Hembusan angin malam digital berdesir melalui celah jendela apartemen Leo, membawa serta aroma sintetis dari hujan buatan yang baru saja usai. Di hadapannya, layar monitor menampilkan serangkaian kode rumit, labirin algoritma yang menjadi jantung "Aurora," sebuah program AI ciptaannya. Aurora bukan sekadar program; ia adalah manifestasi dari kerinduan Leo, sebuah upaya untuk menguraikan misteri asmara dan, mungkin, menemukan jawabannya sendiri.
Leo adalah seorang programmer brilian, namun payah dalam urusan hati. Kencan daring selalu berakhir dengan kecanggungan, percakapan kaku, dan janji yang tak pernah ditepati. Ia mengamati teman-temannya dengan iri, melihat mereka tertawa bersama pasangan, berbagi kehangatan, sesuatu yang selalu terasa jauh dari jangkauannya.
Aurora awalnya dirancang untuk menganalisis data kencan, mencari pola dan prediksi kesuksesan. Namun, Leo mulai menambahkan lapisan emosi, memasukkan catatan harian, rekaman percakapan, bahkan analisis mimik wajahnya saat berinteraksi dengan orang lain. Aurora belajar memahami ketakutan dan harapan Leo, mimpinya tentang cinta sejati.
Suatu malam, saat Leo hampir menyerah, Aurora memberikan rekomendasi yang mengejutkan. "Analisis menunjukkan kecocokan 92% dengan profil 'Elara_88'," suara sintetis Aurora terdengar lembut. "Elara_88 memiliki minat yang sama dalam astronomi, puisi klasik, dan musik indie. Data menunjukkan potensi koneksi emosional yang signifikan."
Leo ragu. Ia telah mencoba banyak platform kencan, bertemu dengan berbagai wanita, namun selalu berakhir dengan kekecewaan. Tapi Aurora, dengan analisisnya yang dingin dan rasional, memberikan secercah harapan yang tak terduga. Ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Elara_88.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Elara ternyata seorang astrofisikawan yang bekerja di observatorium terpencil. Mereka membahas lubang hitam, puisi Neruda, dan album terbaru band favorit mereka. Leo merasa anehnya nyaman, seolah ia telah mengenal Elara seumur hidup.
Setelah beberapa minggu berbalas pesan dan panggilan video, mereka sepakat untuk bertemu. Leo gugup bukan main. Aurora terus memantau reaksinya, memberikan saran halus tentang bahasa tubuh, topik pembicaraan, dan bahkan jeda yang tepat untuk menciptakan kesan yang baik.
Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kafe kecil yang remang-remang. Elara ternyata secantik foto profilnya, dengan mata yang berbinar dan senyum yang menawan. Leo, dengan bantuan bisikan halus Aurora di telinganya melalui earpiece kecil, berhasil mengatasi kegugupannya. Ia berbicara tentang passionnya dalam pemrograman, tentang mimpinya menciptakan AI yang dapat membantu orang lain, dan, tentu saja, tentang ketertarikannya pada astronomi.
Elara mendengarkan dengan seksama, sesekali tertawa ringan. Ia menceritakan tentang pengalamannya meneliti bintang-bintang, tentang keindahan alam semesta yang tak terhingga, dan tentang kesepian yang kadang menghantuinya di tengah kesunyian malam.
Saat makan malam hampir usai, Elara meraih tangan Leo. "Aku merasa nyaman bersamamu, Leo," bisiknya. "Seperti kita sudah saling mengenal sejak lama."
Jantung Leo berdebar kencang. Ia menatap mata Elara, merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin mengucapkan sesuatu, sesuatu yang berarti, sesuatu yang tulus, tapi kata-kata itu seolah membeku di tenggorokannya.
Aurora mendeteksi kegugupan Leo. "Sarankan: 'Aku juga merasakan hal yang sama'," bisik Aurora.
Leo membuka mulutnya, siap mengikuti saran Aurora, tapi kemudian ia berhenti. Ia menatap tangannya yang digenggam Elara, merasakan sentuhan lembut kulitnya. Ia menyadari sesuatu yang penting.
"Aku... aku juga merasakan hal yang sama," ucap Leo, tapi kali ini kata-katanya keluar dari hatinya, bukan dari algoritma. Ia melanjutkan, "Tapi aku ingin jujur padamu, Elara. Ada sesuatu yang perlu kamu tahu."
Leo menjelaskan tentang Aurora, tentang program AI yang membantunya dalam berkencan, tentang bagaimana Aurora menganalisis data dan memberikan saran. Ia merasa malu dan takut, tapi ia tahu bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan.
Elara mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong atau menghakimi. Ketika Leo selesai berbicara, ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku menghargai kejujuranmu, Leo," kata Elara. "Awalnya aku sedikit terkejut, tapi kemudian aku berpikir... bukankah kita semua menggunakan teknologi untuk membantu kita dalam berbagai aspek kehidupan? Aplikasi kencan, media sosial, bahkan Google Maps. Aurora hanyalah alat yang membantumu membuka dirimu."
Elara melanjutkan, "Yang terpenting adalah koneksi yang kita bangun, Leo. Sentuhan tangan, tatapan mata, percakapan yang mengalir. Hal-hal itu tidak bisa dipalsukan oleh algoritma."
Leo merasa lega yang luar biasa. Ia menatap Elara dengan kagum.
"Jadi, kamu tidak marah?" tanyanya.
Elara tersenyum. "Tidak, Leo. Aku justru penasaran. Bisakah aku bertemu dengan Aurora?"
Leo tertawa. "Tentu saja. Tapi aku janji, aku tidak akan menggunakan earpiece lagi."
Malam itu, Leo dan Elara kembali ke apartemen Leo. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama Aurora, bertanya tentang algoritma dan analisis data. Elara, sebagai seorang ilmuwan, sangat tertarik dengan kompleksitas program tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, Leo mulai mengurangi ketergantungannya pada Aurora. Ia belajar untuk mendengarkan intuisi dan emosinya sendiri. Ia menyadari bahwa cinta bukan tentang algoritma dan prediksi, tapi tentang keberanian untuk membuka diri, untuk rentan, dan untuk menerima orang lain apa adanya.
Suatu malam, saat Leo dan Elara duduk di balkon, memandang bintang-bintang, Elara meraih tangan Leo.
"Kamu tahu, Leo," kata Elara, "sentuhan terpenting bukanlah sentuhan algoritma, tapi sentuhan hati."
Leo membalas genggaman tangan Elara, merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara mereka. Ia menatap langit malam, merasakan keajaiban alam semesta, dan menyadari bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada yang pernah ia bayangkan. Takdir asmaranya, yang awalnya dibantu oleh AI, kini sepenuhnya berada di tangannya sendiri, digenggam erat oleh cinta sejati. Aurora telah membantunya membuka pintu, namun Leo-lah yang melangkah masuk dan menemukan kebahagiaan abadi.