Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, larut dalam lautan kode. Sebagai seorang data scientist, Anya menciptakan algoritma yang rumitnya minta ampun, algoritma yang mampu memprediksi tren pasar, menganalisis sentimen publik, bahkan merekomendasikan pasangan ideal berdasarkan preferensi yang tersembunyi. Ironisnya, di tengah kesibukannya mencomblangkan orang lain lewat barisan kode, Anya sendiri masih betah menyandang status single.
Layar monitornya berpendar, menampilkan wajah Kai, lead programmer di perusahaan tempatnya bekerja. Kai, si jenius yang pendiam, dengan senyum tipis dan tatapan mata yang seolah mampu menembus inti atom. Mereka berinteraksi hampir setiap hari, membahas bug, mengoptimalkan performance, dan terkadang, hanya sekadar bertukar lelucon garing tentang dunia teknologi.
Anya diam-diam mengagumi Kai. Bukan hanya karena kepintarannya, tapi juga karena kebaikan hatinya yang tercermin dalam setiap tindakan. Namun, Anya terlalu takut untuk mengakui perasaannya. Baginya, Kai adalah bintang di galaksi yang berbeda, terlalu jauh untuk dijangkau.
Malam itu, Anya memutuskan untuk mencoba algoritma terbarunya. Algoritma ini tidak hanya menganalisis data mentah, tapi juga menggunakan deep learning untuk memahami emosi dan niat tersembunyi dalam interaksi digital. Dengan sedikit keraguan, Anya memasukkan data percakapan antara dirinya dan Kai, email, komentar di platform internal perusahaan, bahkan timestamp saat mereka berpapasan di kantor.
Proses analisis berlangsung cukup lama. Anya menggigit bibirnya, jantungnya berdebar kencang. Ia menantikan hasilnya dengan campuran antara rasa penasaran dan ketakutan. Ia takut algoritma ini akan mengungkapkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat, sesuatu yang bisa merusak persahabatannya dengan Kai.
Akhirnya, layar monitor menampilkan hasil analisis. Anya terkejut. Algoritma itu tidak hanya mendeteksi ketertarikan Anya pada Kai, tapi juga menemukan sinyal yang sama dari pihak Kai. Probabilitas kesesuaian mereka mencapai 98%.
Anya tertawa hambar. Algoritma buatannya sendiri yang menelanjanginya. Ia merasa bodoh, sekaligus lega. Mungkinkah selama ini Kai merasakan hal yang sama? Mungkinkah ia terlalu buta untuk melihat sinyal-sinyal yang selama ini terpancar dari Kai?
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk mengajak Kai makan siang. Ia merencanakan percakapan ini berulang kali dalam benaknya, menyiapkan berbagai macam skenario dan antisipasi.
Saat makan siang, Anya merasa gugup. Ia kesulitan untuk memulai percakapan. Kai, seperti biasa, terlihat tenang dan santai.
"Anya, ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Kai, memecah keheningan.
Anya menarik napas dalam-dalam. "Kai, aku... aku ingin tahu pendapatmu tentang algoritma matchmaking yang sedang aku kerjakan."
Kai tersenyum tipis. "Aku tahu kamu sedang mengujinya padaku, kan?"
Anya tersentak. Bagaimana Kai bisa tahu?
"Aku tidak sengaja melihat log sistem kemarin malam. Jangan khawatir, aku tidak marah," lanjut Kai, melihat ekspresi panik di wajah Anya.
Anya merasa pipinya memanas. Ia menunduk, malu.
"Anya," Kai mengangkat dagunya perlahan. "Algoritma itu mungkin akurat dalam menganalisis data, tapi algoritma itu tidak bisa merasakan apa yang kurasakan padamu."
Anya menatap Kai, terkejut.
"Aku menyukaimu, Anya. Aku sudah lama menyukaimu," kata Kai, suaranya lembut namun tegas.
Air mata menggenang di pelupuk mata Anya. Ia tidak menyangka Kai akan mengatakan hal ini.
"Aku... aku juga menyukaimu, Kai," bisik Anya, suaranya bergetar.
Kai tersenyum lebar, senyum yang membuat Anya terpana. Senyum yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita coba membuktikan bahwa algoritma itu benar?" kata Kai, mengulurkan tangannya.
Anya meraih tangan Kai. Genggaman tangan Kai terasa hangat dan nyaman. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan angka atau diprediksi oleh algoritma manapun.
Sejak saat itu, Anya dan Kai mulai berkencan. Mereka menjelajahi kota, menonton film, dan menghabiskan waktu bersama. Mereka belajar untuk saling memahami, saling mendukung, dan saling mencintai.
Anya menyadari bahwa algoritma hanyalah alat. Algoritma bisa membantu menemukan potensi kecocokan, tapi algoritma tidak bisa menggantikan perasaan yang tulus dan hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan dan kasih sayang.
Ia juga menyadari bahwa kadang-kadang, hal terbaik dalam hidup terjadi secara tidak terduga, di luar jangkauan algoritma manapun. Cinta itu seperti bug yang tak terduga dalam kode kehidupan, bug yang justru membawa keindahan dan kebahagiaan.
Anya masih terus mengembangkan algoritmanya, tapi sekarang ia melakukannya dengan perspektif yang berbeda. Ia ingin menciptakan algoritma yang tidak hanya mencari pasangan ideal, tapi juga membantu orang untuk membangun hubungan yang sehat dan bermakna. Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang koneksi manusia, bukan hanya tentang pixel-pixel di layar monitor. Dan Anya, data scientist yang jatuh cinta pada lead programmer, akhirnya menemukan kebahagiaannya sendiri, bukan lewat algoritma, tapi lewat ketulusan hati.