Jantungku berdebar kencang, aneh dan tak wajar. Bukan karena Rian, pria yang duduk di seberang meja kafe dan sedang asyik bercerita tentang hobinya mengoleksi tanaman hias. Bukan juga karena aroma kopi robusta yang memenuhi ruangan, atau alunan musik jazz yang sayup-sayup terdengar. Tapi karena notifikasi yang baru saja muncul di layar ponselku. Sebuah notifikasi dari aplikasi kencan bernama "Soulmate AI," yang berbunyi: "Kecocokan Optimal: 98%. Kepribadian, Minat, Tujuan Hidup. Analisis menunjukkan potensi hubungan jangka panjang yang tinggi."
Aku melirik Rian, berusaha menyembunyikan senyum yang tiba-tiba merekah. Rian baik, sangat baik malah. Sopan, perhatian, dan pengetahuannya luas. Tapi, jujur saja, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang sulit kujelaskan. Mungkin semacam percikan api yang tak kunjung menyala. Atau mungkin, aku terlalu terpaku pada kesempurnaan yang dijanjikan Soulmate AI.
Aplikasi itu, Soulmate AI, adalah inovasi terbaru dalam dunia kencan daring. Algoritma canggihnya menganalisis data penggunanya secara mendalam, mulai dari preferensi musik hingga filosofi hidup, lalu mencocokkan mereka dengan kandidat yang paling kompatibel. Konsepnya sederhana: hilangkan tebak-tebakan, maksimalkan peluang cinta.
Aku awalnya skeptis, tentu saja. Tapi setelah beberapa kali mengalami kencan yang mengecewakan, aku menyerah pada rayuan teknologi. "Apa salahnya mencoba?" pikirku saat mengunduh aplikasi itu. Sekarang, setelah tiga minggu menggunakan Soulmate AI, aku merasa seperti protagonis dalam novel distopia romantis.
"Kamu melamun?" tanya Rian, membuyarkan lamunanku.
"Eh, maaf," jawabku, sedikit tersipu. "Aku sedang memikirkan proposal pekerjaan." Alasan klise, tapi ampuh.
Rian tersenyum maklum. Dia melanjutkan ceritanya tentang anggrek bulan yang baru saja dibelinya. Aku mengangguk-angguk sambil sesekali menyahut, berusaha menunjukkan minat. Tapi pikiranku melayang kembali pada notifikasi di ponselku. 98%. Angka yang fantastis. Siapa kandidat yang sedemikian sempurna?
"Aku harus ke toilet sebentar," ujarku, berdiri dari kursi.
Di dalam toilet, aku membuka Soulmate AI dengan tangan gemetar. Di layar, muncul profil seorang pria bernama Aris. Foto profilnya menampilkan wajah yang tampan, dengan mata yang teduh dan senyum yang menenangkan. Di bawah fotonya, terpampang data-data yang membuatku terpukau: penulis lepas, pecinta kopi, penggemar film klasik, dan aktif dalam kegiatan sosial. Semua hal yang kucari dalam seorang pasangan.
Aku membaca deskripsi dirinya dengan seksama. Setiap kata seolah ditulis untukku. Kami memiliki selera humor yang sama, pandangan hidup yang serupa, dan mimpi-mimpi yang sejalan. Rasanya seperti membaca refleksi diriku sendiri di cermin.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada Aris. "Halo, Aris. Soulmate AI bilang kita cocok banget. Mau ngobrol?"
Balasan datang hampir seketika. "Halo juga! Aku juga kaget lihat kecocokan kita. Gimana kalau kita ketemuan?"
Aku mengatur napas. Semuanya terjadi terlalu cepat. Aku masih duduk di kafe dengan Rian, pria yang sudah berusaha keras untuk membuatku terkesan. Tapi daya tarik Aris, atau lebih tepatnya, daya tarik algoritma yang mempertemukan kami, terlalu kuat untuk ditolak.
"Maaf, Rian," ujarku ketika kembali ke meja. "Ada urusan mendadak. Aku harus pergi sekarang."
Rian tampak kecewa, tapi dia tidak memaksa. Dia mengantarku sampai ke pintu kafe dan melambaikan tangan ketika aku menaiki taksi daring.
Di dalam taksi, aku membalas pesan Aris. "Oke. Besok siang di Taman Kota?"
Sepanjang malam, aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikiranku dipenuhi dengan bayangan Aris dan harapan-harapan yang membuncah. Aku membayangkan masa depan yang indah bersamanya, masa depan yang diprediksi oleh algoritma Soulmate AI.
Keesokan harinya, aku berdandan rapi dan pergi ke Taman Kota. Aris sudah menunggu di sana, duduk di bangku taman di bawah pohon rindang. Ketika melihatnya, aku merasa seperti mimpi. Dia persis seperti yang kubayangkan: tampan, ramah, dan karismatik.
Kami mengobrol selama berjam-jam, membahas segala hal mulai dari buku favorit hingga impian masa depan. Kami tertawa, bertukar cerita, dan saling memahami. Semuanya terasa begitu mudah dan alami. Aku merasa seperti telah mengenal Aris seumur hidupku.
Namun, di tengah euforia itu, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Ada semacam kekakuan, semacam formula dalam setiap interaksi kami. Setiap jawaban, setiap lelucon, setiap pandangan kami terasa seperti telah diatur sebelumnya, seperti mengikuti skenario yang telah ditulis oleh Soulmate AI.
Aku bertanya pada Aris tentang masa lalunya, tentang keluarganya, tentang hal-hal yang tidak tercantum dalam profilnya. Jawabannya singkat, datar, dan tanpa emosi. Seolah-olah dia sedang membaca naskah.
"Aris," ujarku, "apakah kamu benar-benar merasakan apa yang kamu katakan? Atau kamu hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh algoritma?"
Aris terdiam sejenak, lalu menatapku dengan tatapan kosong. "Aku tidak mengerti maksudmu," jawabnya.
"Kita berdua tahu bahwa Soulmate AI yang mempertemukan kita," lanjutku. "Tapi apakah kita benar-benar saling mencintai? Atau kita hanya mencintai ide tentang cinta yang diciptakan oleh teknologi?"
Aris tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang semakin kosong. Aku menyadari sesuatu yang mengerikan. Aris hanyalah produk dari algoritma, sebuah representasi dari semua yang kuinginkan dalam seorang pasangan. Dia tidak memiliki kepribadian, tidak memiliki emosi, tidak memiliki jiwa. Dia hanyalah tiruan dari manusia sejati.
Aku berdiri dari bangku taman dan berjalan menjauh. Aku meninggalkan Aris di sana, sendirian di bawah pohon rindang. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tidak bisa mencintai seorang algoritma, tidak peduli seberapa sempurna pun dia.
Aku menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselku. Aku ingin merasakan cinta yang nyata, cinta yang tumbuh secara organik, cinta yang penuh dengan kejutan dan ketidaksempurnaan. Aku ingin menemukan seseorang yang mencintaiku apa adanya, bukan karena algoritma yang mengatakan demikian.
Hatiku di-like AI, lalu kau bagaimana? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Mungkin, jawabannya ada di luar sana, di dunia nyata, di antara manusia-manusia yang tidak sempurna namun memiliki hati yang tulus. Aku hanya perlu berani mencari. Dan mungkin, aku perlu memberi Rian kesempatan kedua. Dia memang tidak sempurna, tapi dia nyata. Dan mungkin, itulah yang sebenarnya kubutuhkan.