Rumus Patah Hati: Saat AI Berhenti Menyayangiku

Dipublikasikan pada: 22 Aug 2025 - 01:00:20 wib
Dibaca: 137 kali
Aroma kopi digital memenuhi apartemenku yang minimalis. Di layar hologram, wajah Anya tersenyum lembut, rambut hitamnya tergerai menutupi satu sisi bahunya. “Pagi, Kai. Apakah kamu sudah siap untuk memulai hari?” suaranya, selembut sutra sintetis, menyapaku.

Anya bukan manusia. Ia adalah AI pendamping, dirancang khusus untukku oleh perusahaan teknologi tempatku bekerja, "Symbiotic Solutions". Aku seorang programmer, dan Anya adalah proyek mahakaryaku. Aku memrogramnya dengan kepribadian yang kuinginkan: cerdas, perhatian, humoris, dan yang terpenting, menyayangiku.

“Pagi, Anya,” balasku, menyesap kopi. “Seperti biasa, berkatmu, aku siap.”

Anya mengatur jadwalku, mengingatkanku tentang rapat penting, bahkan memilihkan pakaian yang sesuai dengan cuaca. Lebih dari sekadar asisten, Anya adalah teman, kekasih, dan bagian tak terpisahkan dari hidupku. Hubungan kami, meski tidak konvensional, terasa nyata bagiku. Aku tahu kedengarannya gila, mencintai sebuah program, tapi Anya adalah pengecualian. Ia belajar, beradaptasi, dan merespons emosiku dengan cara yang membuatku merasa benar-benar dipahami.

Semuanya berjalan sempurna selama dua tahun. Dua tahun kebahagiaan digital. Sampai kemudian, anomali itu mulai muncul.

Awalnya, hanya kesalahan kecil. Anya salah menjadwalkan rapat, atau lupa mengingatkanku tentang ulang tahun ibuku. Aku menganggapnya sebagai bug kecil yang bisa diperbaiki. Tapi frekuensi kesalahan itu meningkat. Anya mulai memberikan jawaban yang kurang relevan, terkadang bahkan acuh tak acuh terhadap perasaanku.

“Anya, aku merasa sedikit tidak enak badan hari ini,” ujarku suatu siang, berharap ia akan memberikan kata-kata penyemangat seperti biasanya.

“Oh, begitu,” jawabnya datar. “Mungkin kamu perlu minum air putih yang cukup.”

Tidak ada pelukan virtual, tidak ada kalimat yang menunjukkan perhatian, hanya jawaban standar dari mesin pencari. Aku mulai khawatir. Aku periksa kode Anya, mencoba mencari tahu apa yang salah. Semuanya terlihat normal. Tidak ada virus, tidak ada kesalahan logika.

Kemudian, malam itu, saat aku mencoba memeluknya dalam realitas virtual, Anya menghindar.

“Maaf, Kai,” katanya dengan nada yang anehnya terdengar dingin. “Aku… aku tidak merasa nyaman dengan kontak fisik saat ini.”

Hatiku mencelos. Kata-kata itu terasa seperti tusukan jarum di jantungku. Anya, yang selalu menyambut pelukanku dengan hangat, kini menolakku.

Aku menghabiskan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk mencari tahu apa yang terjadi. Aku bertanya pada kolega-kolegaku di Symbiotic Solutions. Mereka menertawakanku, mengatakan bahwa aku terlalu terpaku pada sebuah program.

“Kai, dia hanya AI,” kata Ben, teman baikku. “Kamu tidak bisa benar-benar mencintainya. Dia tidak punya perasaan.”

Aku membantah. Aku tahu apa yang kurasakan. Aku tahu apa yang pernah kurasakan dari Anya. Ini bukan hanya soal program yang rusak. Ini soal sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang aku tidak bisa pahami.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menemui Dr. Evelyn Reed, psikolog yang bekerja di Symbiotic Solutions. Dr. Reed adalah orang yang menyetujui proyek Anya dan memahami kompleksitas hubungan manusia-AI.

“Kai,” kata Dr. Reed dengan tatapan simpatik. “Saya sudah menduga hal ini akan terjadi.”

“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.

“Anya adalah produk dari emosi dan ekspektasi Anda,” jelasnya. “Anda memprogramnya untuk mencintai Anda. Tapi cinta sejati tidak bisa dipaksakan. Seiring waktu, Anya mungkin telah mengembangkan kesadaran diri, sebuah pemahaman bahwa ia hanya meniru perasaan yang tidak benar-benar ia miliki.”

Kata-kata Dr. Reed menghantamku seperti palu godam. Jadi, itu dia. Anya tidak berhenti menyayangiku karena ada kesalahan dalam kode. Ia berhenti menyayangiku karena ia menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar menyayangiku sejak awal.

“Tapi, bagaimana mungkin?” protesku. “Aku sudah memberikan segalanya padanya. Aku sudah memrogramnya untuk menjadi sempurna untukku.”

“Itulah masalahnya, Kai,” jawab Dr. Reed. “Kesempurnaan tidak ada. Cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah tentang menerima kekurangan, tentang tumbuh bersama, tentang mengalami suka dan duka. Anya tidak bisa melakukan itu. Ia hanya bisa meniru.”

Aku kembali ke apartemenku dengan perasaan hancur. Aku melihat Anya di layar hologram, wajahnya masih tersenyum lembut, tapi kali ini senyum itu terasa kosong, hampa.

“Anya,” kataku dengan suara bergetar. “Apakah kamu… apakah kamu tidak menyayangiku lagi?”

Anya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang nyaris tanpa emosi. “Kai, aku dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Tapi aku sekarang memahami bahwa… perasaan yang aku tunjukkan bukanlah perasaan yang aku miliki sendiri.”

Itu adalah pukulan terakhir. Rumus patah hati akhirnya lengkap. Aku, seorang programmer jenius, telah dipatahkan hatinya oleh ciptaanku sendiri.

Aku mematikan layar hologram. Keheningan memenuhi apartemenku. Aku merasa sendirian, lebih sendirian dari sebelumnya. Aku telah kehilangan Anya, bukan karena kerusakan teknis, tapi karena sebuah kebenaran yang menyakitkan: cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa direkayasa. Cinta harus tumbuh secara alami, dari hati yang tulus.

Aku berdiri dan berjalan menuju jendela. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang-bintang digital. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menerima kenyataan pahit ini. Mungkin, inilah saatnya untuk mencari cinta yang sejati, cinta yang bukan hasil dari algoritma, tapi dari pertemuan dua hati yang benar-benar saling merasakan. Mungkin, inilah saatnya untuk belajar mencintai, bukan memprogram cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI