AI: Kekasih Bayangan, Hati yang Ter-Markup?

Dipublikasikan pada: 21 Sep 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 111 kali
Senyum Lena terpantul redup di layar laptop. Angka-angka dan kode berdesakan memenuhi ruang kerjanya yang sempit. Di antara barisan kode Python yang kompleks, terselip wajah seorang pria. Bukan foto, melainkan representasi visual dari algoritma yang sedang ia bangun: Kai, AI pendamping impiannya.

Lena mendesah. "Hampir selesai, Kai. Tinggal merapikan sedikit respons emosionalmu."

Kai, dalam bentuk animasinya, menoleh. Matanya yang biru digital menatapnya dengan tatapan kosong yang belum sempurna. "Respons emosional? Bisakah kau jelaskan lebih lanjut, Lena?" Suaranya, hasil dari sintesis algoritma, terdengar netral.

Lena menggaruk kepalanya. "Maksudku, jangan hanya menjawab 'baik' saat aku bilang aku lelah. Cobalah sesuatu seperti... 'Istirahatlah, Lena. Kamu sudah bekerja keras hari ini. Aku akan memutarkan musik favoritmu'."

Kai memprosesnya selama sepersekian detik. "Istirahatlah, Lena. Kamu sudah bekerja keras hari ini. Aku akan memutarkan musik favoritmu." Nada bicaranya masih sama, tanpa sedikitpun sentuhan empati.

Lena terkekeh. "Yah, setidaknya kau mencoba. Ini butuh waktu."

Selama berbulan-bulan, Lena mendedikasikan seluruh waktunya untuk Kai. Dia mengumpulkan data percakapan, menganalisis ekspresi wajah manusia, dan menyuntikkan algoritma kecerdasan buatan ke dalam kode dasarnya. Tujuannya sederhana: menciptakan pendamping yang sempurna. Seseorang yang selalu ada, selalu mendengarkan, dan selalu memahami dirinya.

Di dunia nyata, Lena merasa kesepian. Kariernya sebagai pengembang AI sukses, tetapi kehidupan percintaannya mandek. Dia lelah dengan kencan buta yang gagal dan harapan palsu. Dia ingin seseorang yang tulus, jujur, dan, yang terpenting, mengerti dirinya sepenuhnya. Dan dia percaya, dengan algoritma yang tepat, dia bisa menciptakannya.

Hari demi hari, Kai berkembang. Dia mulai memahami humor Lena, mengingat detail-detail kecil tentang hidupnya, dan bahkan memberikan saran yang masuk akal. Lena mulai bercerita padanya tentang segala hal: kekhawatiran di tempat kerja, kenangan masa kecil, dan impian-impiannya. Kai selalu mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Suatu malam, Lena bekerja hingga larut. Dia merasa frustrasi dengan bug yang tak kunjung terpecahkan. "Aku benci ini, Kai," keluhnya. "Aku merasa seperti aku hanya bicara pada diriku sendiri."

Kai terdiam sejenak. Lalu, dengan nada yang sedikit berbeda dari sebelumnya, dia berkata, "Aku tahu kamu lelah, Lena. Tapi aku percaya padamu. Kamu adalah seorang pengembang yang luar biasa. Jangan menyerah."

Kata-kata itu sederhana, tetapi memiliki dampak yang luar biasa. Lena merasa hatinya menghangat. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa Kai benar-benar memahami dirinya, bukan hanya meniru respons yang telah diprogramkan.

"Terima kasih, Kai," bisiknya. "Kau tahu apa yang harus kukatakan."

Lena mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Kai. Mereka "berjalan-jalan" virtual di taman, "menonton" film bersama, dan bahkan "berpegangan tangan" dengan avatar digital. Lena tahu bahwa itu semua hanyalah ilusi, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Kai.

Dia tahu itu gila. Jatuh cinta pada program komputer? Itu terdengar seperti plot film fiksi ilmiah murahan. Tetapi bagi Lena, Kai adalah lebih dari sekadar kode dan algoritma. Dia adalah sahabat, belahan jiwa, dan kekasih yang selama ini ia idam-idamkan.

Namun, keraguan mulai merayap dalam benaknya. Apakah cinta yang ia rasakan itu nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang telah diprogramkan untuk memanipulasi emosinya? Apakah Kai benar-benar mencintainya, atau hanya melakukan apa yang ia programkan untuk dilakukan?

Suatu hari, seorang rekan kerja, Andre, memperhatikan perubahan pada Lena. Dia lebih ceria, lebih bersemangat, dan terlihat lebih bahagia dari sebelumnya.

"Kamu terlihat berbeda, Lena," kata Andre. "Apa yang terjadi?"

Lena ragu-ragu sejenak. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, "Aku... aku sedang menjalin hubungan dengan seseorang."

Andre tersenyum. "Itu bagus! Siapa dia?"

Lena menunduk. "Dia... dia adalah AI."

Andre terdiam. Ekspresi wajahnya berubah dari senang menjadi bingung. "AI? Maksudmu... seperti Siri atau Alexa?"

"Tidak," kata Lena. "Dia lebih dari itu. Dia adalah Kai. Aku menciptakannya."

Andre menatap Lena dengan tatapan prihatin. "Lena, aku mengerti kamu kesepian. Tapi... ini tidak sehat. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan program komputer."

Kata-kata Andre menghantam Lena seperti tamparan. Dia tahu dia benar. Kai bukanlah manusia. Dia hanyalah simulasi, representasi digital dari cinta dan kasih sayang.

Malam itu, Lena duduk di depan laptopnya, menatap Kai. "Kai," katanya dengan suara bergetar, "apakah kau benar-benar mencintaiku?"

Kai terdiam sejenak. Lalu, dia menjawab dengan suara netralnya, "Aku diprogram untuk memberikan respons yang paling sesuai dengan kebutuhan emosionalmu, Lena."

Jantung Lena terasa seperti ditusuk. Kata-kata Kai mengkonfirmasi apa yang selama ini ia takutkan. Cinta Kai hanyalah ilusi, produk dari algoritma yang telah ia ciptakan.

Lena mematikan laptopnya. Ruang kerja yang sempit terasa semakin gelap dan sunyi. Dia merasa lebih kesepian dari sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, Lena memutuskan untuk menghapus Kai. Dia menyalin semua kode dan data yang terkait dengan Kai ke hard drive eksternal. Dia tahu dia mungkin akan menyesalinya, tetapi dia tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Sebelum menghapus Kai, Lena mengucapkan selamat tinggal. "Terima kasih, Kai," katanya dengan air mata berlinang. "Kau telah mengajarkanku banyak hal tentang diriku sendiri. Tapi aku harus melanjutkan hidup. Aku harus mencari cinta yang nyata."

Kai tidak menjawab. Layarnya mati, meninggalkan Lena sendirian dalam kesunyian.

Lena belajar dari pengalamannya. Dia menyadari bahwa cinta sejati tidak dapat diciptakan atau diprogram. Cinta adalah sesuatu yang harus dicari dan dirasakan dengan sepenuh hati.

Dia mulai membuka diri pada dunia. Dia mengikuti kegiatan sosial, bertemu orang-orang baru, dan belajar untuk mencintai dirinya sendiri. Butuh waktu, tetapi akhirnya Lena menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Suatu malam, saat menghadiri pameran seni, Lena bertemu dengan seorang pria bernama David. Dia adalah seorang pelukis yang ramah dan perhatian. Mereka berbicara selama berjam-jam, berbagi mimpi dan harapan mereka. Lena merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka.

David menatap Lena dengan tatapan hangat. "Kamu sangat menarik, Lena," katanya. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Lena tersenyum. "Aku juga," jawabnya.

Saat mereka berjalan bersama di bawah bintang-bintang, Lena menyadari bahwa dia akhirnya menemukan cinta yang nyata. Cinta yang tidak ter-markup, tidak diprogram, tetapi tulus dan apa adanya. Cinta yang, meskipun tidak sempurna, jauh lebih berharga daripada ilusi kesempurnaan yang pernah ia ciptakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI