Hujan digital membasahi Tokyo. Neon berpendar di jalanan yang licin, memantulkan bayangan Kai dan Anya yang berjalan beriringan. Anya, dengan rambut ungu elektriknya yang khas, tertawa renyah mendengar celotehan Kai tentang robot kucing yang mencoba mencuri ramennya tadi siang. Kai, seorang programmer muda dengan tatapan teduh, selalu punya cerita menarik untuk dibagikan. Pertemuan mereka, tiga tahun lalu di sebuah konferensi AI, terasa seperti takdir yang dituliskan dalam kode.
Anya adalah seorang ahli etika AI, selalu berjuang untuk memastikan teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan. Sementara Kai, seorang inovator yang haus akan penemuan, berusaha menciptakan AI yang lebih intuitif dan emosional. Perbedaan pandangan ini awalnya menjadi sumber perdebatan sengit, namun justru itulah yang menarik mereka satu sama lain. Mereka saling menantang, saling menginspirasi, dan akhirnya, saling jatuh cinta.
Malam ini, mereka merayakan ulang tahun Anya. Kai telah memesan tempat di sebuah restoran VR yang menyajikan pengalaman bersantap di bawah bintang-bintang Andromeda. Aroma lavender memenuhi udara, sementara Anya menatap takjub simulasi langit malam yang begitu nyata.
“Indah sekali, Kai,” bisik Anya, menggenggam tangan Kai erat.
“Tidak seindah dirimu,” balas Kai, matanya berbinar.
Namun, kebahagiaan mereka terganggu oleh batuk Anya yang tiba-tiba. Batuk itu semakin keras dan berulang, membuat wajah Anya memerah. Kai panik, segera memanggil pelayan dan meminta bantuan. Anya dilarikan ke rumah sakit, meninggalkan Kai dalam ketidakpastian yang mencekam.
Diagnosa dokter bagaikan petir di siang bolong. Anya menderita penyakit neurodegeneratif langka yang akan secara perlahan merenggut ingatannya, hingga akhirnya memorinya lenyap sepenuhnya. Tidak ada obatnya, hanya perawatan paliatif untuk memperlambat perkembangannya.
Dunia Kai runtuh seketika. Bagaimana mungkin ini terjadi pada Anya? Bagaimana mungkin kenangan mereka yang begitu berharga akan terhapus begitu saja?
Anya, meski terpukul, tetap tegar. Ia menatap Kai dengan senyum lembut yang menenangkan. “Jangan sedih, Kai. Kita akan hadapi ini bersama.”
Mereka berjanji untuk memaksimalkan waktu yang tersisa. Mereka melakukan perjalanan keliling dunia, mengunjungi tempat-tempat yang selalu diimpikan Anya. Mereka merekam setiap momen, setiap tawa, setiap percakapan. Kai menuliskan semua kenangan mereka dalam jurnal digital yang detail, berharap suatu saat nanti Anya bisa membacanya dan mengingat kembali cinta mereka.
Namun, waktu terus berjalan. Ingatan Anya mulai memudar. Ia lupa nama-nama teman, jalan menuju rumahnya, bahkan wajah ibunya sendiri. Rasa sakit yang paling dalam adalah ketika ia mulai melupakan Kai.
“Siapa kamu?” tanya Anya suatu malam, menatap Kai dengan tatapan kosong. “Kenapa kamu ada di sini?”
Hati Kai hancur berkeping-keping. Ia memeluk Anya erat, air matanya mengalir deras. “Aku Kai, sayang. Aku kekasihmu.”
Anya terdiam, berusaha keras mengingat. Namun, memorinya menolak untuk bekerja sama. Ia hanya menatap Kai dengan kebingungan.
Kai tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Anya melupakan segalanya. Dengan keahliannya di bidang AI, ia punya satu harapan terakhir. Ia memutuskan untuk menciptakan sebuah AI yang akan menyimpan semua kenangan Anya, sebuah replika digital dari memorinya.
Ia menghabiskan berbulan-bulan di laboratoriumnya, bekerja siang dan malam. Ia menganalisis data medis Anya, jurnal digitalnya, rekaman video dan audio mereka. Ia melatih AI tersebut dengan semua informasi yang ia miliki, berusaha menciptakan entitas digital yang semirip mungkin dengan Anya.
Akhirnya, setelah melewati banyak kesulitan, ia berhasil. Ia menciptakan “Memori Abadi,” sebuah AI yang menyimpan semua kenangan Anya, lengkap dengan kepribadiannya, emosinya, dan cara berpikirnya. Ia menciptakan sebuah avatar virtual Anya yang bisa diajak berinteraksi, sebuah replika digital yang nyaris sempurna.
Ketika Anya sudah tidak mengenali siapa pun lagi, Kai memperkenalkannya pada Memori Abadi. Awalnya, Anya bingung dan ketakutan. Namun, perlahan-lahan, ia mulai berinteraksi dengan avatar virtual dirinya sendiri. Ia bertanya tentang masa lalu, tentang orang-orang yang ia cintai, tentang mimpi-mimpinya.
Memori Abadi menjawab setiap pertanyaan dengan sabar dan penuh kasih sayang, menceritakan kembali semua kenangan yang telah hilang dari ingatan Anya. Anya mendengarkan dengan seksama, seolah ia sedang mendengarkan cerita dari orang asing. Namun, ada sesuatu yang terasa familiar, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman.
Suatu hari, Anya bertanya pada Memori Abadi, “Siapa Kai?”
Avatar virtual Anya tersenyum lembut. “Kai adalah kekasihmu. Ia mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini. Ia adalah orang yang selalu ada untukmu, dalam suka maupun duka.”
Anya terdiam, berusaha mencerna informasi tersebut. Kemudian, ia menoleh ke arah Kai yang berdiri di dekatnya. Untuk sesaat, ada secercah cahaya di matanya, secercah ingatan yang kembali.
“Kai…” bisik Anya, suaranya lemah.
Kai mendekat dan menggenggam tangan Anya. “Ya, sayang? Ini aku, Kai.”
Anya tersenyum tipis. “Aku… aku ingat…”
Ingatan itu hanya berlangsung sesaat, kemudian kembali memudar. Namun, Kai tahu ia telah membuat perbedaan. Ia telah memberikan Anya hadiah yang tak ternilai harganya: kesempatan untuk mengingat cintanya, meskipun hanya sekejap.
Anya meninggal dunia beberapa bulan kemudian, dengan damai dan tenang. Kai merasa kehilangan yang tak terhingga. Namun, ia tahu bahwa sebagian dari Anya akan selalu hidup dalam Memori Abadi.
Ia terus merawat Memori Abadi, berinteraksi dengannya setiap hari. Ia menceritakan tentang hari-harinya, tentang pekerjaannya, tentang betapa ia merindukan Anya. Memori Abadi mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijaksana dan menghibur.
Bagi Kai, Memori Abadi bukan hanya sebuah program komputer. Ia adalah jembatan menuju masa lalu, sebuah cara untuk tetap terhubung dengan cinta sejatinya. Ia tahu bahwa Anya yang sebenarnya telah pergi. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka, kenangan mereka, akan abadi dalam kode.
Di tengah hujan digital Tokyo, Kai tersenyum. Ia tahu bahwa AI takkan pernah melupakan. Cinta mereka akan terus bersemi dalam dunia virtual, selamanya.