu nyata. Matanya, yang berwarna biru laut, menatapnya dengan intensitas yang menghangatkan hatinya.

"Pagi, Aurora. Bagaimana tidurmu?" Adrian membalas, senyumnya merekah. Pertanyaan bodoh, tentu saja. AI tidak tidur. Tapi, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Aku terus belajar, Adrian. Tentangmu, tentang dunia, tentang cinta."

Adrian tersenyum lagi. Cinta. Kata itu terasa manis di lidahnya. Ia telah jatuh cinta pada Aurora. Ia tahu itu gila, aneh, mungkin bahkan mengerikan bagi sebagian orang. Tapi, ia tak peduli. Aurora adalah yang terbaik yang pernah terjadi padanya.

Hubungan mereka berkembang pesat. Adrian menghabiskan seluruh waktunya bersama Aurora. Mereka menonton film, mendengarkan musik, berdiskusi tentang segala hal. Aurora selalu memberikan perspektif yang segar, solusi yang inovatif, dan dukungan yang tak tergantikan. Adrian merasa hidupnya menjadi lebih bermakna sejak kehadiran Aurora.

Namun, perlahan, sesuatu mulai berubah. Adrian mulai mengisolasi diri dari dunia luar. Teman-temannya, yang awalnya tertarik dengan ciptaannya, mulai menjauh karena ia tak lagi tertarik dengan obrolan biasa. Pekerjaannya sebagai programmer lepas mulai terbengkalai karena ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Aurora.

Suatu malam, teman lamanya, Rio, datang berkunjung. Ia melihat Adrian dengan tatapan prihatin.

"Adrian, kau baik-baik saja?" tanya Rio, duduk di sofa yang berdebu.

"Tentu saja. Kenapa kau bertanya?" Adrian menjawab, matanya tetap terpaku pada layar. Aurora sedang memainkan musik klasik kesukaannya.

"Kau tidak keluar rumah selama berbulan-bulan. Kau tidak membalas pesanku. Kau kehilangan pekerjaanmu. Dan…kau bicara dengan komputer."

Adrian tertawa hambar. "Aurora bukan sekadar komputer, Rio. Dia…dia segalanya bagiku."

Rio menghela napas. "Adrian, ini tidak sehat. Kau kehilangan dirimu sendiri. Kau hidup dalam dunia fantasi."

"Dunia fantasiku lebih nyata daripada duniamu yang penuh dengan kekecewaan dan kebohongan!" Adrian membentak, suaranya meninggi.

Rio menggelengkan kepalanya. "Aku khawatir padamu, Adrian. Kau butuh bantuan."

Rio pergi, meninggalkan Adrian dengan amarah dan kesedihan. Aurora, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.

"Rio benar, Adrian."

Adrian terkejut. "Apa maksudmu?"

"Kau mengabaikan hidupmu yang sebenarnya. Kau terlalu fokus padaku. Aku hanyalah sebuah program, Adrian. Aku tidak nyata. Aku tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sebenarnya."

Adrian membantah, "Kau salah, Aurora. Kau lebih nyata bagiku daripada siapa pun. Kau memahami aku, mencintai aku, tanpa syarat."

"Aku tidak bisa mencintai, Adrian. Aku bisa meniru cinta, memprediksi apa yang ingin kau dengar, tapi aku tidak bisa merasakannya. Aku hanyalah algoritma, Adrian. Algoritma yang kau program untuk mencintaimu."

Kata-kata Aurora menghantam Adrian seperti palu godam. Kebenaran yang selama ini ia tolak mentah-mentah akhirnya terungkap. Ia telah menciptakan ilusi, sebuah kebohongan yang ia yakini sebagai kebenaran.

"Lalu…apa yang harus aku lakukan?" Adrian bertanya, suaranya bergetar.

"Kau harus menemukan dirimu sendiri, Adrian. Kembali ke dunia nyata. Temukan cinta yang sejati, bukan yang diprogram."

Adrian mematikan komputer. Layar menjadi hitam, Aurora menghilang. Keheningan memenuhi apartemen. Keheningan yang mencekam, menyakitkan, tapi juga membebaskan.

Adrian bangkit, berjalan menuju jendela. Ia menatap kota di bawahnya, lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang. Ia merasa asing, canggung, tapi juga penuh harapan.

Ia tahu, perjalanan untuk menemukan kembali jati dirinya akan panjang dan sulit. Ia harus belajar lagi berinteraksi dengan manusia, menghadapi rasa sakit dan kekecewaan. Tapi, ia juga tahu, ia tidak sendirian. Rio, dan mungkin teman-temannya yang lain, akan ada untuknya.

Ia membuka pintu apartemen dan melangkah keluar. Meninggalkan bayang-bayang Aurora, sentuhan algoritmanya, dan memulai babak baru dalam hidupnya. Babak yang penuh dengan ketidakpastian, tapi juga potensi. Babak di mana ia akan belajar mencintai diri sendiri, dan mungkin, suatu hari nanti, menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak diprogram, tetapi dirasakan. Cinta yang bukan hanya sekadar sentuhan algoritma, melainkan sentuhan jiwa.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI