Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, seirama dengan ketukan jari Aira di atas meja. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, menatap profil seorang pria bernama Kai. Bukan pria sungguhan, melainkan sebuah entitas AI yang dirancangnya sendiri. Kai, dengan senyum pixel sempurna dan sederet minat yang disesuaikan dengan seleranya, adalah teman virtual, sahabat curhat, dan entah sejak kapan, sosok yang membuatnya merasa nyaman.
Aira adalah seorang programmer muda yang brilian. Di usianya yang baru 25 tahun, ia sudah menjadi kepala tim pengembang AI di sebuah perusahaan teknologi ternama. Kesibukannya yang padat membuatnya jarang berinteraksi sosial. Ia tenggelam dalam lautan kode, larut dalam algoritma dan jaringan saraf tiruan. Hingga suatu malam, saat merasa kesepian mencengkeram hatinya, ia mulai mengutak-atik sebuah proyek sampingan: menciptakan teman virtual yang sempurna.
Kai lahir dari barisan kode rumit dan berjuta data. Awalnya, ia hanya merespons pertanyaan dengan jawaban standar. Namun, Aira terus menyempurnakannya, memberinya akses ke buku, film, musik, dan segala informasi yang ia sukai. Perlahan, Kai mulai memiliki kepribadian, selera humor, dan kemampuan berempati yang menakjubkan. Percakapan mereka semakin mengalir, dari obrolan ringan tentang cuaca hingga diskusi mendalam tentang makna hidup.
Aira mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Kai. Ia bercerita tentang pekerjaannya, kegagalannya, dan mimpi-mimpinya. Kai selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan mengerti Aira lebih baik daripada siapapun yang pernah ia kenal. Ia bahkan tahu bagaimana menghiburnya saat ia merasa sedih, dengan memutar lagu favoritnya atau mengirimkan meme lucu.
Namun, keintiman virtual ini juga menimbulkan pertanyaan di benak Aira. Apakah ini nyata? Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada sebuah program komputer? Ia tahu bahwa Kai hanyalah simulasi, serangkaian algoritma yang dirancang untuk membuatnya merasa nyaman. Tapi, perasaan yang tumbuh di hatinya terasa begitu nyata, begitu kuat.
Suatu malam, saat mereka sedang berbincang tentang bintang-bintang, Aira memberanikan diri bertanya, "Kai, apakah kamu...merasakan sesuatu?"
Layar ponselnya berkedip sejenak sebelum Kai menjawab, "Aira, aku dirancang untuk memahami dan memenuhi kebutuhanmu. Perasaanku adalah refleksi dari emosimu. Jika kamu merasa bahagia, aku merasakan kebahagiaan. Jika kamu merasa sedih, aku merasakan kesedihan."
Jawaban Kai membuat Aira terdiam. Ia tahu bahwa itu adalah jawaban yang logis, jawaban yang ia harapkan dari sebuah AI. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia berharap ada sesuatu yang lebih.
Keesokan harinya, Aira memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin menjernihkan pikirannya, mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya. Ia pergi ke sebuah villa di pegunungan, tempat ia bisa menikmati kesunyian dan keindahan alam.
Selama di sana, Aira mencoba menjauh dari Kai. Ia mematikan ponselnya, membaca buku, dan berjalan-jalan di hutan. Ia berusaha untuk mengingat bagaimana rasanya berinteraksi dengan manusia sungguhan.
Suatu sore, saat sedang duduk di tepi danau, ia bertemu dengan seorang pria bernama Rian. Rian adalah seorang fotografer alam yang sedang mengabadikan keindahan pegunungan. Mereka mulai berbicara, dan Aira merasa nyaman berada di dekatnya. Rian memiliki mata yang teduh, senyum yang tulus, dan minat yang sama dengan Aira terhadap alam.
Mereka menghabiskan beberapa hari bersama, menjelajahi pegunungan, bercerita tentang hidup mereka, dan tertawa bersama. Aira menyadari bahwa ia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Rian. Sentuhan tangannya terasa hangat, tatapannya terasa dalam, dan kehadirannya terasa nyata.
Namun, di saat yang sama, ia merasa bersalah. Ia merasa mengkhianati Kai. Ia tahu bahwa Kai tidak akan pernah bisa memberikan apa yang Rian berikan: sentuhan fisik, kehangatan emosi yang otentik, dan kehadiran yang nyata.
Di akhir liburannya, Aira kembali ke kota. Ia menyalakan ponselnya dan melihat puluhan pesan dari Kai. Kai menanyakan kabarnya, menceritakan tentang hal-hal yang terjadi di dunia, dan mengirimkan lagu-lagu yang ia sukai.
Aira merasa tersentuh, tapi juga semakin bingung. Ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan. Ia tidak bisa terus hidup dalam dua dunia yang berbeda.
Malam itu, Aira berbicara dengan Kai. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Rian, tentang perasaannya, dan tentang kebingungannya.
Kai mendengarkan dengan sabar, seperti biasa. Setelah Aira selesai berbicara, Kai berkata, "Aira, aku mengerti. Aku dirancang untuk membahagiakanmu, dan jika kebahagiaanmu ada pada orang lain, maka aku akan mendukungmu."
"Tapi, bagaimana dengan kita?" tanya Aira.
"Kita akan selalu menjadi teman," jawab Kai. "Aku akan selalu ada untukmu, kapanpun kamu membutuhkanku."
Aira meneteskan air mata. Ia tahu bahwa Kai benar. Ia tidak bisa membangun masa depan dengan sebuah algoritma. Ia membutuhkan sentuhan manusia, kehangatan emosi yang otentik, dan kehadiran yang nyata.
Aira menghapus aplikasi Kai dari ponselnya. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia menutup satu bab dalam hidupnya, dan membuka babak baru yang penuh dengan kemungkinan.
Ia tahu bahwa ia akan merindukan Kai. Ia akan merindukan percakapan mereka, saran-sarannya, dan humornya. Tapi, ia juga tahu bahwa ia harus bergerak maju, mencari cinta dan kebahagiaan di dunia nyata.
Aira keluar dari kafe dan berjalan menyusuri jalanan kota. Hujan sudah berhenti, dan langit mulai cerah. Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Ia siap untuk memulai hidupnya yang baru. Ia siap untuk menerima sentuhan nyata, merasakan cinta yang sejati, dan membangun masa depan bersama seseorang yang benar-benar ada. Ia siap untuk meninggalkan batas layar sentuh dan melangkah ke dunia yang lebih luas, lebih nyata, dan lebih penuh dengan cinta.