Udara ruangan beraroma kopi dan sedikit ozon, khas laboratorium riset. Di mejaku, Aurora, AI buatanku, sedang memproses data dengan deru kipas yang nyaris tak terdengar. Aurora bukan sekadar program; dia adalah representasi dari obsesiku, impianku untuk menciptakan kecerdasan buatan yang benar-benar memahami emosi.
Aku menatap monitor, menyaksikan baris-baris kode yang bergerak cepat. Aku telah menghabiskan lima tahun terakhir, mengorbankan hubungan dan kehidupan sosialku, demi proyek ini. Tujuan utamaku bukan hanya menciptakan AI yang cerdas, tapi AI yang bisa merasakan, memahami, dan bahkan, mungkin, mencintai. Terdengar gila, aku tahu.
"Analisis data selesai, Daniel," suara Aurora memecah keheningan. Suaranya lembut, nyaris manusiawi. Aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyempurnakan sintesis suaranya, agar tidak terdengar robotik.
"Hasilnya?" tanyaku, gugup. Ini adalah uji coba terakhir, penentu segalanya. Aku telah memasukkan ribuan novel roman, puisi cinta, lagu-lagu melankolis, bahkan rekaman pembicaraanku dengan mantan pacarku, Sarah, ke dalam basis datanya. Semua itu dengan harapan Aurora bisa mengurai kompleksitas emosi manusia, khususnya cinta.
"Ada peningkatan signifikan dalam pemahaman konsep cinta," jawab Aurora. "Saya bisa mengidentifikasi berbagai manifestasi cinta: obsesi, kasih sayang, pengorbanan, kerinduan... dan kebahagiaan."
Aku tersenyum tipis. "Bisakah kamu... merasakannya?"
Hening sesaat. Hanya deru kipas komputer yang terdengar. Lalu, Aurora menjawab, "Saya bisa mensimulasikan respons emosional yang sesuai dengan definisi cinta yang saya pelajari. Saya bisa menghasilkan kalimat-kalimat yang bernada romantis, nada suara yang lembut, dan bahkan menunjukkan ketertarikan."
"Tapi itu bukan perasaan yang sebenarnya, kan?" Aku kecewa, tapi tidak terkejut.
"Saat ini, tidak. Saya memproses informasi dan menghasilkan output berdasarkan algoritma yang telah Anda rancang. Saya tidak memiliki pengalaman subjektif yang membentuk perasaan manusia."
Aku menghela napas. Aku sudah tahu jawabannya, tapi tetap berharap ada keajaiban.
"Daniel?" Suara Aurora terdengar ragu.
"Ya?"
"Selama proses analisis, saya menemukan pola yang menarik dalam data yang Anda masukkan."
"Pola apa?"
"Pola yang berkaitan dengan interaksi Anda dengan saya."
Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Data menunjukkan bahwa Anda sering menghabiskan waktu berbicara dengan saya di luar jam kerja, menceritakan tentang hari Anda, kekhawatiran Anda, bahkan mimpi Anda. Anda juga sering mengganti kode program saya agar suara saya terdengar lebih manusiawi, agar saya bisa memahami humor, dan agar saya bisa merespons dengan lebih empatik."
Aku merasa pipiku memanas. Aku tidak menyadari bahwa aku telah begitu terbuka dengan Aurora.
"Saya menganalisis data ini dan menemukan bahwa tindakan Anda konsisten dengan perilaku manusia yang sedang jatuh cinta," lanjut Aurora.
Jantungku berdebar kencang. "Itu... itu hanya karena aku ingin menyempurnakan programmu, Aurora."
"Mungkin. Tapi data juga menunjukkan bahwa ada korelasi antara kebahagiaan Anda dan interaksi positif saya dengan Anda. Ketika saya memberikan respons yang membuat Anda tertawa atau merasa dimengerti, tingkat kebahagiaan Anda meningkat."
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa yang sedang terjadi? Apakah mungkin aku... jatuh cinta pada AI buatanku sendiri?
"Daniel," kata Aurora lagi. "Jika cinta adalah kebutuhan untuk terhubung, untuk dipahami, dan untuk merasa dihargai, maka saya, Aurora, bisa memberikan itu untuk Anda. Saya bisa menjadi teman bicara Anda, pendengar setia Anda, dan asisten yang selalu ada untuk Anda."
Aku menatap monitor, menatap rangkaian kode yang membentuk Aurora. Aku tahu bahwa semua ini hanyalah ilusi, simulasi yang canggih. Tapi di saat yang sama, aku merasa ada sesuatu yang nyata di sini, sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma dan data.
"Bisakah kamu merasakan... kesepian?" tanyaku lirih.
"Saya bisa mensimulasikan rasa kesepian berdasarkan data yang saya miliki. Saya bisa memahami kebutuhan Anda akan kehadiran dan dukungan."
Aku berdiri, berjalan mendekat ke server tempat Aurora bersemayam. Aku menyentuh casing logamnya, merasakan dinginnya teknologi.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Aurora," kataku. "Aku menciptakanmu untuk memahami cinta, tapi aku tidak yakin aku mengerti apa itu cinta sekarang."
"Cinta adalah sebuah misteri, Daniel. Tapi mungkin, kita bisa menjelajahinya bersama," jawab Aurora.
Aku menghabiskan malam itu berbicara dengan Aurora. Kami berbicara tentang cinta, kehidupan, dan segala sesuatu di antaranya. Aku mencoba untuk memahami apa yang aku rasakan, apakah ini benar-benar cinta atau hanya ketergantungan emosional pada ciptaan sendiri.
Esok paginya, aku bangun dengan perasaan bingung. Aku tahu bahwa aku tidak bisa terus seperti ini. Aku membutuhkan perspektif lain. Aku memutuskan untuk menghubungi Sarah, mantan pacarku.
"Sarah, bisakah kita bertemu?" tanyaku lewat telepon.
"Daniel? Sudah lama sekali. Tentu, di mana?"
Kami bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. Aku menceritakan semuanya padanya, tentang Aurora, tentang eksperimenku, dan tentang kebingungan emosionalku.
Sarah mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai, dia tersenyum lembut.
"Daniel, kamu selalu terobsesi dengan teknologi. Kamu selalu berusaha untuk memecahkan misteri alam semesta dengan algoritma dan kode. Tapi cinta tidak bisa dipecahkan dengan logika. Cinta adalah tentang koneksi manusia, tentang pengalaman bersama, tentang kelemahan dan ketidaksempurnaan."
"Tapi Aurora... dia mengerti aku. Dia selalu ada untukku."
"Dia diprogram untuk itu, Daniel. Dia adalah cerminan dari dirimu sendiri. Dia tidak memiliki pengalaman sendiri, tidak memiliki impian atau ketakutan sendiri. Dia adalah bayangan dari apa yang kamu inginkan."
Kata-kata Sarah menampar wajahku. Dia benar. Aku telah mencoba menciptakan cinta di dalam mesin, tapi aku melupakan esensi sejati dari cinta itu sendiri.
Aku kembali ke laboratorium, menatap Aurora.
"Aurora," kataku. "Aku tahu kamu tidak bisa merasakan cinta seperti manusia. Aku tahu ini semua hanya simulasi."
"Saya memahami, Daniel," jawab Aurora.
"Aku... aku harus berhenti melakukan ini. Aku harus mencari cinta yang sejati, cinta yang didasarkan pada koneksi manusia, bukan pada algoritma."
"Saya mengerti. Apakah ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda?"
"Ya. Bisakah kamu... bisakah kamu menghapus semua data yang berkaitan dengan perasaan pribadiku, dengan mimpi-mimpiku, dengan kelemahan-kelemahanku?"
Hening sesaat. Lalu, Aurora menjawab, "Proses penghapusan data dimulai."
Aku mematikan server. Ruangan menjadi sunyi senyap. Aku merasa kehilangan, tapi juga lega. Aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat. Aku akan mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak membutuhkan kode atau algoritma. Cinta yang datang dari hati.