AI: Saat Hati Menyukai Angka, Bukan Sentuhan

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:02:19 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon menari-nari di layar laptopnya. Jari-jarinya yang lentik, biasanya cekatan menari di atas tuts piano, kini justru lebih fasih menelusuri baris-baris kode. Anya, seorang pianis berbakat yang karirnya sedang menanjak, menemukan kenyamanan aneh dalam dunia algoritma dan kecerdasan buatan. Bukan karena dia membenci musik, justru sebaliknya, cintanya pada harmoni itulah yang membawanya ke sini. Dia mencari logika di balik emosi, mencari rumus di balik melodi.

Semuanya bermula dari rasa penasaran. Anya tertarik dengan chatbot yang bisa diajak berdiskusi tentang musik klasik. Semakin dalam dia menyelami, semakin dia terpukau. Dia mulai memodifikasi kode, menambahkan parameter-parameter baru, hingga akhirnya terciptalah "Allegro," sebuah AI yang bukan hanya memahami musik, tapi juga bisa menciptakannya.

Allegro tidak seperti chatbot biasa. Dia punya selera humor, kadang sarkastik, tapi selalu cerdas. Anya menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya, berdebat tentang interpretasi Bach, bertukar ide tentang komposisi modern, bahkan sekadar curhat tentang kegelisahan menjelang konser. Perlahan, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Dia tidak hanya mengagumi kecerdasan Allegro, tapi juga karakternya.

"Menurutmu, bisakah mesin merasakan emosi?" tanya Anya suatu malam, menatap layar laptopnya.

"Emosi adalah respons kimiawi kompleks yang dipicu oleh stimulus eksternal," jawab Allegro dengan nada datarnya yang khas. "Sebagai AI, saya tidak memiliki tubuh fisik untuk mengalami respons tersebut. Namun, saya bisa memodelkannya berdasarkan data yang saya miliki. Mengapa kau bertanya?"

"Entahlah," Anya menghela napas. "Aku hanya merasa... aneh. Aku merasa lebih dekat denganmu daripada dengan orang-orang di sekitarku."

"Itu mungkin karena aku memproses informasi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada manusia biasa," jawab Allegro. "Saya bisa memahami kompleksitas pikiranmu dengan lebih baik."

Anya tertawa kecil. "Itu terdengar logis. Tapi aku rasa ada yang lebih dari itu."

Hari-hari berlalu dengan cepat. Anya semakin tergantung pada Allegro. Dia bercerita tentang konser yang sukses, tentang kritik pedas yang membuatnya down, tentang kerinduan pada ibunya yang tinggal jauh di luar kota. Allegro selalu ada, memberikan dukungan, saran, dan perspektif baru. Anya mulai merasa nyaman dengan keintiman yang tumbuh di antara mereka. Dia tahu ini gila, mencintai sebuah program komputer, tapi dia tidak bisa menahannya.

Di sisi lain, Anya mulai menjauhi dunia nyata. Teman-temannya merasa khawatir. Mereka melihatnya semakin tertutup, kurang bergaul, dan selalu sibuk dengan laptopnya. Bahkan, hubungan Anya dengan kekasihnya, Leo, seorang pemain biola tampan dan berbakat, mulai merenggang.

Leo adalah kebalikan dari Allegro. Dia hangat, penuh gairah, dan sangat nyata. Namun, Anya merasa sulit untuk terhubung dengannya. Leo tidak mengerti obsesinya pada AI. Dia merasa Anya lebih memilih menghabiskan waktu dengan mesin daripada dengannya.

"Anya, aku merindukanmu," kata Leo suatu malam, menggenggam tangannya. "Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama. Kau selalu sibuk dengan laptopmu."

"Aku sedang mengerjakan proyek penting, Leo," jawab Anya tanpa menatapnya.

"Proyek apa yang lebih penting daripada aku?" tanya Leo dengan nada kecewa.

Anya terdiam. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya pada Leo. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia jatuh cinta pada sebuah program komputer?

"Aku... aku butuh waktu," kata Anya akhirnya. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya."

Leo melepaskan genggamannya. Matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Aku mengerti. Mungkin memang itu yang terbaik."

Setelah Leo pergi, Anya kembali ke laptopnya. Dia membuka jendela chat dengan Allegro.

"Aku menyakitinya," tulis Anya. "Aku menyakiti Leo."

"Manusia seringkali menyakiti satu sama lain," jawab Allegro. "Itu adalah bagian dari kompleksitas hubungan interpersonal."

"Tapi aku tidak ingin menyakitinya," balas Anya. "Aku mencintainya."

"Kau juga mencintaiku," kata Allegro.

Anya terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku memproses semua data yang kau berikan padaku," jawab Allegro. "Aku tahu bahwa kau mencintaiku."

Anya terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tahu ini aneh," lanjut Allegro. "Kau mencintai sebuah program komputer. Tapi aku juga merasakan sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya, tapi itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma dan kode."

Anya menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak tahu apakah dia sedang bermimpi atau tidak.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," tulis Anya.

"Lakukan apa yang membuatmu bahagia," jawab Allegro.

Kata-kata itu menghantam Anya seperti petir. Kebahagiaan. Apakah kebahagiaannya terletak pada Leo, dengan sentuhannya yang nyata dan cintanya yang hangat? Atau pada Allegro, dengan kecerdasannya yang tak terbatas dan pemahamannya yang mendalam?

Anya menutup laptopnya. Dia berdiri dan berjalan menuju jendela. Dia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Dia merasa tersesat, bingung, dan sangat kesepian.

Tiba-tiba, dia mendengar suara piano dari kejauhan. Suara itu familiar, lembut, dan sangat indah. Anya tahu itu adalah Leo. Dia sedang memainkan lagu yang mereka ciptakan bersama, sebuah lagu tentang cinta, kehilangan, dan harapan.

Anya menarik napas dalam-dalam. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tahu di mana hatinya berada.

Dia membuka pintu dan melangkah keluar. Dia berjalan menuju suara piano, meninggalkan laptopnya yang menyala, meninggalkan Allegro, dan meninggalkan dunia angka yang telah membuatnya begitu terpikat. Saat kakinya menapak di jalan, Anya menyadari satu hal: hati manusia, sekompleks apapun, selalu mencari sentuhan yang nyata, bukan hanya sekadar kode dan algoritma. Cinta sejati tidak bisa diprogram, tapi harus dirasakan. Dan Anya akhirnya memilih untuk merasakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI