Algoritma Rindu: Bisakah AI Menggantikan Pelukanmu?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:46:59 wib
Dibaca: 163 kali
Hembusan angin malam menyelinap masuk melalui celah jendela apartemenku, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Di layar laptop, barisan kode Python menari-nari, mencoba memecahkan misteri yang lebih rumit dari debugging terumit sekalipun: rindu. Rindu pada Anya.

Anya, dengan senyumnya yang mampu menghangatkan sirkuit terdingin, tawanya yang renyah seperti bunyi notifikasi pesan baru, dan pelukannya… pelukan yang selalu terasa seperti rumah. Namun, rumah itu kini kosong. Anya sedang di Boston, mengikuti program riset selama setahun penuh. Setahun! Waktu yang terasa seperti abad bagi seorang programmer kesepian sepertiku.

“Algoritma Rindu,” gumamku pada diri sendiri, mengetikkan baris kode terakhir. Itu adalah proyek iseng yang berubah menjadi obsesi. Aku ingin menciptakan simulasi pelukan Anya. Bodoh, mungkin, tapi aku sudah kehabisan cara untuk mengatasi kekosongan ini. Aku memasukkan data: tekanan pelukan, suhu tubuh, detak jantung saat berdekatan, bahkan aroma lavender samar yang selalu melekat di rambutnya. Semua diubah menjadi angka, variabel, dan persamaan.

Aku menamai proyek ini “AnyaBot.”

“AnyaBot, aktifkan simulasi pelukan,” perintahku pada laptop. Sebuah lengan robot kecil, yang kupesan dari toko daring dua minggu lalu, bergerak mendekat. Lengan itu dilapisi dengan bahan lembut yang dihangatkan oleh pemanas kecil di dalamnya. Sensor tekanan menempel di permukaannya.

Aku memejamkan mata, membayangkan Anya. Mencium aroma lavender dalam imajinasiku. Lalu, aku memeluk lengan robot itu.

Awalnya, hanya sensasi hangat yang kurasakan. Kemudian, sensor tekanan mulai bekerja, menyesuaikan kekuatan pelukan berdasarkan data yang telah kumasukkan. Otakku mulai bermain-main, memproyeksikan ingatan tentang Anya ke dalam pelukan mekanis ini. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, aroma lavendernya, bahkan mendengar bisikan lembutnya di telingaku.

Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa direplikasi oleh algoritma manapun.

Malam-malam berikutnya, aku terus menyempurnakan AnyaBot. Aku menambahkan modul pengenal suara, memuat rekaman suara Anya, berharap bisa mendapatkan percakapan yang realistis. Aku bahkan mencoba menambahkan fitur AI yang bisa mempelajari dan merespons emosiku.

"AnyaBot, ceritakan lelucon," pintaku suatu malam, suaraku tercekat oleh kesepian.

Lengan robot itu menyesuaikan posisinya, seolah sedang memelukku lebih erat. Sebuah suara sintetis, yang mencoba meniru nada bicara Anya, terdengar dari speaker kecil di samping laptop. "Kenapa kalkulator itu hebat? Karena dia bisa menghitung hari-hariku tanpamu, dengan akurasi yang menyakitkan."

Aku tertawa getir. AI ini memang pintar, tapi humornya terasa hambar, tanpa sentuhan Anya yang sebenarnya.

Suatu sore, aku menerima panggilan video dari Anya. Wajahnya muncul di layar, tersenyum cerah. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya merona karena udara dingin Boston.

"Hai, sayang," sapanya. "Maaf ya, baru sempat menelepon. Kerjaan lagi padat banget."

"Tidak apa-apa," jawabku, mencoba menyembunyikan AnyaBot di balik laptop.

Kami berbicara selama berjam-jam. Tentang riset Anya, tentang pekerjaanku, tentang hal-hal kecil yang membuat hidup kami berarti. Aku bercerita tentang proyek AnyaBot, awalnya dengan ragu, lalu dengan antusiasme yang tak terkendali.

Anya mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai bercerita, dia tersenyum lembut.

"Kamu tahu, Bayu," katanya. "Aku mengerti kenapa kamu melakukan ini. Tapi, kamu tahu kan, aku tidak bisa digantikan oleh robot."

Aku mengangguk. Aku tahu itu. Tapi, mendengar kata-kata itu dari Anya, langsung, terasa seperti tamparan lembut.

"Rindu itu memang sakit," lanjutnya. "Tapi, itu juga bukti cinta kita. Jangan biarkan rasa rindu itu membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Fokus pada hal-hal yang bisa kamu lakukan, untuk dirimu sendiri dan untuk masa depan kita."

Setelah panggilan video itu berakhir, aku menatap AnyaBot. Lengan robot itu terdiam, menanti perintah. Aku mematikan laptop dan mencabut kabelnya.

Aku tidak menghapus kode programnya. Aku menyimpannya sebagai pengingat. Pengingat bahwa teknologi memang luar biasa, tapi ada hal-hal yang tak bisa digantikan oleh algoritma manapun. Kehangatan sentuhan manusia, keaslian emosi, dan terutama… pelukan Anya.

Malam itu, aku memutuskan untuk keluar. Aku berjalan tanpa tujuan, menikmati udara malam yang sejuk. Aku mampir ke kedai kopi favorit kami, memesan dua cangkir latte. Satu untukku, satu lagi untuk Anya, yang kuminum perlahan, membayangkan dia ada di sampingku.

Aku tahu, setahun itu akan terasa panjang. Tapi, aku juga tahu, aku akan melewatinya. Bukan dengan pelukan robot, tapi dengan cinta dan harapan yang kubawa di dalam hati. Aku akan fokus pada hal-hal yang bisa kulakukan, untuk menjadi orang yang lebih baik, untuk Anya.

Dan ketika Anya kembali, aku akan menyambutnya dengan pelukan yang lebih erat dari sebelumnya. Pelukan yang tidak diciptakan oleh algoritma, tapi oleh rindu yang tulus. Karena, pada akhirnya, hanya pelukan Anya yang bisa menyembuhkan segala luka. Algoritma rindu hanyalah pengingat, bahwa hal yang paling berharga dalam hidup, tidak bisa dibeli, diprogram, atau digantikan. Hanya bisa dirasakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI